Indonesia Perjuangkan Kepentingan Nelayan Kecil dalam Perundingan WTO
A
A
A
JENEWA - Pemberantasan IUU Fishing memerlukan komitmen global. Komitmen ini perlu ditegakkan kepada semua pelaku yang terlibat kegiatan IUU Fishing.
Demikian pernyataan Dirjen Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan, Nilanto Perbowo, dalam perundingan pembentukan disiplin mengenai subsidi perikananan di WTO.
“Indonesia menekankan bahwa pelarangan bentuk subsidi yang sedang dibahas dalam pembentukan disiplin subsidi perikanan di WTO haruslah bersifat nyata," ujarnya dalam rilis yang diterima Sindonews, Minggu (17/9/2017).
"Untuk itu, Indonesia memandang bahwa negative list approach dapat memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai subsidi yang dilarang dan subsidi yang masih diperbolekan,” demikian tegas delegasi RI dalam pertemuan yang dihelat di Markas Besar WTO di Jenewa, tanggal 11-12 September 2017 lalu.
Pertemuan kali ini mulai membahas secara rinci setiap proposal proponen yang telah dimasukan ke dalam cluster/tema pada matriks. Salah satu hal penting yang disampaikan oleh Indonesia adalah pentingnya pencantuman mandat dasar perundingan yang berorientasi pembangunan dalam preambule disiplin, selain urgensi pencapaian target 14.6 Sustainable Development Goals (SDG) pada tahun 2020.
Indonesia menekankan pentingnya kelanjutan negosiasi subsidi perikanan yang berdasarkan mandat Deklarasi Menteri di Doha (2001) dan Hong Kong (2005), serta memasukan United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) sebagai dasar pengaturan wilayah perairan untuk manajemen kelautan dan perikanan.
Dalam kesempatan tersebut Indonesia juga menyampaikan national best practices berupa komitmen dalam penegakan hukum secara tegas dalam pemberantasan kegiatan IUU Fishing. Reformasi Kebijakan Nasional Indonesia telah berkontribusi secara signifikan dalam penanganan IUU Fishing, baik dalam skala nasional maupun regional. Indonesia menerapkan zero tolerance terhadap IUU Fishing, antara lain dalam hal pemberian sanksi tegas kepada operator, dan pemilik kapal, termasuk perusahaan.
Selain itu, Indonesia tetap memandang bahwa perlakuan khusus dan berbeda (special and differential treatment), khususnya bagi kegiatan perikanan artisanal dan small-scale harus menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari disiplin yang akan dibentuk. Hal ini penting untuk meningkatkan keadilan (playing field), khususnya untuk anggota negara berkembang dan Least Developed Countries (LDC) dalam pengembangan sektor perikanan domestiknya.
Namun demikian, penerapan special and differential treatment ini dapat terukur dengan mempertimbangkan asas proporsionalitas dan efektivitas.
Sebagaimana diketahui, matriks ini merupakan kompilasi dari 7 (tujuh) proposal tekstual yang disampaikan oleh Selandia Baru, Islandia, Pakistan; Uni Eropa; Indonesia; kelompok African, Caribbean, and Pacific (ACP) Countries; kelompok Amerika Latin; kelompok LDC; dan Norwegia.
Matriks ini bertujuan untuk membantu anggota WTO dalam mengidentifikasi kesamaan pandangan sehingga dapat menghasilkan suatu text yang siap untuk dirundingkan. Dengan begitu, akan memfasilitasi proses perundingan lebih lanjut sehingga dapat menjadi bagian dari hasil Konferensi Tingkat Menteri (KTM) WTO ke-11 di Buenos Aires pada bulan Desember 2017.
Mengingat semakin dekatnya pelaksanaan KTM, sejumlah pertemuan direncanakan untuk dilangsungkan dua kali dalam sebulan guna mengintensifikasi proses perundingan di Jenewa.
