Identitas Multikultur Taiwan Dibentuk Seiring Globalisasi
A
A
A
Siapakah negara Taiwan? Pertanyaan ini bisa sekilas terasa aneh karena faktanya masyarakat negara tersebut tidak berbeda dengan saudara tuanya di China daratan (mainland), dalam hal ini Suku Hakka yang merupakan mayoritas di negeri itu. Tapi, untuk beberapa dekade ke depan, bisa jadi persepsi ini akan berubah.
Negeri kepulauan itu bisa menjadi negara multikultur akibat banyak perkawinan antarnegara (cross-national marriages) yang dilakukan antarwarga Taiwan dengan warga negara lainnya. Selain itu, Taiwan juga semakin terbuka dengan pendatang atau imigran dari negara lain, di luar dari China, Hong Kong, dan Makao (new imigrant).
Dengan demikian, Taiwan benar-benar mempunyai identitas berbeda dengan China daratan. Identitas baru Taiwan terbangun seiring globalisasi, juga kebijakan yang lebih mendekatkan diri dengan negara-negara the New Soutbound Policy dan strategi Indo Pafisik yang berujung semakin dekatnya negara tersebut dengan negara di kawasan selatan, bukan hanya dengan China daratan atau negara-negara di Asia Utara.
“Taiwan saat ini bisa disebut menuju negara multikultur. Taiwan sangat terbuka terhadap warga negara lain,” ujar Wakil Dirjen National Imigration Agency Bill C Chang saat menyambut kunjungan sejumlah wartawan dari negara-negara The New Southbound Policy di Taipei, beberapa waktu lalu.
Jeremy Chiang dan Alan Hao Yang dalam sebuan artikel bertajuk ‘A Nation Reborn? Taiwan Belated Recognition of its Souetheast Asian Heritage’ yang dirilis jurnal The Diplomat menyebut, sejak President Tsai Ing-wen dan Partai Demokratic Progessive memimpin sejak 2016, negeri itu mengakui adanya hubungan daerah dengan negara-negara Asia Tenggara.
Di sisi lain, mengambil survei Taiwan Nation Security dan analisisi terkait lainnya, hanya 3% warga negara Taiwan mengidentifikasi diri mereka secara eksklusif sebagai “Chinese” pada 2014 dan lebih dari 60% warganya mengklaim Taiwan sebagai identitas tunggal mereka. Hal ini diakui sebagai dampak proses Taiwanisasi yang dilakukan sejak kepemimpinan Presiden Lee Teng-hui pada era 90-an sering dengan mulai meningkatkan tekanan China terhadap Taiwan.
Jeremy dan Alan menyebut, ketika sebagian besar diskusi tentang identitas Taiwan selama era otoriterian dan awal pascaautoriterian berfokus pada upaya menggambarkan perbedaan budaya antara Taiwan dan China daratan, nilai-nilai multikulturalisme dan demokratik liberal berkembang mewarnai diskursus identitas Taiwan.
Di sisi lain, setelah munculnya demokratisasi pada masa 1990, gagasan Taiwan sebagai sebuah masyarakat mono-etnik China secara cepat kehilangan popularitasnya. “Masyarakat Taiwan dengan cepat menunjukkan dirinya sebagai anggota masyarakat imigran multikultur yang terdiri dari suku asli Taiwan, Suku Hoklo, Suku Hakka, dan warga negara China yang datang ke Taiwan setelah 1949,” ujar mereka.
Multikultur masyarakat Taiwan semakin berwarna pada 1990 seiring dengan kian membesarnya kelompok new imigran di luar empat kelompok penduduk sebelumnya dan mereka mulai menanam benih identitas Taiwan baru. Sebagian besar penduduk baru itu berasal dari Asia Tenggara dan China datang ke Taiwan akibat perkawinan antarnegara dengan warga negara Taiwan.
Kini keturunan hasil perkawinan antarnegara dan new imigran semakin mewarnai sekolah dasar dan sekolah menengah sehingga kehadiran mereka secara signifikan memengaruhi lanskap demografi Taiwan. Gagasan “South East Asia-Taiwanese” menjadi bagian penting masyarakat
Taiwan semakin diperkuat Pemerintah Taiwan pada era 2.000-an. Terutama setelah Presiden Tsai Ing-wn yang saat itu masih menjadi kandidat presiden mengumumkan kebijakan The New Soutbound Policy pada 2015. Sejak itulah warga masyarakat dari kawasan Asia Tenggara semakin mewarnai wajah baru Taiwan.
