Gawat, Perang Iran Bisa Picu Krisis Dunia
loading...
A
A
A
TEHERAN - Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump sebenarnya ingin melancarkan perang melawan Iran . Namun, Iran hanya sesumbar bahwa mereka siap menghadapi perang karena mereka telah melakukan kalkulasi matang.
Trump ingin meninggalkan pekerjaan berat bagi Joe Biden dengan melancarkan perang Iran. Dengan dukungan Iran, hal itu bukan hal yang mustahil. Pada momen beberapa saat terakhir sangat tepat ketika Iran kembali mengumandangkan balas dendam atas pembunuhan Jenderal Qassem Soleimani setahun lalu. (Baca: Ancaman Iran Makin Menjadi-jadi, AS Batal Pulangkan Kapal Induk dari Teluk)
Sinyal ketegangan AS-Iran semakin meningkat ketika kapal induk USS Nimitz tetap bertahan di Timur Tengah, padahal sebelumnya AS telah memerintahkan penarikannya. Itu dikarenakan AS melihat adanya ancaman Iran terhadap Presiden Trump dan para pejabat AS lainnya.
Pada akhir 2020, AS memerintahkan penerbangan pesawat pengebom B-52 yang membawa senjata nuklir ke Timur Tengah. Itu dikarenakan seorang penasihat militer Iran mengancam bahwa Tahun Baru akan menjadi duka bagi warga AS.
Jika perang Iran-AS pecah sebelum Trump lengser, itu akan menjadi bencana besar bagi dunia, bukan hanya Timur Tengah. Konsekuensi yang ditanggung bukan hanya AS dan koalisinya, yakni Arab Saudi dan Israel. Namun, konflik itu akan berdampak luas karena Timur Tengah merupakan jantung konflik dunia.
Perang Iran-AS bisa jadi akan memicu krisis ekonomi dunia yang lebih parah. Padahal, saat ini dunia sedang menghadapi krisis ekonomi dunia karena pandemi virus korona yang berlangsung hingga kini. Dunia akan kembali menghadapi resesi berkepanjangan karena efek ganda antara perang dan pandemi. (Baca juga: Doa Pengantin Baru Beserta Maknanya)
Negara yang paling dirugikan akibat perang itu adalah Iran. Itu disebabkan Iran mengalami bencana dan tragedi sepanjang 2020 dan menjadi tahun yang paling buruk sejak perang Iran-Irak.
Jika perang, Iran akan kembali menghadapi bencana berkepanjangan. Mata uang Iran pun sudah merosot lebih dari separuh. Media di Iran sudah memperingatkan bahwa ekonomi Iran akan menghadapi kehancuran. Sanksi ekonomi AS melemahkan Iran dari segala arah.
"Iran menghadapi defisit anggaran USD200 juta per pekan. Defisit itu menyebabkan inflasi," kata Majid Rafizadeh, pakar Iran, dilansir Arab News. "Krisis ekonomi Iran disebabkan oleh dikuasai Pasukan Garda Revolusi dan afiliasi, kantor Pemimpin Tertinggi yang menguasai sistem keuangan dan ekonomi Iran," imbuhnya.
Teheran mengalami kesulitan membiayai kelompok milisi di luar negeri. Seperti dilaporkan Middle East Eye, permasalahan finansial menyebabkan Ayatullah Khamenei memerintahkan semua faksi di Irak untuk menghentikan serangan ke kepentingan AS di Iran. (Baca juga: DPR Tagi Penjelasan Pemerintah Soal Penghapusan Formasi CPNS Guru)
Bukan hanya krisis ekonomi di Iran , krisis itu juga akan melebar. Itu dikarenakan pasokan minyak akan terganggu. Harga minyak dunia pun pasti akan mengalami kenaikan tajam. Seluruh dunia akan terkena dampaknya.
Perang Iran juga bisa mengakibatkan konflik berskala luas. Itu dikarenakan Iran memiliki banyak milisi yang berafiliasi baik di Lebanon, Suriah, maupun Irak. Mereka akan membantu Iran meski kondisi keuangan memburuk. Namun, Iran dikenal sebagai negara yang memainkan pihak ketiga dalam berkonflik.
Kekhawatiran mendalam adalah kelompok yang berafiliasi dengan Teheran juga akan melancarkan serangan ke negara yang berafiliasi dengan AS, seperti Israel dan Saudi. Itu bisa menjadi bencana besar yang tentunya sangat diperhitungkan semua pihak yang bertikai. Kelompok yang berafiliasi dengan Iran juga bisa saja melancarkan serangan ke pangkalan militer AS di Timur Tengah.
