Kisah Siswi Penyandang Disabilitas yang Menempuh Pendidikan di AS
A
A
A
JAKARTA - Qurata Ayuna, seorang mahasiswi Universitas Indonesia asal Padang, Sumatera Barat menceritakan sedikit kisahnya saat ia berkesempatan mengenyam pendidikan di Amerika Serikat (AS). Qurata bersekolah di AS pada tahun 2011 hingga 2012 lalu.
Ditemui di pusat kebudayaan AS di Jakarta, Qurata mengatakan, sekolah di AS tidak terlalu sulit bagi penyandang disabilitas seperti dirinya. Ia menyebut, tidak ada ada diskriminasi terhadap para penyandang disabilitas, setidaknya di tempat ia tinggal dan bersekolah, yakni di Washington DC.
"Mereka memperlakukan kita (penyandang disabilitas) seperti orang biasa, jadi tidak ada perbedaan. Mungkin yang sedikit berbeda adalah jika mereka melihat kita kesulitan, mereka akan membantu," kata Qurata.
Wanita berkursi roda itu juga mengatakan, warga di sekitar tempat ia tinggal dan sekolah sudah lebih peka terhadap kebutuhan para penyandang disabilitas. Hal ini, tutur Qurata, masih jarang ditemui di Indonesia.
Untuk proses belajar di kelas, ia menceritakan, para guru tidak membedakan antara siswa normal dan mereka yang menyandang disabilitas. Semua siswa harus berusaha dan menunjukan prestasi mereka di kelas.
Satu hal lain yang menurut Qurata lebih membuat penyadang disabilitas seperti nyaman tinggal dan bersekolah di AS adalah fasilitas publik. Di AS, fasilitas publik sudah sangat mendukung aktivitas para penyandang disabilitas.
Qurata bersekolah di AS saat ia tergabung dalam penerima beasiwa YES atau program pertukaran pelajar Indonesia dan AS. Di AS ia tinggal di rumah seorang orang tua asuh. Qurata menjabarkan, orang tua asuhnya adalah seorang ibu tunggal yang sangat ketat menerapkan kedisiplinan dan kemandirian.
Ia tidak tinggal sendirian, di rumah itu Qurata mengaku tinggal bersama empat anak asuh lainya, yang semuanya juga penyandang disabilitas. Qurata menambahkan, nilai yang diterapkan ibu asuhnya membuat ia menjadi pribadi yang mandiri, dan disipilin, serta kuat.
Ditemui di pusat kebudayaan AS di Jakarta, Qurata mengatakan, sekolah di AS tidak terlalu sulit bagi penyandang disabilitas seperti dirinya. Ia menyebut, tidak ada ada diskriminasi terhadap para penyandang disabilitas, setidaknya di tempat ia tinggal dan bersekolah, yakni di Washington DC.
"Mereka memperlakukan kita (penyandang disabilitas) seperti orang biasa, jadi tidak ada perbedaan. Mungkin yang sedikit berbeda adalah jika mereka melihat kita kesulitan, mereka akan membantu," kata Qurata.
Wanita berkursi roda itu juga mengatakan, warga di sekitar tempat ia tinggal dan sekolah sudah lebih peka terhadap kebutuhan para penyandang disabilitas. Hal ini, tutur Qurata, masih jarang ditemui di Indonesia.
Untuk proses belajar di kelas, ia menceritakan, para guru tidak membedakan antara siswa normal dan mereka yang menyandang disabilitas. Semua siswa harus berusaha dan menunjukan prestasi mereka di kelas.
Satu hal lain yang menurut Qurata lebih membuat penyadang disabilitas seperti nyaman tinggal dan bersekolah di AS adalah fasilitas publik. Di AS, fasilitas publik sudah sangat mendukung aktivitas para penyandang disabilitas.
Qurata bersekolah di AS saat ia tergabung dalam penerima beasiwa YES atau program pertukaran pelajar Indonesia dan AS. Di AS ia tinggal di rumah seorang orang tua asuh. Qurata menjabarkan, orang tua asuhnya adalah seorang ibu tunggal yang sangat ketat menerapkan kedisiplinan dan kemandirian.
Ia tidak tinggal sendirian, di rumah itu Qurata mengaku tinggal bersama empat anak asuh lainya, yang semuanya juga penyandang disabilitas. Qurata menambahkan, nilai yang diterapkan ibu asuhnya membuat ia menjadi pribadi yang mandiri, dan disipilin, serta kuat.
(esn)