5 Alasan Donald Trump Tak Akan Pernah Membela Palestina
Senin, 11 November 2024 - 15:24 WIB
TEL AVIV - Donald Trump telah memenangkan Pemilu Amerika Serikat (AS) 2024 dan menjadi presiden teripilih.
Ketika berkuasa sebagai presiden ke-45 AS, yakni selama masa jabatan 2017-2021, dia menjalankan kebijakan luar negeri yang telah merugikan Palestina —termasuk secara sepihak mengakui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel.
Meskipun Palestina sering kali menjadi topik dalam politik internasional, termasuk kampanye Pemilu AS 2024, Trump jelas menunjukkan bahwa dia tidak akan membela Palestina.
Beberapa alasan utama di balik posisinya itu dapat ditemukan dalam kebijakan luar negeri Trump, afiliasi politiknya, dan hubungan dekat dengan Israel.
5 Alasan Donald Trump Tak Akan Pernah Membela Palestina
Salah satu alasan utama mengapa Donald Trump tidak akan membela Palestina adalah hubungan yang sangat dekat antara pemerintahannya dan Israel.
Selama masa kepresidenan pertamanya, Trump menunjukkan dukungan yang sangat kuat terhadap Israel, yang dipimpin oleh Perdana Menteri Benjamin Netanyahu.
Trump menilai hubungan dengan Israel sebagai prioritas utama dalam kebijakan luar negeri AS, dan dalam banyak hal, kebijakan ini mencerminkan pendekatan yang lebih memihak kepada Israel daripada kepada Palestina.
Trump mengambil dua langkah yang sangat menguntungkan bagi Israel.
Pertama, pengakuan Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel pada 2017. Dia juga memindahkan Kedutaan Besar AS dari Tel Aviv ke Yerusalem.
Langkah ini memicu kecaman dari dunia Arab dan negara-negara Muslim, serta dari Palestina yang menganggap Yerusalem Timur sebagai ibu kota negara mereka di masa depan.
Kedua, penyusunan "Deal of the Century" tahun 2020. Trump, seperti dikutip New York Times, telah merancang rencana perdamaian yang disebut "Deal of the Century" yang dianggap sangat menguntungkan bagi Israel.
Rencana ini, yang menawarkan Palestina sebagian kecil dari wilayah yang mereka klaim, menegaskan dominasi Israel atas banyak wilayah yang diperebutkan, termasuk Yerusalem. Palestina menolak rencana ini karena tidak mencakup hak-hak dasar mereka, seperti kemerdekaan dan kontrol penuh atas Yerusalem Timur.
Lobi pro-Israel yang kuat di Amerika Serikat juga memainkan peran penting dalam membentuk kebijakan Trump terhadap Israel.
Kelompok-kelompok seperti AIPAC (American Israel Public Affairs Committee) dan tokoh-tokoh politik yang pro-Israel di Washington memiliki pengaruh besar dalam politik AS, dan Trump tidak segan-segan untuk bekerja sama dengan mereka dalam merumuskan kebijakan luar negeri.
Trump menerapkan kebijakan luar negeri yang lebih bersifat isolasionis dan berfokus pada kepentingan Amerika Serikat terlebih dahulu, yang dikenal dengan slogan "America First".
Dalam konteks ini, Trump lebih memilih untuk mendukung sekutu-sekutu utama AS, seperti Israel, yang dianggap memiliki kepentingan yang sejalan dengan AS.
Sebaliknya, Trump tidak menunjukkan minat yang signifikan untuk mendalami isu Palestina atau melakukan intervensi dalam upaya perdamaian yang lebih inklusif.
Pendekatan "America First" berarti Trump menghindari konflik internasional yang dianggap tidak langsung menguntungkan Amerika.
Dalam hal ini, meskipun konflik Israel-Palestina adalah masalah internasional yang penting, Trump cenderung memprioritaskan stabilitas politik di dalam negeri dan memperkuat hubungan dengan negara-negara yang dianggap penting secara strategis bagi AS, termasuk Israel.
Trump juga didorong oleh basis pendukung dari kalangan konservatif, termasuk kelompok evangelis Kristen di Amerika Serikat, yang seringkali sangat mendukung Israel.
Banyak kelompok evangelis percaya bahwa mendukung Israel adalah bagian dari keyakinan agama mereka, yang mengarah pada pandangan bahwa Israel harus diberi dukungan penuh.
Oleh karena itu, kebijakan luar negeri Trump seringkali disesuaikan dengan keyakinan agama dan politik ini, yang membuatnya semakin sulit untuk mendukung Palestina secara terbuka.
Partai Republik, yang merupakan partai Trump, secara historis telah mendukung Israel. Hal ini membuat sikap Trump lebih konsisten dengan kebijakan luar negeri partai tersebut, yang cenderung pro-Israel.
Kebijakan ini juga berfungsi untuk memperkokoh basis dukungan Trump di kalangan pemilih Kristen konservatif yang memandang hubungan dengan Israel sebagai penting secara teologis.