Kemudian, perang Iran-AS bisa menjadi ladang baru bagi Rusia yang memiliki kepentingan di Timur Tengah. Selama ini, Rusia merupakan pihak yang selalu mendukung Iran. Moskow memiliki senjata dan kekuatan tempur yang bisa bermain di belakang Iran. Hal itu juga yang dilakukan Rusia di Suriah. Rusia tidak akan membiarkan Iran berperang sendirian. Moskow dapat mengirimkan pasokan senjata dan teknologi militer untuk membantu Iran. (Baca juga: 5 Fakta Parosmia, Gejala Baru Covid-19)
"Permasalahan di kawasan Timur Tengah bukan aktivitas Iran ," kata Duta besar Rusia untuk Israel, Anatoly Viktorov, kepada Jerusalem Post. Konflik di Timur Tengah dikarenakan kurangnya pemahaman antara negara mengenai resolusi PBB tentang konflik Israel-Arab dan Israel-Palestina.
Jika perang AS-Iran yang terjadi, maka negara yang diuntungkan adalah Saudi dan Israel. “Trump selalu ditekan aliansi kuncinya di Timur Tengah untuk bertindak terhadap Iran,” kata Danny Postel, asisten direktur Center for International and Area Studies di Universitas Northwestern, dilansir Al Jazeera.
Postel mengungkapkan, Trump sangat terluka dan terpojok pada skenario akhir permainan karena dia memiliki kesempatan beberapa pekan lalu. Namun, Trump bsia saja melakukan tindakan berbahaya. “Itu mungkin sebagai kasus yang paling berbahaya,” katanya.
Sebelumnya, Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif mengatakan, informasi intelijen di Iran mengindikasikan agen Israel akan memprovokasi dengan menyerang fasilitas AS. Itu bertujuan agar Trump bisa menyerang Iran. “Trump harus hati-hati dengan jebakan itu,” katanya. Namun, Zarif tidak mengungkapkan bukti tersebut. (Baca juga: Positif Covid, Kevin Sanjaya Batal Tampil di Thailand Open)
Namun demikian, ancaman perang Iran-AS masih tetap di depan mata. Barbara Slavin, Direktur Future of Iran Initiative at the Atlantic Council, mengatakan bahwa ancaman perang masih terbuka lebar karena Trump dan Israel telah menempatkan banyak aset di Timur Tengah. “Konflik itu akan memiliki klimaks yang menakutkan jika AS gagal menerapkan kebijakan maksimum,” kata Slavin.
Bagaimana pintu diplomasi? Slavin menilai, pintu diplomasi masih terbuka lebar karena pada Juni mendatang akan digelar pemilu presiden. “Diplomasi merupakan cara efektif untuk menekan aktivitas nuklir Iran,” sarannya. Diplomasi, kata dia, menjadi salah satu cara paling sensitif untuk menghadapi Iran.
Dalam pandangan Simon Tisdall, analis Iran, pembunuhan terhadap ilmuwan Iran memicu dugaan kalau Trump dan aliansinya terutama Israel dan Arab Saudi, mencoba untuk mengajak rezim Teheran melakukan konfrontasi total. "Trump masih memiliki kekuasaan untuk memicu kerusakan. Itu akan dianggap sebagai klimaks dalam kebijakannya terhadap Iran," katanya dilansir The Guardian. (Lihat videonya: Bangkai Pesawat Diduga Air Asia Ditemukan di Kalteng)
Sebenarnya bukan Trump semata yang ingin berperang melawan Iran. Adalah Perdana Menteri (PM) Benjamin Netanyahu yang memiliki kepentingan dengan kekuatan nuklir di Iran. Netanyahu juga menjadikan isu Iran untuk komoditas politik di dalam negerinya. Apalagi, dia akan menghadapi pemilu tahun depan. Dia pun telah kehilangan sekutu sejatinya, yakni Trump, yang harus lengser pada pertengahan Januari mendatang.