Perkawinan Antarnegara dan New Imigran
Banyaknya perkawinan antarnegara yang terjadi di Taiwan selama ini tidak banyak diketahui. Padahal faktanya sangat banyak. Perkawinan terutama terjadi antara warga negara tersebut dengan China daratan, Vietnam, dan Indonesia. Lebih dari itu, pemerintah setempat memberikan ruang gerak dan hak terbilang sangat besar untuk mereka serta keturunan mereka agar sebenar-benarnya menjadi orang Taiwan.
Berdasar data National Immigration Agency, perkawinan antarnegara di negerinya relatif tinggi. Pada 2018 lalu, misalnya, perkawinan antarwarga negara Taiwan dengan warga China, Hong Kong, atau Makau mencapai 8.216 kasus, sedangkan antarwarga negara Taiwan dengan negara lain mencapai 12.392 kasus.
Besarnya perkawinan antarwarga negara Taiwan dengan warga di luar Suku Hakka, termasuk pada tahun sebelumnya, menarik karena hal tersebut keluar dari “tradisi” yang telah berlangsung lama sebelumnya. Jumlah imigran yang datang ke negeri tersebut juga terbilang besar, walaupun mayoritas masih berasa dari China daratan yang mencapai 342.000 orang.
Kendati demikian, jumlah imigran dari non-China juga lumayan besar di antara paling besar berasal dari Vietnam sebesar 105.596 orang, Indonesia (30.016), Thailand (8.916), dan Filipina (9.681). Para imigran beserta keluarganya tinggal tersebar di hampir semua provinsi di Taiwan. Sebagian besar memilih hidup di New Taipei sebesar 104.692 orang beserta 30.888 orang anak.
Selain New Taipei, wilayah lain yang menjadi sasaran imigran adalah Taipei, Kaohsiung, Taoyuan, Taichung, dan Tainan. Berdasar data per 2017 lalu, dari ratusan ribu anak imigran, sebagian besar merupakan keturunan warga China daratan berjumlah 73.540 orang, diikuti keturunan warga Vietnam (72.508), Indonesia (16.350), Filipina (3.796), Kamboja (3.563), dan Thailand (3.263).
Hebatnya, Taiwan bukan hanya terbuka dengan kehadiran mereka, tapi juga menyambut sepenuhnya dengan menjadikan mereka sebagai warga Taiwan seutuhnya dalam membentuk wajah baru Taiwan. Hal ini dibuktikan dengan upaya pemerintahannya yang selalu meningkatkan pelayanan terhadap mereka, baik dari sisi hak hidup (life), pelayanan kesehatan (medical), serta pelatihan diberikan (course).
Pada 2003, Taiwan hanya memberikan hak hidup berupa hak tinggal dan adaptasi hidup di negeri itu. Namun pada 2008, para imigran juga mendapatkan bimbingan hidup (living assistance) dan pendidikan untuk anak-anak mereka. Selanjutnya pada 2013, para imigran mendapatkan bimbingan adaptasi untuk hidup dan bimbingan hidup serta adanya service center untuk pelayanan mereka.
Pelayanan kesehatan dan pelatihan untuk imigran juga terus ditingkatkan. Untuk pelayanan, misalnya, mereka saat ini mendapatkan bimbingan kesehatan, asuransi kesehatan, serta pengetahuan untuk merawat anak balita dan perempuan hamil. Sedangkan untuk pelatihan, para imigran saat ini mendapatkan pelatihan bahasa, pendidikan untuk orang tua dan pengetahuan untuk perawatan balita, serta pelatihan pengobatan dan perawatan.
Untuk mendukung kelancaran berbagai program dimaksud menyediakan berbagai fasilitas dan kegiatan, seperti counseling hotline, pendidikan untuk keluarga dan kampanye hukum, mendirikan care and service network, kendaraan untuk pelayanan bergerak, new imigrant development funds, dan lainnya.
