Ashraf Ghani Mengaku Diberi Waktu 2 Menit untuk Melarikan Diri dari Afghanistan
loading...
A
A
A
ABU DHABI - Mantan presiden Afghanistan , Ashraf Ghani , kembali membuat pengakuan terkait pelarian dirinya dari negara itu setelah Ibu Kota Kabul jatuh ke tangan Taliban . Dalam pengakuan terbarunya, ia mengaku hanya diberi waktu tidak lebih dua menit untuk memutuskan apakah akan melarikan diri atau tidak.
Ghani diketahui secara diam-diam meninggalkan Kabul pada 15 Agustus lalu di tengah penarikan pasukan Amerika Serikat (AS) dan NATO yang kacau, mengakhiri perang selama 20 tahun di negara itu.
Ghani mengungkapkan bahwa penasihat keamanan nasionalnya, Hamdullah Mohib, benar-benar ketakutan dan memberi mantan presiden itu dua menit untuk memutuskan apakah akan melarikan diri.
"Dia tidak memberi saya waktu lebih dari dua menit," kata Ghani.
"Instruksi saya adalah mempersiapkan keberangkatan ke [kota] Khost. Dia mengatakan kepada saya bahwa Khost telah jatuh dan begitu pula Jalalabad," sambungnya seperti dilansir dari BBC, Jumat (31/12/2021).
Ghani mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki firasat bahwa ia akan meninggalkan Afghanistan.
"Saya tidak tahu ke mana kami akan pergi. Hanya ketika kami lepas landas, menjadi jelas bahwa kami akan pergi (meninggalkan Afghanistan). Jadi ini benar-benar mendadak," ujarnya.
Ghani juga sekali lagi menyatakan bahwa ia melarikan diri untuk mencegah kehancuran Kabul. Ia mengklaim dua faksi Taliban bersaing untuk menguasai Ibu Kota dan siap untuk masuk serta mengobarkan pertempuran sengit untuk mendapatkan kendali.
"Dua faksi Taliban yang berbeda mendekat dari dua arah yang berbeda," jelas Ghani.
"Dan kemungkinan konflik besar-besaran di antara mereka yang akan menghancurkan kota berpenduduk lima juta dan membawa malapetaka bagi orang-orang sangat besar," sambungnya.
Ghani juga kembali membantah tuduhan yang tersebar luas bahwa dia meninggalkan Afghanistan dengan setumpuk uang curian yang telah memicu penyelidikan internasional.
"Saya ingin dengan tegas menyatakan, saya tidak membawa uang ke luar negeri," katanya.
"Gaya hidup saya diketahui semua orang. Apa yang akan saya lakukan dengan uang?" ia menambahkan.
Dalam kesempatan itu, Ghani menuding kesepakatan yang dibuat antara Taliban dan AS di bawah Presiden Donald Trump saat itu sebagai biang kerok runtuhnya pemerintahannya.
Di bawah ketentuan kesepakatan itu, AS setuju untuk mengurangi pasukannya dan pasukan sekutunya, serta menyediakan pertukaran tahanan. Setelah itu, Taliban setuju untuk berbicara dengan pemerintah Afghanistan.
Pembicaraan tidak berhasil: pada musim panas 2021, dengan Presiden AS Joe Biden berjanji untuk menarik pasukan terakhir pada 11 September, Taliban menyapu Afghanistan, mengambil kota demi kota.
“Alih-alih proses perdamaian, kami mendapat proses penarikan,” kata Ghani.
Apa yang terjadi pada akhirnya, kata Ghani, adalah kudeta dengan kekerasan, bukan kesepakatan politik, atau proses politik di mana orang-orang terlibat.
"Pekerjaan hidup saya telah dihancurkan. Nilai-nilai saya telah diinjak-injak. Dan saya telah dijadikan kambing hitam," pungkasnya.
Ghani diketahui secara diam-diam meninggalkan Kabul pada 15 Agustus lalu di tengah penarikan pasukan Amerika Serikat (AS) dan NATO yang kacau, mengakhiri perang selama 20 tahun di negara itu.
Ghani mengungkapkan bahwa penasihat keamanan nasionalnya, Hamdullah Mohib, benar-benar ketakutan dan memberi mantan presiden itu dua menit untuk memutuskan apakah akan melarikan diri.
"Dia tidak memberi saya waktu lebih dari dua menit," kata Ghani.
"Instruksi saya adalah mempersiapkan keberangkatan ke [kota] Khost. Dia mengatakan kepada saya bahwa Khost telah jatuh dan begitu pula Jalalabad," sambungnya seperti dilansir dari BBC, Jumat (31/12/2021).
Ghani mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki firasat bahwa ia akan meninggalkan Afghanistan.
"Saya tidak tahu ke mana kami akan pergi. Hanya ketika kami lepas landas, menjadi jelas bahwa kami akan pergi (meninggalkan Afghanistan). Jadi ini benar-benar mendadak," ujarnya.
Ghani juga sekali lagi menyatakan bahwa ia melarikan diri untuk mencegah kehancuran Kabul. Ia mengklaim dua faksi Taliban bersaing untuk menguasai Ibu Kota dan siap untuk masuk serta mengobarkan pertempuran sengit untuk mendapatkan kendali.
"Dua faksi Taliban yang berbeda mendekat dari dua arah yang berbeda," jelas Ghani.
"Dan kemungkinan konflik besar-besaran di antara mereka yang akan menghancurkan kota berpenduduk lima juta dan membawa malapetaka bagi orang-orang sangat besar," sambungnya.
Ghani juga kembali membantah tuduhan yang tersebar luas bahwa dia meninggalkan Afghanistan dengan setumpuk uang curian yang telah memicu penyelidikan internasional.
"Saya ingin dengan tegas menyatakan, saya tidak membawa uang ke luar negeri," katanya.
"Gaya hidup saya diketahui semua orang. Apa yang akan saya lakukan dengan uang?" ia menambahkan.
Dalam kesempatan itu, Ghani menuding kesepakatan yang dibuat antara Taliban dan AS di bawah Presiden Donald Trump saat itu sebagai biang kerok runtuhnya pemerintahannya.
Di bawah ketentuan kesepakatan itu, AS setuju untuk mengurangi pasukannya dan pasukan sekutunya, serta menyediakan pertukaran tahanan. Setelah itu, Taliban setuju untuk berbicara dengan pemerintah Afghanistan.
Pembicaraan tidak berhasil: pada musim panas 2021, dengan Presiden AS Joe Biden berjanji untuk menarik pasukan terakhir pada 11 September, Taliban menyapu Afghanistan, mengambil kota demi kota.
“Alih-alih proses perdamaian, kami mendapat proses penarikan,” kata Ghani.
Apa yang terjadi pada akhirnya, kata Ghani, adalah kudeta dengan kekerasan, bukan kesepakatan politik, atau proses politik di mana orang-orang terlibat.
"Pekerjaan hidup saya telah dihancurkan. Nilai-nilai saya telah diinjak-injak. Dan saya telah dijadikan kambing hitam," pungkasnya.
(ian)