"Israel tidak ingin berperang sendiri melawan Iran," kata Nick Paton Walsh, analis politik Timur Tengah dilansir CNN. Dia mengungkapkan, Israel tidak ingin menghadapi misil Iran dari utara dan selatan, meskipun mereka memiliki sistem perlindungan misil yang canggih. (Andika H Mustaqim)
Lihat Juga: Negara Pendiri BRICS yang Mulai Ragu Tinggalkan Dolar AS, Salah Satunya Musuh Amerika Serikat
Trump ingin meninggalkan pekerjaan berat bagi Joe Biden dengan melancarkan perang Iran. Dengan dukungan Iran, hal itu bukan hal yang mustahil. Pada momen beberapa saat terakhir sangat tepat ketika Iran kembali mengumandangkan balas dendam atas pembunuhan Jenderal Qassem Soleimani setahun lalu. (Baca: Ancaman Iran Makin Menjadi-jadi, AS Batal Pulangkan Kapal Induk dari Teluk)
Sinyal ketegangan AS-Iran semakin meningkat ketika kapal induk USS Nimitz tetap bertahan di Timur Tengah, padahal sebelumnya AS telah memerintahkan penarikannya. Itu dikarenakan AS melihat adanya ancaman Iran terhadap Presiden Trump dan para pejabat AS lainnya.
Pada akhir 2020, AS memerintahkan penerbangan pesawat pengebom B-52 yang membawa senjata nuklir ke Timur Tengah. Itu dikarenakan seorang penasihat militer Iran mengancam bahwa Tahun Baru akan menjadi duka bagi warga AS.
Jika perang Iran-AS pecah sebelum Trump lengser, itu akan menjadi bencana besar bagi dunia, bukan hanya Timur Tengah. Konsekuensi yang ditanggung bukan hanya AS dan koalisinya, yakni Arab Saudi dan Israel. Namun, konflik itu akan berdampak luas karena Timur Tengah merupakan jantung konflik dunia.
Perang Iran-AS bisa jadi akan memicu krisis ekonomi dunia yang lebih parah. Padahal, saat ini dunia sedang menghadapi krisis ekonomi dunia karena pandemi virus korona yang berlangsung hingga kini. Dunia akan kembali menghadapi resesi berkepanjangan karena efek ganda antara perang dan pandemi. (Baca juga: Doa Pengantin Baru Beserta Maknanya)
Negara yang paling dirugikan akibat perang itu adalah Iran. Itu disebabkan Iran mengalami bencana dan tragedi sepanjang 2020 dan menjadi tahun yang paling buruk sejak perang Iran-Irak.
Jika perang, Iran akan kembali menghadapi bencana berkepanjangan. Mata uang Iran pun sudah merosot lebih dari separuh. Media di Iran sudah memperingatkan bahwa ekonomi Iran akan menghadapi kehancuran. Sanksi ekonomi AS melemahkan Iran dari segala arah.
"Iran menghadapi defisit anggaran USD200 juta per pekan. Defisit itu menyebabkan inflasi," kata Majid Rafizadeh, pakar Iran, dilansir Arab News. "Krisis ekonomi Iran disebabkan oleh dikuasai Pasukan Garda Revolusi dan afiliasi, kantor Pemimpin Tertinggi yang menguasai sistem keuangan dan ekonomi Iran," imbuhnya.
Teheran mengalami kesulitan membiayai kelompok milisi di luar negeri. Seperti dilaporkan Middle East Eye, permasalahan finansial menyebabkan Ayatullah Khamenei memerintahkan semua faksi di Irak untuk menghentikan serangan ke kepentingan AS di Iran. (Baca juga: DPR Tagi Penjelasan Pemerintah Soal Penghapusan Formasi CPNS Guru)
Bukan hanya krisis ekonomi di Iran , krisis itu juga akan melebar. Itu dikarenakan pasokan minyak akan terganggu. Harga minyak dunia pun pasti akan mengalami kenaikan tajam. Seluruh dunia akan terkena dampaknya.
Perang Iran juga bisa mengakibatkan konflik berskala luas. Itu dikarenakan Iran memiliki banyak milisi yang berafiliasi baik di Lebanon, Suriah, maupun Irak. Mereka akan membantu Iran meski kondisi keuangan memburuk. Namun, Iran dikenal sebagai negara yang memainkan pihak ketiga dalam berkonflik.
Kekhawatiran mendalam adalah kelompok yang berafiliasi dengan Teheran juga akan melancarkan serangan ke negara yang berafiliasi dengan AS, seperti Israel dan Saudi. Itu bisa menjadi bencana besar yang tentunya sangat diperhitungkan semua pihak yang bertikai. Kelompok yang berafiliasi dengan Iran juga bisa saja melancarkan serangan ke pangkalan militer AS di Timur Tengah.
