Kepemimpinan Indonesia di ASEAN Harus Menonjol
A
A
A
JAKARTA - Nampaknya ASEAN kembali gagal membuat pernyataan sikap terkait Laut China Selatan (LCS) pada ASEAN Foreign Ministers Meeting ke-49 di Vientiane, Laos. ASEAN makin lemah dan makin tidak relevan. Pertanyaannya, apakah hal ini terjadi karena politik luar negeri (polugri) Indonesia melemah?
Menurut pengamat intelijen, Nuning Kertopati, selama ini kedigdayaan Indonesia di ASEAN terbentuk karena beberapa hal. “Presiden RI, suka tidak suka, mau tidak mau, adalah Presiden dengan porsi kerja politik luar negeri yang besar. Hal itu karena polugri adalah pilar politik yang membebaskan Indonesia dari kolonialisme dan oleh karenanya ada dalam konstitusi,” jelas Nuning.
Selain itu menurut Nuning, semua Presiden RI disegani dunia, dari jaman Soekarno hingga SBY. “Mereka semua punya trademark polugri. Mulai dari penggagas KAA hingga penggagas Bali Democracy Forum. Semua terjadi karena strategi polugri yang jelas,” lanjutnya.
“Kini, Indonesia sebagai pendiri ASEAN kelihatannya kurang berpengaruh dalam ASEAN. Dalam AMM di Laos ini, semestinya mampu membuat statement penting terkait LCS. ASEAN memang mengeluarkan statement tentang LCS dalam AMM, tetapi sama sekali tidak merujuk PCA dan isinya merupakan pengulangan saja. Artinya, ASEAN sebenarnya terindikasi pecah. Ini tanda-tanda “ASEAN Way" yang makin pudar dan ASEAN yang tidak solid,” papar Nuning.
Melihat dinamika tersebut, menurut Nuning, Indonesia perlu menyusun strategi baru dalam menghadapi dinamika baru dimana ASEAN terpecah. “Indonesia tidak bisa lagi bersikap "business as usual" dalam menghadapi dinamika baru ASEAN. Kepemimpinan Indonesia di ASEAN harus menonjol. Setidaknya shuttle diplomacy harus dilakukan. Mungkin model pendekatan Ali Alatas seperti penyelesaian konflik Indochina perlu diterapkan,” ungkapnya.
Menurut pengamat intelijen, Nuning Kertopati, selama ini kedigdayaan Indonesia di ASEAN terbentuk karena beberapa hal. “Presiden RI, suka tidak suka, mau tidak mau, adalah Presiden dengan porsi kerja politik luar negeri yang besar. Hal itu karena polugri adalah pilar politik yang membebaskan Indonesia dari kolonialisme dan oleh karenanya ada dalam konstitusi,” jelas Nuning.
Selain itu menurut Nuning, semua Presiden RI disegani dunia, dari jaman Soekarno hingga SBY. “Mereka semua punya trademark polugri. Mulai dari penggagas KAA hingga penggagas Bali Democracy Forum. Semua terjadi karena strategi polugri yang jelas,” lanjutnya.
“Kini, Indonesia sebagai pendiri ASEAN kelihatannya kurang berpengaruh dalam ASEAN. Dalam AMM di Laos ini, semestinya mampu membuat statement penting terkait LCS. ASEAN memang mengeluarkan statement tentang LCS dalam AMM, tetapi sama sekali tidak merujuk PCA dan isinya merupakan pengulangan saja. Artinya, ASEAN sebenarnya terindikasi pecah. Ini tanda-tanda “ASEAN Way" yang makin pudar dan ASEAN yang tidak solid,” papar Nuning.
Melihat dinamika tersebut, menurut Nuning, Indonesia perlu menyusun strategi baru dalam menghadapi dinamika baru dimana ASEAN terpecah. “Indonesia tidak bisa lagi bersikap "business as usual" dalam menghadapi dinamika baru ASEAN. Kepemimpinan Indonesia di ASEAN harus menonjol. Setidaknya shuttle diplomacy harus dilakukan. Mungkin model pendekatan Ali Alatas seperti penyelesaian konflik Indochina perlu diterapkan,” ungkapnya.
(esn)