Khusus untuk imigran yang berasal dari negara-negara Then New Soutbound, Taiwan juga melakukan sejumlah kegiatan di antaranya membantu imigran dan anak-anak mereka mewujudkan mimpi atau “Make Dreams Comes True”, proyek pelatihan untuk pemberdayaan generasi kedua imigran, summer camp untuk new imigran, serta beasiswa untuk imigran dan anak-anak mereka.
Negeri kepulauan itu bisa menjadi negara multikultur akibat banyak perkawinan antarnegara (cross-national marriages) yang dilakukan antarwarga Taiwan dengan warga negara lainnya. Selain itu, Taiwan juga semakin terbuka dengan pendatang atau imigran dari negara lain, di luar dari China, Hong Kong, dan Makao (new imigrant).
Dengan demikian, Taiwan benar-benar mempunyai identitas berbeda dengan China daratan. Identitas baru Taiwan terbangun seiring globalisasi, juga kebijakan yang lebih mendekatkan diri dengan negara-negara the New Soutbound Policy dan strategi Indo Pafisik yang berujung semakin dekatnya negara tersebut dengan negara di kawasan selatan, bukan hanya dengan China daratan atau negara-negara di Asia Utara.
“Taiwan saat ini bisa disebut menuju negara multikultur. Taiwan sangat terbuka terhadap warga negara lain,” ujar Wakil Dirjen National Imigration Agency Bill C Chang saat menyambut kunjungan sejumlah wartawan dari negara-negara The New Southbound Policy di Taipei, beberapa waktu lalu.
Jeremy Chiang dan Alan Hao Yang dalam sebuan artikel bertajuk ‘A Nation Reborn? Taiwan Belated Recognition of its Souetheast Asian Heritage’ yang dirilis jurnal The Diplomat menyebut, sejak President Tsai Ing-wen dan Partai Demokratic Progessive memimpin sejak 2016, negeri itu mengakui adanya hubungan daerah dengan negara-negara Asia Tenggara.
Di sisi lain, mengambil survei Taiwan Nation Security dan analisisi terkait lainnya, hanya 3% warga negara Taiwan mengidentifikasi diri mereka secara eksklusif sebagai “Chinese” pada 2014 dan lebih dari 60% warganya mengklaim Taiwan sebagai identitas tunggal mereka. Hal ini diakui sebagai dampak proses Taiwanisasi yang dilakukan sejak kepemimpinan Presiden Lee Teng-hui pada era 90-an sering dengan mulai meningkatkan tekanan China terhadap Taiwan.
Jeremy dan Alan menyebut, ketika sebagian besar diskusi tentang identitas Taiwan selama era otoriterian dan awal pascaautoriterian berfokus pada upaya menggambarkan perbedaan budaya antara Taiwan dan China daratan, nilai-nilai multikulturalisme dan demokratik liberal berkembang mewarnai diskursus identitas Taiwan.
Di sisi lain, setelah munculnya demokratisasi pada masa 1990, gagasan Taiwan sebagai sebuah masyarakat mono-etnik China secara cepat kehilangan popularitasnya. “Masyarakat Taiwan dengan cepat menunjukkan dirinya sebagai anggota masyarakat imigran multikultur yang terdiri dari suku asli Taiwan, Suku Hoklo, Suku Hakka, dan warga negara China yang datang ke Taiwan setelah 1949,” ujar mereka.
Multikultur masyarakat Taiwan semakin berwarna pada 1990 seiring dengan kian membesarnya kelompok new imigran di luar empat kelompok penduduk sebelumnya dan mereka mulai menanam benih identitas Taiwan baru. Sebagian besar penduduk baru itu berasal dari Asia Tenggara dan China datang ke Taiwan akibat perkawinan antarnegara dengan warga negara Taiwan.
Kini keturunan hasil perkawinan antarnegara dan new imigran semakin mewarnai sekolah dasar dan sekolah menengah sehingga kehadiran mereka secara signifikan memengaruhi lanskap demografi Taiwan. Gagasan “South East Asia-Taiwanese” menjadi bagian penting masyarakat
Taiwan semakin diperkuat Pemerintah Taiwan pada era 2.000-an. Terutama setelah Presiden Tsai Ing-wn yang saat itu masih menjadi kandidat presiden mengumumkan kebijakan The New Soutbound Policy pada 2015. Sejak itulah warga masyarakat dari kawasan Asia Tenggara semakin mewarnai wajah baru Taiwan.
