Dosa Duterte Dibeber, Perintahkan Bunuh Muslim dan Mengebom Masjid
A
A
A
MANILA - Seorang saksi membeberkan “dosa-dosa” Presiden Filipina Rodrigo Duterte di masa lalu dalam sebuah Sidang Komite Senat untuk Keadilan dan HAM, Kamis (15/9/2016). Saksi yang merupakan mantan anggota Davao Death Squad (DDS) mengaku diperintah Duterte mengebom masjid dan membunuh banyak Muslim di Davao pada 1993.
Saksi yang mengungkap perintah Duterte itu bernama Edgar Matobato. Menurutnya, pada tahun itu Duterte masih menjabat sebagai Walikota Davao. Saksi itu dihadirkan oleh Senator Leila de Lima yang sebelumnya berseteru dengan Duterte.
Matobato mengatakan dia dulunya anggota Citizen Armed Force Geographical Unit (CAFGU) sampai Duterte menjadi Walikota Davao pada tahun 1988. Dia kemudian direkrut Duterte untuk bergabung dalam kelompok yang dijuluki “Lambada Boys. Kelompok ini, kata dia, hanya berjumlah tujuh orang termasuk dirinya.
”Pekerjaan kami membunuh penjahat seperti pengedar narkoba, pemerkosa, penjambret,” katanya.
Motabato mengatakan, kelompok “Lambada Boys” ini kemudian menjadi DDS, kelompok yang telah lama diyakini bertanggung jawab atas pembunuhan di luar hukum di Davao.
Pada tahun 1993, lanjut Matobato, lebih banyak anggota yang bergabung dengan kelompok DDS. Pada tahun itu juga Gereja Katedral Davao dibom.
”Walikota Duterte memberikan perintah banyak dari mereka; warga Muslim di Masjid dibunuh,” beber dia, seperti dikutip Inquirer.
”Jadi, Anda telah mengebom, Anda diperintahkan Walikota Duterte. Apakah itu mantan walikota Davao?,” tanya de Lima.
Motabato menjawab; "Ya" dan menambahkan bahwa dia berada di ruangan yang sama ketika Duterte memerintahkan pengeboman.
Senator itu bertanya lagi, mengapa Duterte ingin mengebom masjid?. Matobato menjawab; "Ya, tampaknya seperti pembalasan atas dibomnya katedral.”
Menurut Matobato, saat itu Duterte juga memerintahkan DDS untuk menangkap dan membunuh para warga Muslim yang dicurigai terlibat pengeboman Gereja Katedral Davao. ”Kami melihat Muslim di sana, kami membunuh, kami menguburnya,” ujarnya.
Dalam sidang Komite Senat itu, saksi juga mengungkap bahwa Duterte juga pernah memerintahkan untuk membunuh jurnalis dan para lawan politiknya.
Presiden Duterte maupun pihak Malacanang (Istana Kepresidenan) belum berkomentar atas pembeberan saksi dalam sidang itu.
Saksi yang mengungkap perintah Duterte itu bernama Edgar Matobato. Menurutnya, pada tahun itu Duterte masih menjabat sebagai Walikota Davao. Saksi itu dihadirkan oleh Senator Leila de Lima yang sebelumnya berseteru dengan Duterte.
Matobato mengatakan dia dulunya anggota Citizen Armed Force Geographical Unit (CAFGU) sampai Duterte menjadi Walikota Davao pada tahun 1988. Dia kemudian direkrut Duterte untuk bergabung dalam kelompok yang dijuluki “Lambada Boys. Kelompok ini, kata dia, hanya berjumlah tujuh orang termasuk dirinya.
”Pekerjaan kami membunuh penjahat seperti pengedar narkoba, pemerkosa, penjambret,” katanya.
Motabato mengatakan, kelompok “Lambada Boys” ini kemudian menjadi DDS, kelompok yang telah lama diyakini bertanggung jawab atas pembunuhan di luar hukum di Davao.
Pada tahun 1993, lanjut Matobato, lebih banyak anggota yang bergabung dengan kelompok DDS. Pada tahun itu juga Gereja Katedral Davao dibom.
”Walikota Duterte memberikan perintah banyak dari mereka; warga Muslim di Masjid dibunuh,” beber dia, seperti dikutip Inquirer.
”Jadi, Anda telah mengebom, Anda diperintahkan Walikota Duterte. Apakah itu mantan walikota Davao?,” tanya de Lima.
Motabato menjawab; "Ya" dan menambahkan bahwa dia berada di ruangan yang sama ketika Duterte memerintahkan pengeboman.
Senator itu bertanya lagi, mengapa Duterte ingin mengebom masjid?. Matobato menjawab; "Ya, tampaknya seperti pembalasan atas dibomnya katedral.”
Menurut Matobato, saat itu Duterte juga memerintahkan DDS untuk menangkap dan membunuh para warga Muslim yang dicurigai terlibat pengeboman Gereja Katedral Davao. ”Kami melihat Muslim di sana, kami membunuh, kami menguburnya,” ujarnya.
Dalam sidang Komite Senat itu, saksi juga mengungkap bahwa Duterte juga pernah memerintahkan untuk membunuh jurnalis dan para lawan politiknya.
Presiden Duterte maupun pihak Malacanang (Istana Kepresidenan) belum berkomentar atas pembeberan saksi dalam sidang itu.
(mas)