AS Prihatin China Bangun Pangkalan Senjata Nuklir
loading...
A
A
A
WASHINGTON - Amerika Serikat (AS) mengungkapkan keprihatinan yang mendalam atas dugaan pembangunan perluasan pangkalan senjata nuklir China . Hal itu diungkapkan Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken selama pertemuan virtual lebih dari dua lusin negara peserta Forum Regional ASEAN (ARF).
"Menteri mencatat dengan keprihatinan mendalam pertumbuhan yang cepat dari persenjataan nuklir (China) yang menyoroti bagaimana Beijing telah secara tajam menyimpang dari strategi nuklirnya yang berusia puluhan tahun berdasarkan pencegahan minimum," bunyi pernyataan Departemen Luar Negeri AS seperti dikutip dari Sputnik, Sabtu (7/8/2021).
Tuduhan bahwa China mengembangkan persenjataan nuklirnya muncul setelah citra satelit menunjukkan pembangunan ladang silo rudal nuklir baru. China tidak secara resmi mengkonfirmasi klaim tersebut, tetapi pada tahun 2020, ketika pemerintahan Trump gagal mencoba untuk memasukkan Beijing ke dalam Perjanjian Pengurangan Senjata Strategis (New START), Beijing menolak tawaran itu dengan alasan bahwa negara itu memiliki persenjataan nuklir yang jauh lebih kecil daripada AS atau Rusia – dua pihak terkait dalam perjanjian New START.
Selain itu, Blinken juga mengangkat isu lain yang menjadi perhatian Washington, khususnya perilaku "provokatif" Beijing di perairan sengketa Laut China Selatan. China menganggap Laut China Selatan sebagai bagian dari perairan teritorialnya sendiri dan melakukan kontrol de facto atas perairan penting itu. Namun, empat negara lain - ditambah Taiwan - membuat klaim teritorial di Laut Cina Selatan.
AS telah menuduh Beijing menghalangi kebebasan navigasi di daerah itu dan secara rutin mengirim angkatan lautnya ke laut, yang kadang-kadang berlayar sangat dekat dengan pasukan China. Beijing dengan keras mengutuk misi-misi ini sebagai "provokasi", yang suatu hari nanti dapat mengarah pada konfrontasi bersenjata yang tidak dibutuhkan oleh kedua negara.
Berbicara pada pertemuan ARF, Blinken juga mengatakan AS prihatin dengan dugaan pelanggaran hak asasi manusia di wilayah Tibet dan Xinjiang, serta di Hong Kong. Washington dan negara-negara barat lainnya mengklaim bahwa Beijing menindas penduduk wilayah ini, tetapi China dengan keras menolak tuduhan ini. Beijing juga menyamakan klaim semacam itu dengan campur tangan dalam urusan dalam negeri negara itu, yang ilegal menurut hukum internasional.
"Menteri mencatat dengan keprihatinan mendalam pertumbuhan yang cepat dari persenjataan nuklir (China) yang menyoroti bagaimana Beijing telah secara tajam menyimpang dari strategi nuklirnya yang berusia puluhan tahun berdasarkan pencegahan minimum," bunyi pernyataan Departemen Luar Negeri AS seperti dikutip dari Sputnik, Sabtu (7/8/2021).
Tuduhan bahwa China mengembangkan persenjataan nuklirnya muncul setelah citra satelit menunjukkan pembangunan ladang silo rudal nuklir baru. China tidak secara resmi mengkonfirmasi klaim tersebut, tetapi pada tahun 2020, ketika pemerintahan Trump gagal mencoba untuk memasukkan Beijing ke dalam Perjanjian Pengurangan Senjata Strategis (New START), Beijing menolak tawaran itu dengan alasan bahwa negara itu memiliki persenjataan nuklir yang jauh lebih kecil daripada AS atau Rusia – dua pihak terkait dalam perjanjian New START.
Selain itu, Blinken juga mengangkat isu lain yang menjadi perhatian Washington, khususnya perilaku "provokatif" Beijing di perairan sengketa Laut China Selatan. China menganggap Laut China Selatan sebagai bagian dari perairan teritorialnya sendiri dan melakukan kontrol de facto atas perairan penting itu. Namun, empat negara lain - ditambah Taiwan - membuat klaim teritorial di Laut Cina Selatan.
AS telah menuduh Beijing menghalangi kebebasan navigasi di daerah itu dan secara rutin mengirim angkatan lautnya ke laut, yang kadang-kadang berlayar sangat dekat dengan pasukan China. Beijing dengan keras mengutuk misi-misi ini sebagai "provokasi", yang suatu hari nanti dapat mengarah pada konfrontasi bersenjata yang tidak dibutuhkan oleh kedua negara.
Berbicara pada pertemuan ARF, Blinken juga mengatakan AS prihatin dengan dugaan pelanggaran hak asasi manusia di wilayah Tibet dan Xinjiang, serta di Hong Kong. Washington dan negara-negara barat lainnya mengklaim bahwa Beijing menindas penduduk wilayah ini, tetapi China dengan keras menolak tuduhan ini. Beijing juga menyamakan klaim semacam itu dengan campur tangan dalam urusan dalam negeri negara itu, yang ilegal menurut hukum internasional.
(ian)