Dicap Gagal Lindungi Gafatar, Human Rights Watch Kritik Indonesia
A
A
A
JAKARTA - Kelompok HAM internasional Human Rights Watch (HRW) mengkritik para pejabat pemerintah dan pasukan keamanan Indonesia yang dianggap gagal melindungi komunitas Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar).
Menurut HRW, pasukan keamanan Indonesia telah terlibat dalam penggusuran paksa terhadap lebih dari 7 ribu anggota Gafatar dari rumah-rumah mereka di Kalimantan sejak Januari 2016.
Kelompok HAM ini melakukan penelitian di Provinsi Kalimantan Barat dan Timur. HRW menyimpulkan bahwa pasukan keamanan Indonesia gagal melindungi anggota Gafatar dari pengusiran dan penjarahan.
”Kelompok etnis dan pejabat negara telah bertindak atas nama 'kerukunan beragama' untuk menolak anggota komunitas Gafatar atas hak-hak dasar mereka untuk keamanan dan kebebasan beragama,” kata Phelim Kine, Wakil Direktur Asia HRW yang dikutip Sindonews dari situs resmi HRW, Rabu (30/3/2016).
”Instansi pemerintah dan aparat keamanan bukannya sedikit melindungi anggota Gafatar dari pengusiran, melainkan membantu dalam penggusuran paksa, mengunci mereka, dan menceraiberaikan mereka di seluruh negeri,” lanjut Kine.
HRW telah menerima aduan dari mantan anggota Gafatar yang dievakuasi paksa dari Kalimantan ke Jawa. Mereka mengadu bahwa pihak berwenang Indonesia bertindak sewenang-wenang dengan menahan, menginterogasi dan mengancam mereka dengan tuntutan pidana.
Sepak terjang Gafatar juga disorot HRW ketika muncul sentimen ketidaksukaan publik Indonesia karena Gafatar dianggap melakukan “penculikan” dan perekrutan paksa. Komunitas Gafatar juga kerap dianggap sebagai penganut ajaran sesat.
Lebih lanjut, HRW juga mencatat laporan media yang melaporkan bahwa Gafatar merupakan gerakan yang mengarah pada separatisme dengan tujuan menciptakan negara teokrasi merdekadi Kalimantan.
Pada tanggal 14 Januari, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menginstruksikan pemerintah daerah untuk menutup kantor Gafatar. Pada 24 Maret, Jaksa Agung Muhammad Prasetyo mengumumkan keputusan bersama yang ditandatangani oleh Menteri Agama Lukman Saifuddin dan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo untuk melarang kegiatan Gafatar.
“Jika kita membiarkannya, Gafatar berpotensi menyebabkan keresahan masyarakat dan memicu berbagai masalah sensitif lainnya. Jadi saya berharap semua pihak memahami bahwa ini demi menjaga kerukunan beragama,” kata Jaksa Agung Muhammad Prasetyo, dalam konferensi pers pada tanggal 24 Maret.
Seorang juru bicara Gafatar, Farah Meifira, mengatakan kepada HRW bahwa massa melakukan kekerasan dengan menggusur paksa 2.422 keluarga yang berjumlah 7.916 orang—termasuk di dalamnya anak-anak—dari Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur antara pertengahan Januari dan pertengahan Februari.
Menurut HRW, pasukan keamanan Indonesia telah terlibat dalam penggusuran paksa terhadap lebih dari 7 ribu anggota Gafatar dari rumah-rumah mereka di Kalimantan sejak Januari 2016.
Kelompok HAM ini melakukan penelitian di Provinsi Kalimantan Barat dan Timur. HRW menyimpulkan bahwa pasukan keamanan Indonesia gagal melindungi anggota Gafatar dari pengusiran dan penjarahan.
”Kelompok etnis dan pejabat negara telah bertindak atas nama 'kerukunan beragama' untuk menolak anggota komunitas Gafatar atas hak-hak dasar mereka untuk keamanan dan kebebasan beragama,” kata Phelim Kine, Wakil Direktur Asia HRW yang dikutip Sindonews dari situs resmi HRW, Rabu (30/3/2016).
”Instansi pemerintah dan aparat keamanan bukannya sedikit melindungi anggota Gafatar dari pengusiran, melainkan membantu dalam penggusuran paksa, mengunci mereka, dan menceraiberaikan mereka di seluruh negeri,” lanjut Kine.
HRW telah menerima aduan dari mantan anggota Gafatar yang dievakuasi paksa dari Kalimantan ke Jawa. Mereka mengadu bahwa pihak berwenang Indonesia bertindak sewenang-wenang dengan menahan, menginterogasi dan mengancam mereka dengan tuntutan pidana.
Sepak terjang Gafatar juga disorot HRW ketika muncul sentimen ketidaksukaan publik Indonesia karena Gafatar dianggap melakukan “penculikan” dan perekrutan paksa. Komunitas Gafatar juga kerap dianggap sebagai penganut ajaran sesat.
Lebih lanjut, HRW juga mencatat laporan media yang melaporkan bahwa Gafatar merupakan gerakan yang mengarah pada separatisme dengan tujuan menciptakan negara teokrasi merdekadi Kalimantan.
Pada tanggal 14 Januari, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menginstruksikan pemerintah daerah untuk menutup kantor Gafatar. Pada 24 Maret, Jaksa Agung Muhammad Prasetyo mengumumkan keputusan bersama yang ditandatangani oleh Menteri Agama Lukman Saifuddin dan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo untuk melarang kegiatan Gafatar.
“Jika kita membiarkannya, Gafatar berpotensi menyebabkan keresahan masyarakat dan memicu berbagai masalah sensitif lainnya. Jadi saya berharap semua pihak memahami bahwa ini demi menjaga kerukunan beragama,” kata Jaksa Agung Muhammad Prasetyo, dalam konferensi pers pada tanggal 24 Maret.
Seorang juru bicara Gafatar, Farah Meifira, mengatakan kepada HRW bahwa massa melakukan kekerasan dengan menggusur paksa 2.422 keluarga yang berjumlah 7.916 orang—termasuk di dalamnya anak-anak—dari Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur antara pertengahan Januari dan pertengahan Februari.
(mas)