Kemudian, perang Iran-AS bisa menjadi ladang baru bagi Rusia yang memiliki kepentingan di Timur Tengah. Selama ini, Rusia merupakan pihak yang selalu mendukung Iran. Moskow memiliki senjata dan kekuatan tempur yang bisa bermain di belakang Iran. Hal itu juga yang dilakukan Rusia di Suriah. Rusia tidak akan membiarkan Iran berperang sendirian. Moskow dapat mengirimkan pasokan senjata dan teknologi militer untuk membantu Iran. (Baca juga: 5 Fakta Parosmia, Gejala Baru Covid-19)
"Permasalahan di kawasan Timur Tengah bukan aktivitas Iran ," kata Duta besar Rusia untuk Israel, Anatoly Viktorov, kepada Jerusalem Post. Konflik di Timur Tengah dikarenakan kurangnya pemahaman antara negara mengenai resolusi PBB tentang konflik Israel-Arab dan Israel-Palestina.
Jika perang AS-Iran yang terjadi, maka negara yang diuntungkan adalah Saudi dan Israel. “Trump selalu ditekan aliansi kuncinya di Timur Tengah untuk bertindak terhadap Iran,” kata Danny Postel, asisten direktur Center for International and Area Studies di Universitas Northwestern, dilansir Al Jazeera.
Postel mengungkapkan, Trump sangat terluka dan terpojok pada skenario akhir permainan karena dia memiliki kesempatan beberapa pekan lalu. Namun, Trump bsia saja melakukan tindakan berbahaya. “Itu mungkin sebagai kasus yang paling berbahaya,” katanya.
Sebelumnya, Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif mengatakan, informasi intelijen di Iran mengindikasikan agen Israel akan memprovokasi dengan menyerang fasilitas AS. Itu bertujuan agar Trump bisa menyerang Iran. “Trump harus hati-hati dengan jebakan itu,” katanya. Namun, Zarif tidak mengungkapkan bukti tersebut. (Baca juga: Positif Covid, Kevin Sanjaya Batal Tampil di Thailand Open)
Namun demikian, ancaman perang Iran-AS masih tetap di depan mata. Barbara Slavin, Direktur Future of Iran Initiative at the Atlantic Council, mengatakan bahwa ancaman perang masih terbuka lebar karena Trump dan Israel telah menempatkan banyak aset di Timur Tengah. “Konflik itu akan memiliki klimaks yang menakutkan jika AS gagal menerapkan kebijakan maksimum,” kata Slavin.
Bagaimana pintu diplomasi? Slavin menilai, pintu diplomasi masih terbuka lebar karena pada Juni mendatang akan digelar pemilu presiden. “Diplomasi merupakan cara efektif untuk menekan aktivitas nuklir Iran,” sarannya. Diplomasi, kata dia, menjadi salah satu cara paling sensitif untuk menghadapi Iran.
Dalam pandangan Simon Tisdall, analis Iran, pembunuhan terhadap ilmuwan Iran memicu dugaan kalau Trump dan aliansinya terutama Israel dan Arab Saudi, mencoba untuk mengajak rezim Teheran melakukan konfrontasi total. "Trump masih memiliki kekuasaan untuk memicu kerusakan. Itu akan dianggap sebagai klimaks dalam kebijakannya terhadap Iran," katanya dilansir The Guardian. (Lihat videonya: Bangkai Pesawat Diduga Air Asia Ditemukan di Kalteng)
Sebenarnya bukan Trump semata yang ingin berperang melawan Iran. Adalah Perdana Menteri (PM) Benjamin Netanyahu yang memiliki kepentingan dengan kekuatan nuklir di Iran. Netanyahu juga menjadikan isu Iran untuk komoditas politik di dalam negerinya. Apalagi, dia akan menghadapi pemilu tahun depan. Dia pun telah kehilangan sekutu sejatinya, yakni Trump, yang harus lengser pada pertengahan Januari mendatang.
"Israel tidak ingin berperang sendiri melawan Iran," kata Nick Paton Walsh, analis politik Timur Tengah dilansir CNN. Dia mengungkapkan, Israel tidak ingin menghadapi misil Iran dari utara dan selatan, meskipun mereka memiliki sistem perlindungan misil yang canggih. (Andika H Mustaqim)
Lihat Juga: Negara Pendiri BRICS yang Mulai Ragu Tinggalkan Dolar AS, Salah Satunya Musuh Amerika Serikat
(ysw)