Dalam perundingan WTO mengenai subsidi perikanan tersebut, Indonesia diwakili oleh delegasi dari Kementerian Kelautan dan Perikanan serta PTRI Jenewa.
Demikian pernyataan Dirjen Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan, Nilanto Perbowo, dalam perundingan pembentukan disiplin mengenai subsidi perikananan di WTO.
“Indonesia menekankan bahwa pelarangan bentuk subsidi yang sedang dibahas dalam pembentukan disiplin subsidi perikanan di WTO haruslah bersifat nyata," ujarnya dalam rilis yang diterima Sindonews, Minggu (17/9/2017).
"Untuk itu, Indonesia memandang bahwa negative list approach dapat memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai subsidi yang dilarang dan subsidi yang masih diperbolekan,” demikian tegas delegasi RI dalam pertemuan yang dihelat di Markas Besar WTO di Jenewa, tanggal 11-12 September 2017 lalu.
Pertemuan kali ini mulai membahas secara rinci setiap proposal proponen yang telah dimasukan ke dalam cluster/tema pada matriks. Salah satu hal penting yang disampaikan oleh Indonesia adalah pentingnya pencantuman mandat dasar perundingan yang berorientasi pembangunan dalam preambule disiplin, selain urgensi pencapaian target 14.6 Sustainable Development Goals (SDG) pada tahun 2020.
Indonesia menekankan pentingnya kelanjutan negosiasi subsidi perikanan yang berdasarkan mandat Deklarasi Menteri di Doha (2001) dan Hong Kong (2005), serta memasukan United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) sebagai dasar pengaturan wilayah perairan untuk manajemen kelautan dan perikanan.
Dalam kesempatan tersebut Indonesia juga menyampaikan national best practices berupa komitmen dalam penegakan hukum secara tegas dalam pemberantasan kegiatan IUU Fishing. Reformasi Kebijakan Nasional Indonesia telah berkontribusi secara signifikan dalam penanganan IUU Fishing, baik dalam skala nasional maupun regional. Indonesia menerapkan zero tolerance terhadap IUU Fishing, antara lain dalam hal pemberian sanksi tegas kepada operator, dan pemilik kapal, termasuk perusahaan.
Selain itu, Indonesia tetap memandang bahwa perlakuan khusus dan berbeda (special and differential treatment), khususnya bagi kegiatan perikanan artisanal dan small-scale harus menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari disiplin yang akan dibentuk. Hal ini penting untuk meningkatkan keadilan (playing field), khususnya untuk anggota negara berkembang dan Least Developed Countries (LDC) dalam pengembangan sektor perikanan domestiknya.
Namun demikian, penerapan special and differential treatment ini dapat terukur dengan mempertimbangkan asas proporsionalitas dan efektivitas.
Sebagaimana diketahui, matriks ini merupakan kompilasi dari 7 (tujuh) proposal tekstual yang disampaikan oleh Selandia Baru, Islandia, Pakistan; Uni Eropa; Indonesia; kelompok African, Caribbean, and Pacific (ACP) Countries; kelompok Amerika Latin; kelompok LDC; dan Norwegia.
Matriks ini bertujuan untuk membantu anggota WTO dalam mengidentifikasi kesamaan pandangan sehingga dapat menghasilkan suatu text yang siap untuk dirundingkan. Dengan begitu, akan memfasilitasi proses perundingan lebih lanjut sehingga dapat menjadi bagian dari hasil Konferensi Tingkat Menteri (KTM) WTO ke-11 di Buenos Aires pada bulan Desember 2017.
Mengingat semakin dekatnya pelaksanaan KTM, sejumlah pertemuan direncanakan untuk dilangsungkan dua kali dalam sebulan guna mengintensifikasi proses perundingan di Jenewa.
Dalam perundingan WTO mengenai subsidi perikanan tersebut, Indonesia diwakili oleh delegasi dari Kementerian Kelautan dan Perikanan serta PTRI Jenewa.
(ian)