FBI Dituding Gunakan Informan untuk Jebak Pemuda Muslim
A
A
A
WASHINGTON - Biro investigasi federal Amerika Serikat (AS) atau FBI disebut mempekerjakan 15 ribu informan yang menyamar. Mereka kemudian merencanakan aksi teroris palsu untuk menarik perhatian pemuda Muslim, sebelum akhirnya menangkap mereka dan mengklaim mencegah serangan teror.
Salah seorang informan itu diyakini telah menjebak Mohamed Bailor Jalloh (26), seorang warga naturalisasi dan mantan anggota Garda Nasional, seperti dilaporkan media AS The Intercept yang dikutip Sputnik, Rabu (13/7/2016). Jalloh ditangkap pada 3 Juli setelah mencoba untuk membeli senapan di sebuah toko senjata lokal.
Menurut Departemen Kehakiman AS, anggota ISIS yang telah meninggal meminta bantuan Jalloh untuk mencari dana dan senjata yang katanya akan digunakan untuk mendukung kelompok teroris ISIS. Anggota ISIS itu berkomunikasi dengan Jalloh lewat aplikasi pesan mobile. Ia memerintahkan Jalloh untuk mengirim uang USD500 kepada anggota FBI yang menyamar sebagai anggota ISIS dari luar negeri.
Namun pihak keluarga tidak percaya dengan tuduhan tersebut. Mereka menyatakan bahwa tuduhan tersebut sengaja dibuat untuk kemudian memojokkan kaum Muslim sebagai kelompok radikal berbahaya.
"Mohamed adalah anak militer. Dia memiliki senjata lain sebelum ini semua terjadi, dan ia biasanya membeli dan berlatih dengan senjata sepanjang waktu. Ia dibesarkan di sini, di Virginia dan tidak pernah memikirkan sesuatu seperti membeli senjata sebagai sesuatu yang luar biasa atau mencurigakan," kata adik dari Jalloh, Fatmatu.
Dalam sebuah pernyataan, FBI menyatakan bahwa Jalloh menjadi radikal karena menonton ceramah mantan ideolof Al-Qaeda, Anwar al-Awlaki. Namun pihak keluarga menegaskan bahwa Jalloh menjadi radikal karena ulah informan FBI. Jika terbukti bersalah, Jalloh terancam hukuman hingga 20 tahun penjara.
Salah seorang informan itu diyakini telah menjebak Mohamed Bailor Jalloh (26), seorang warga naturalisasi dan mantan anggota Garda Nasional, seperti dilaporkan media AS The Intercept yang dikutip Sputnik, Rabu (13/7/2016). Jalloh ditangkap pada 3 Juli setelah mencoba untuk membeli senapan di sebuah toko senjata lokal.
Menurut Departemen Kehakiman AS, anggota ISIS yang telah meninggal meminta bantuan Jalloh untuk mencari dana dan senjata yang katanya akan digunakan untuk mendukung kelompok teroris ISIS. Anggota ISIS itu berkomunikasi dengan Jalloh lewat aplikasi pesan mobile. Ia memerintahkan Jalloh untuk mengirim uang USD500 kepada anggota FBI yang menyamar sebagai anggota ISIS dari luar negeri.
Namun pihak keluarga tidak percaya dengan tuduhan tersebut. Mereka menyatakan bahwa tuduhan tersebut sengaja dibuat untuk kemudian memojokkan kaum Muslim sebagai kelompok radikal berbahaya.
"Mohamed adalah anak militer. Dia memiliki senjata lain sebelum ini semua terjadi, dan ia biasanya membeli dan berlatih dengan senjata sepanjang waktu. Ia dibesarkan di sini, di Virginia dan tidak pernah memikirkan sesuatu seperti membeli senjata sebagai sesuatu yang luar biasa atau mencurigakan," kata adik dari Jalloh, Fatmatu.
Dalam sebuah pernyataan, FBI menyatakan bahwa Jalloh menjadi radikal karena menonton ceramah mantan ideolof Al-Qaeda, Anwar al-Awlaki. Namun pihak keluarga menegaskan bahwa Jalloh menjadi radikal karena ulah informan FBI. Jika terbukti bersalah, Jalloh terancam hukuman hingga 20 tahun penjara.
(ian)