Sistem Rudal Buatan Turki Dinilai Tak Layak Jadi Pesaing S-400 Rusia
loading...
A
A
A
ANKARA - Turki telah membanggakan beberapa sistem pertahanan rudal buatannya sendiri, termasuk HISAR dan SIPER. Namun, para pakar militer menilai sistem antimisil Ankara itu tidak layak untuk jadi pesaing S-400 Rusia maupun Patriot Amerika Serikat (AS).
Pada 28 Desember, pemerintah Presiden Recep Tayyip Erdogan mengumumkan bahwa pada 2022 Turki akan terus mengembangkan sistem pertahanan udara barunya, HISAR dan SIPER, sebagai bagian dari proyek pertahanan rudal domestik dengan tujuan menggantikan S-400 dan Patriot.
Negara ini telah berhasil menguji sistem rudal permukaan ke udara HISAR A+ dan HISAR O+, membawanya selangkah lebih dekat ke sistem pertahanan udara SIPER.
Namun, para ahli percaya bahwa kecil kemungkinan sistem itu, yang diperkirakan akan dioperasikan oleh Ankara pada 2023, akan menjadi alternatif yang layak untuk opsi sistem pertahanan asing dalam waktu dekat.
Gareth Jenkins, pakar senior dari Joint Center Silk Road Studies Program and Turkey Center di Institute for Security and Development Policy di Stockholm, mengatakan Turki awalnya memilih untuk membeli sistem pertahanan dari produsen asing, pertama dari China yang kemudian dibatalkan. Kemudian beralih membeli S-400 Rusia karena prosesnya lebih cepat dan lebih murah.
“Masalahnya adalah bahwa mengembangkan sistem pertahanan udaranya sendiri akan sangat mahal dan memakan waktu lama bahkan jika dapat mengamankan beberapa transfer teknologi dari perusahaan asing—dan akan memakan waktu lebih lama jika Turki harus mencoba untuk memproduksi semua sistem pertahanan udara dengan teknologi itu sendiri," kata Jenkins.
Menurutnya, hambatan utama bagi ambisi Turki untuk menjadi produsen senjata global adalah bahwa Presiden Recep Tayyip Erdogan tidak memahami teknologi militer.
Meskipun masuk akal bagi negara untuk memproduksi beberapa barang di dalam negeri, namun, menurut Jenkins, Turki masih kekurangan sumber daya, baik secara finansial maupun dalam hal keahlian, untuk memproduksi semuanya sendiri.
“Butuh waktu lama untuk mengumpulkan keahlian yang diperlukan dan teknologi militer seringkali sangat mahal. Ada perbedaan besar antara pembuatan drone dan menciptakan sistem pertahanan udara yang efektif atau pesawat tempur siluman,” katanya, seperti dikutip dari EurAsian Times, Sabtu (8/1/2022).
Pada 28 Desember, pemerintah Presiden Recep Tayyip Erdogan mengumumkan bahwa pada 2022 Turki akan terus mengembangkan sistem pertahanan udara barunya, HISAR dan SIPER, sebagai bagian dari proyek pertahanan rudal domestik dengan tujuan menggantikan S-400 dan Patriot.
Negara ini telah berhasil menguji sistem rudal permukaan ke udara HISAR A+ dan HISAR O+, membawanya selangkah lebih dekat ke sistem pertahanan udara SIPER.
Namun, para ahli percaya bahwa kecil kemungkinan sistem itu, yang diperkirakan akan dioperasikan oleh Ankara pada 2023, akan menjadi alternatif yang layak untuk opsi sistem pertahanan asing dalam waktu dekat.
Gareth Jenkins, pakar senior dari Joint Center Silk Road Studies Program and Turkey Center di Institute for Security and Development Policy di Stockholm, mengatakan Turki awalnya memilih untuk membeli sistem pertahanan dari produsen asing, pertama dari China yang kemudian dibatalkan. Kemudian beralih membeli S-400 Rusia karena prosesnya lebih cepat dan lebih murah.
“Masalahnya adalah bahwa mengembangkan sistem pertahanan udaranya sendiri akan sangat mahal dan memakan waktu lama bahkan jika dapat mengamankan beberapa transfer teknologi dari perusahaan asing—dan akan memakan waktu lebih lama jika Turki harus mencoba untuk memproduksi semua sistem pertahanan udara dengan teknologi itu sendiri," kata Jenkins.
Menurutnya, hambatan utama bagi ambisi Turki untuk menjadi produsen senjata global adalah bahwa Presiden Recep Tayyip Erdogan tidak memahami teknologi militer.
Meskipun masuk akal bagi negara untuk memproduksi beberapa barang di dalam negeri, namun, menurut Jenkins, Turki masih kekurangan sumber daya, baik secara finansial maupun dalam hal keahlian, untuk memproduksi semuanya sendiri.
“Butuh waktu lama untuk mengumpulkan keahlian yang diperlukan dan teknologi militer seringkali sangat mahal. Ada perbedaan besar antara pembuatan drone dan menciptakan sistem pertahanan udara yang efektif atau pesawat tempur siluman,” katanya, seperti dikutip dari EurAsian Times, Sabtu (8/1/2022).