Perkawinan Antarnegara dan New Imigran
Banyaknya perkawinan antarnegara yang terjadi di Taiwan selama ini tidak banyak diketahui. Padahal faktanya sangat banyak. Perkawinan terutama terjadi antara warga negara tersebut dengan China daratan, Vietnam, dan Indonesia. Lebih dari itu, pemerintah setempat memberikan ruang gerak dan hak terbilang sangat besar untuk mereka serta keturunan mereka agar sebenar-benarnya menjadi orang Taiwan.
Berdasar data National Immigration Agency, perkawinan antarnegara di negerinya relatif tinggi. Pada 2018 lalu, misalnya, perkawinan antarwarga negara Taiwan dengan warga China, Hong Kong, atau Makau mencapai 8.216 kasus, sedangkan antarwarga negara Taiwan dengan negara lain mencapai 12.392 kasus.
Besarnya perkawinan antarwarga negara Taiwan dengan warga di luar Suku Hakka, termasuk pada tahun sebelumnya, menarik karena hal tersebut keluar dari “tradisi” yang telah berlangsung lama sebelumnya. Jumlah imigran yang datang ke negeri tersebut juga terbilang besar, walaupun mayoritas masih berasa dari China daratan yang mencapai 342.000 orang.
Kendati demikian, jumlah imigran dari non-China juga lumayan besar di antara paling besar berasal dari Vietnam sebesar 105.596 orang, Indonesia (30.016), Thailand (8.916), dan Filipina (9.681). Para imigran beserta keluarganya tinggal tersebar di hampir semua provinsi di Taiwan. Sebagian besar memilih hidup di New Taipei sebesar 104.692 orang beserta 30.888 orang anak.
Selain New Taipei, wilayah lain yang menjadi sasaran imigran adalah Taipei, Kaohsiung, Taoyuan, Taichung, dan Tainan. Berdasar data per 2017 lalu, dari ratusan ribu anak imigran, sebagian besar merupakan keturunan warga China daratan berjumlah 73.540 orang, diikuti keturunan warga Vietnam (72.508), Indonesia (16.350), Filipina (3.796), Kamboja (3.563), dan Thailand (3.263).
Hebatnya, Taiwan bukan hanya terbuka dengan kehadiran mereka, tapi juga menyambut sepenuhnya dengan menjadikan mereka sebagai warga Taiwan seutuhnya dalam membentuk wajah baru Taiwan. Hal ini dibuktikan dengan upaya pemerintahannya yang selalu meningkatkan pelayanan terhadap mereka, baik dari sisi hak hidup (life), pelayanan kesehatan (medical), serta pelatihan diberikan (course).
Pada 2003, Taiwan hanya memberikan hak hidup berupa hak tinggal dan adaptasi hidup di negeri itu. Namun pada 2008, para imigran juga mendapatkan bimbingan hidup (living assistance) dan pendidikan untuk anak-anak mereka. Selanjutnya pada 2013, para imigran mendapatkan bimbingan adaptasi untuk hidup dan bimbingan hidup serta adanya service center untuk pelayanan mereka.
Pelayanan kesehatan dan pelatihan untuk imigran juga terus ditingkatkan. Untuk pelayanan, misalnya, mereka saat ini mendapatkan bimbingan kesehatan, asuransi kesehatan, serta pengetahuan untuk merawat anak balita dan perempuan hamil. Sedangkan untuk pelatihan, para imigran saat ini mendapatkan pelatihan bahasa, pendidikan untuk orang tua dan pengetahuan untuk perawatan balita, serta pelatihan pengobatan dan perawatan.
Untuk mendukung kelancaran berbagai program dimaksud menyediakan berbagai fasilitas dan kegiatan, seperti counseling hotline, pendidikan untuk keluarga dan kampanye hukum, mendirikan care and service network, kendaraan untuk pelayanan bergerak, new imigrant development funds, dan lainnya.
Khusus untuk imigran yang berasal dari negara-negara Then New Soutbound, Taiwan juga melakukan sejumlah kegiatan di antaranya membantu imigran dan anak-anak mereka mewujudkan mimpi atau “Make Dreams Comes True”, proyek pelatihan untuk pemberdayaan generasi kedua imigran, summer camp untuk new imigran, serta beasiswa untuk imigran dan anak-anak mereka.
(don)