Korban Flu Burung di China Meningkat
A
A
A
BEIJING - Jumlah korban akibat terinfeksi virus flu burung (H7N9) terus bertambah di China di mana pada Januari lalu sebanyak 79 pasien meninggal dunia. Padahal, otoritas kesehatan China telah berjuang keras mencegah dan menangani virus mematikan tersebut.
Jumlah pasien flu burung yang tewas mencapai 79 pada Januari lalu ternyata meningkat empat kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya. Kalau dihitung sejak Oktober tahun lalu, lebih dari 100 orang meninggal akibat virus flu burung. Itu memicu kekhawatiran penyebaran virus flu burung. Pemerintah China memperingatkan agar warga tidak panik dan lebih waspada.
Data Pemerintah China mengenai jumlah total korban infeksi H7N9 sejak Oktober mencapai 306 kasus dan pada Januari mencapai 192 orang. Banyak pihak menuding jumlah korban yang terinfeksi lebih besar karena Beijing menutupi informasi tersebut.
Otoritas Kesehatan China berjanji akan memperkuat pengawasan terhadap pasar unggas yang diduga sebagai sumber penyebaran virus tersebut. Mereka juga bekerja sama dengan berbagai otoritas terkait seperti keamanan dan transportasi untuk memperketat transportasi unggas hidup.
Pemerintah China mengklaim tingkat kasus warga yang terinfeksi virus flu burung pada Februari memang mengalami penurunan dibandingkan pada Januari lalu. Tapi, secara kuantitas jumlah korban flu burung terus bertambah. Banyak pihak mengkhawatirkan virus burung akan terus memakan korban karena belum ada vaksin yang mampu menangkalnya.
”Delapan orang terinfeksi virus flu burung H7N9 dilaporkan antara 12 dan 14 Februari,” demikian laporan Komisi Perencanaan Keluarga dan Kesehatan Nasional (NHFPC), dilansir Reuters.
”Itu mengindikasikan terjadi penurunan dibandingkan pekan 6-12 Februari 2017 di mana 69 kasus baru, termasuk delapan orang meninggal dunia.” Melansir AFP mengutip data NHFPC menyebutkan hingga akhir Januari lalu sebanyak 100 orang meninggal pada musim flu burung kali ini.
Virus itu memang kerap berkembang pada musim dingin dan berlanjut pada musim semi. Kendati demikian, para pejabat kesehatan berpikir kalau fase terburuk krisis flu burung telah dilalui karena musim dingin telah berlalu.
”Di China sebagian besar kasus flu burung ditemukan di Delta Sungai Yangtze dan Delta Sungai Pearl,” kata Direktur Pusat Influenza Nasional China Shu Yuelong, dilansir kantor berita Xinhua. Dia menyarankan agar warga menghindari pasar unggas hidup.
H7N9 merupakan tipe turunan virus influenza yang bisa berdampak pada burung dan manusia. Virus itu pertama kali ditemukan pada 2013. Sebagian besar pasien yang terinfeksi akan sakit. Hampir satu dari tiga kasus flu burung akan berakibat fatal.
Pemerintah China menyarankan masyarakat untuk menghindari pasar unggas di mana fasilitas sanitasinya memungkinkan terjadi risiko kontaminasi. Pejabat Pusat Pengawasan dan Pencegah Penyakit Ni Daxin mengatakan, mayoritas orang China lebih memilih untuk membeli unggas yang masih dan segar. Padahal, itu berkontribusi terhadap penyebaran virus flu burung.
”Jika masyarakat membeli unggas beku, pengawasan epidemik itu akan lebih mudah,” kata Ni. Perdagangan unggas hidup untuk sementara dilarang di berbagai kota di Guangzhou di China selatan, Changsha di China tengah, dan seluruh Provinsi Zhejiang, serta beberapa wilayah lain.
Kantor berita China, Xinhua, melaporkan 35 kasus infeksi virus flu burung terjadi di Zhejiang. Mayoritas warga yang terinfeksi karena mereka bersentuhan langsung dengan unggas yang sakit. Mereka juga berkunjung ke pasar dan wilayah perdesaan.
Tapi, dua kasus transmisi virus flu burung dari manusia ke manusia dilaporkan terjadi sejak September lalu. Kantor perwakilan Badan Kesehatan Dunia (WHO) di China menyatakan masih memantau perkembangan terbaru. ”Wabah flu burung itu masih terjadi,” demikian keterangan WHO di China.
”Lembaga kesehatan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) itu melaporkan kasus flu burung akan bertambah secara sporadis dan terjadi pada kawasan tertentu saja. Pusat Kajian dan Kebijakan Penyakit Infeksi (CIDRAP) di Universitas Minnesota pekan lalu memperkirakan 347 kasus infeksi flu burung di China selama musim dingin kali ini.
