China Halangi Muslim Xinjiang Jalani Puasa Ramadan
A
A
A
BEIJING - China berusaha mencegah warga provinsi Xinjiang, yang mayoritas Muslim, untuk berpuasa selama bulan Ramadan. Para pejabat di wilayah itu memerintahkan semua restoran tetap buka dan serangkaian tindakan dilakukan, yang tampaknya dirancang, untuk mencegah warga Xinjiang mengamati Hilal.
Sebuah pemberitahuan yang dikeluarkan oleh Biro Industri dan Komersial Distrik Aksu (di China, Akesu) prefektur Baicheng di wilayah tersebut mengatakan bahwa langkah tersebut adalah untuk memastikan "pemeliharaan stabilitas". Biro tersebut mengatakan akan memperkuat kepemimpinan dan inspeksi di wilayah itu selama bulan Ramadhan seperti dikutip dari Independent, Kamis (1/6/2017).
Hal ini memaksa aktivis partai melakukan berjaga maraton selama 24 jam di gedung-gedung publik yang tidak memungkinkan untuk membuat makanan enak dan minum.
Secara terpisah, di daerah tetangga Hotan (Hetian), para siswa diberi tahu bahwa mereka harus berkumpul pada hari Jumat untuk belajar secara kolektif dan menonton film merah (komunis). Mereka juga harus melakukan kegiatan olahraga untuk memperkaya kehidupan sosial selama liburan musim panas.
Jumat adalah hari suci bagi umat Islam dan banyak orang biasanya memulai hari di masjid. Selain itu, banyak umat Islam akan memiliki sedikit energi untuk berolahraga saat berpuasa.
Seorang pejabat Han China di provinsi Hotan menolak untuk mengklarifikasi apakah tindakan tersebut dirancang secara eksplisit untuk menghentikan warga Uighur dari puasa dan sholat pada bulan Ramadan saat ditanyai oleh Radio Free Asia.
"Saya tidak dapat memberikan rincian apapun mengenai masalah ini. Sebaiknya Anda menanyakannya dengan sektor keamanan publik," katanya minta identitasnya dirahasiakan.
Seorang pejabat Han lainnya yang bekerja untuk kota Zawa di provinsi tersebut mengatakan bahwa pegawai negeri telah dilarang berpuasa dan jika mereka ketahuan akan "ditangani".
Larangan seperti ini bukanlah yang pertama. Pada bulan Maret lalu, China melarang burqa dan jenggot "abnormal", dan sebulan kemudian melarang nama bayi Islam.
Awal bulan ini terungkap bahwa polisi di wilayah tersebut telah membeli peralatan senilai USD8.7 juta untuk menganalisis DNA dari warganya. Tahun lalu, Uyghur melaporkan bahwa para pejabat meminta sampel DNA, sidik jari dan catatan suara saat mereka mengajukan paspor atau pergi ke luar negeri.
Sebuah pemberitahuan yang dikeluarkan oleh Biro Industri dan Komersial Distrik Aksu (di China, Akesu) prefektur Baicheng di wilayah tersebut mengatakan bahwa langkah tersebut adalah untuk memastikan "pemeliharaan stabilitas". Biro tersebut mengatakan akan memperkuat kepemimpinan dan inspeksi di wilayah itu selama bulan Ramadhan seperti dikutip dari Independent, Kamis (1/6/2017).
Hal ini memaksa aktivis partai melakukan berjaga maraton selama 24 jam di gedung-gedung publik yang tidak memungkinkan untuk membuat makanan enak dan minum.
Secara terpisah, di daerah tetangga Hotan (Hetian), para siswa diberi tahu bahwa mereka harus berkumpul pada hari Jumat untuk belajar secara kolektif dan menonton film merah (komunis). Mereka juga harus melakukan kegiatan olahraga untuk memperkaya kehidupan sosial selama liburan musim panas.
Jumat adalah hari suci bagi umat Islam dan banyak orang biasanya memulai hari di masjid. Selain itu, banyak umat Islam akan memiliki sedikit energi untuk berolahraga saat berpuasa.
Seorang pejabat Han China di provinsi Hotan menolak untuk mengklarifikasi apakah tindakan tersebut dirancang secara eksplisit untuk menghentikan warga Uighur dari puasa dan sholat pada bulan Ramadan saat ditanyai oleh Radio Free Asia.
"Saya tidak dapat memberikan rincian apapun mengenai masalah ini. Sebaiknya Anda menanyakannya dengan sektor keamanan publik," katanya minta identitasnya dirahasiakan.
Seorang pejabat Han lainnya yang bekerja untuk kota Zawa di provinsi tersebut mengatakan bahwa pegawai negeri telah dilarang berpuasa dan jika mereka ketahuan akan "ditangani".
Larangan seperti ini bukanlah yang pertama. Pada bulan Maret lalu, China melarang burqa dan jenggot "abnormal", dan sebulan kemudian melarang nama bayi Islam.
Awal bulan ini terungkap bahwa polisi di wilayah tersebut telah membeli peralatan senilai USD8.7 juta untuk menganalisis DNA dari warganya. Tahun lalu, Uyghur melaporkan bahwa para pejabat meminta sampel DNA, sidik jari dan catatan suara saat mereka mengajukan paspor atau pergi ke luar negeri.
(ian)