”Terjadi peningkatan jumlah korban karena respons China cukup lambat saat wabah itu muncul,” kata pakar virus dari Universitas Queensland di Austrlia Ian Mackay.
Jumlah pasien flu burung yang tewas mencapai 79 pada Januari lalu ternyata meningkat empat kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya. Kalau dihitung sejak Oktober tahun lalu, lebih dari 100 orang meninggal akibat virus flu burung. Itu memicu kekhawatiran penyebaran virus flu burung. Pemerintah China memperingatkan agar warga tidak panik dan lebih waspada.
Data Pemerintah China mengenai jumlah total korban infeksi H7N9 sejak Oktober mencapai 306 kasus dan pada Januari mencapai 192 orang. Banyak pihak menuding jumlah korban yang terinfeksi lebih besar karena Beijing menutupi informasi tersebut.
Otoritas Kesehatan China berjanji akan memperkuat pengawasan terhadap pasar unggas yang diduga sebagai sumber penyebaran virus tersebut. Mereka juga bekerja sama dengan berbagai otoritas terkait seperti keamanan dan transportasi untuk memperketat transportasi unggas hidup.
Pemerintah China mengklaim tingkat kasus warga yang terinfeksi virus flu burung pada Februari memang mengalami penurunan dibandingkan pada Januari lalu. Tapi, secara kuantitas jumlah korban flu burung terus bertambah. Banyak pihak mengkhawatirkan virus burung akan terus memakan korban karena belum ada vaksin yang mampu menangkalnya.
”Delapan orang terinfeksi virus flu burung H7N9 dilaporkan antara 12 dan 14 Februari,” demikian laporan Komisi Perencanaan Keluarga dan Kesehatan Nasional (NHFPC), dilansir Reuters.
”Itu mengindikasikan terjadi penurunan dibandingkan pekan 6-12 Februari 2017 di mana 69 kasus baru, termasuk delapan orang meninggal dunia.” Melansir AFP mengutip data NHFPC menyebutkan hingga akhir Januari lalu sebanyak 100 orang meninggal pada musim flu burung kali ini.
Virus itu memang kerap berkembang pada musim dingin dan berlanjut pada musim semi. Kendati demikian, para pejabat kesehatan berpikir kalau fase terburuk krisis flu burung telah dilalui karena musim dingin telah berlalu.
”Di China sebagian besar kasus flu burung ditemukan di Delta Sungai Yangtze dan Delta Sungai Pearl,” kata Direktur Pusat Influenza Nasional China Shu Yuelong, dilansir kantor berita Xinhua. Dia menyarankan agar warga menghindari pasar unggas hidup.
H7N9 merupakan tipe turunan virus influenza yang bisa berdampak pada burung dan manusia. Virus itu pertama kali ditemukan pada 2013. Sebagian besar pasien yang terinfeksi akan sakit. Hampir satu dari tiga kasus flu burung akan berakibat fatal.
Pemerintah China menyarankan masyarakat untuk menghindari pasar unggas di mana fasilitas sanitasinya memungkinkan terjadi risiko kontaminasi. Pejabat Pusat Pengawasan dan Pencegah Penyakit Ni Daxin mengatakan, mayoritas orang China lebih memilih untuk membeli unggas yang masih dan segar. Padahal, itu berkontribusi terhadap penyebaran virus flu burung.
”Jika masyarakat membeli unggas beku, pengawasan epidemik itu akan lebih mudah,” kata Ni. Perdagangan unggas hidup untuk sementara dilarang di berbagai kota di Guangzhou di China selatan, Changsha di China tengah, dan seluruh Provinsi Zhejiang, serta beberapa wilayah lain.
Kantor berita China, Xinhua, melaporkan 35 kasus infeksi virus flu burung terjadi di Zhejiang. Mayoritas warga yang terinfeksi karena mereka bersentuhan langsung dengan unggas yang sakit. Mereka juga berkunjung ke pasar dan wilayah perdesaan.
Tapi, dua kasus transmisi virus flu burung dari manusia ke manusia dilaporkan terjadi sejak September lalu. Kantor perwakilan Badan Kesehatan Dunia (WHO) di China menyatakan masih memantau perkembangan terbaru. ”Wabah flu burung itu masih terjadi,” demikian keterangan WHO di China.
”Lembaga kesehatan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) itu melaporkan kasus flu burung akan bertambah secara sporadis dan terjadi pada kawasan tertentu saja. Pusat Kajian dan Kebijakan Penyakit Infeksi (CIDRAP) di Universitas Minnesota pekan lalu memperkirakan 347 kasus infeksi flu burung di China selama musim dingin kali ini.
”Terjadi peningkatan jumlah korban karena respons China cukup lambat saat wabah itu muncul,” kata pakar virus dari Universitas Queensland di Austrlia Ian Mackay.
(esn)