Trump, melalui rencananya, secara efektif mengabaikan konsep solusi dua negara, yang telah menjadi kerangka dasar untuk penyelesaian konflik Israel-Palestina selama beberapa dekade.
Konsep ini berpendapat bahwa perdamaian yang abadi hanya dapat dicapai dengan mendirikan Negara Palestina yang merdeka di samping Israel.
Sebaliknya, Trump lebih memilih solusi yang sangat menguntungkan Israel, yang lebih menekankan pada penguatan Israel dan pengurangan hak-hak Palestina.
Langkah-langkah seperti pengakuan atas aneksasi wilayah Tepi Barat oleh Israel dan pemangkasan bantuan AS kepada Palestina semakin memperburuk hubungan antara pemerintah Trump dan Palestina.
Israel juga memainkan peran penting dalam strategi ekonomi dan militer AS di Timur Tengah.
Dengan memihak kepada Israel, Trump mendukung kepentingan AS dalam hal aliansi militer, perdagangan, dan pengaruh di kawasan yang penuh ketegangan ini.
Hubungan ekonomi antara Israel dan AS telah terjalin erat, dengan perdagangan senjata dan teknologi yang saling menguntungkan.
Oleh karena itu, bagi Trump, mempertahankan dukungan terhadap Israel adalah bagian dari strategi geopolitik yang lebih luas, yang tidak termasuk dalam upaya untuk membela Palestina.
Ketika berkuasa sebagai presiden ke-45 AS, yakni selama masa jabatan 2017-2021, dia menjalankan kebijakan luar negeri yang telah merugikan Palestina —termasuk secara sepihak mengakui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel.
Meskipun Palestina sering kali menjadi topik dalam politik internasional, termasuk kampanye Pemilu AS 2024, Trump jelas menunjukkan bahwa dia tidak akan membela Palestina.
Beberapa alasan utama di balik posisinya itu dapat ditemukan dalam kebijakan luar negeri Trump, afiliasi politiknya, dan hubungan dekat dengan Israel.
5 Alasan Donald Trump Tak Akan Pernah Membela Palestina
1. Kedekatan dengan Israel dan Kekuatan Lobi Pro-Israel di AS
Salah satu alasan utama mengapa Donald Trump tidak akan membela Palestina adalah hubungan yang sangat dekat antara pemerintahannya dan Israel.
Selama masa kepresidenan pertamanya, Trump menunjukkan dukungan yang sangat kuat terhadap Israel, yang dipimpin oleh Perdana Menteri Benjamin Netanyahu.
Trump menilai hubungan dengan Israel sebagai prioritas utama dalam kebijakan luar negeri AS, dan dalam banyak hal, kebijakan ini mencerminkan pendekatan yang lebih memihak kepada Israel daripada kepada Palestina.
Trump mengambil dua langkah yang sangat menguntungkan bagi Israel.
Pertama, pengakuan Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel pada 2017. Dia juga memindahkan Kedutaan Besar AS dari Tel Aviv ke Yerusalem.
Langkah ini memicu kecaman dari dunia Arab dan negara-negara Muslim, serta dari Palestina yang menganggap Yerusalem Timur sebagai ibu kota negara mereka di masa depan.
Kedua, penyusunan "Deal of the Century" tahun 2020. Trump, seperti dikutip New York Times, telah merancang rencana perdamaian yang disebut "Deal of the Century" yang dianggap sangat menguntungkan bagi Israel.
Rencana ini, yang menawarkan Palestina sebagian kecil dari wilayah yang mereka klaim, menegaskan dominasi Israel atas banyak wilayah yang diperebutkan, termasuk Yerusalem. Palestina menolak rencana ini karena tidak mencakup hak-hak dasar mereka, seperti kemerdekaan dan kontrol penuh atas Yerusalem Timur.
Lobi pro-Israel yang kuat di Amerika Serikat juga memainkan peran penting dalam membentuk kebijakan Trump terhadap Israel.
Kelompok-kelompok seperti AIPAC (American Israel Public Affairs Committee) dan tokoh-tokoh politik yang pro-Israel di Washington memiliki pengaruh besar dalam politik AS, dan Trump tidak segan-segan untuk bekerja sama dengan mereka dalam merumuskan kebijakan luar negeri.
2. Kebijakan America First dan Isolasionisme
Trump menerapkan kebijakan luar negeri yang lebih bersifat isolasionis dan berfokus pada kepentingan Amerika Serikat terlebih dahulu, yang dikenal dengan slogan "America First".
Dalam konteks ini, Trump lebih memilih untuk mendukung sekutu-sekutu utama AS, seperti Israel, yang dianggap memiliki kepentingan yang sejalan dengan AS.
Sebaliknya, Trump tidak menunjukkan minat yang signifikan untuk mendalami isu Palestina atau melakukan intervensi dalam upaya perdamaian yang lebih inklusif.
Pendekatan "America First" berarti Trump menghindari konflik internasional yang dianggap tidak langsung menguntungkan Amerika.
Dalam hal ini, meskipun konflik Israel-Palestina adalah masalah internasional yang penting, Trump cenderung memprioritaskan stabilitas politik di dalam negeri dan memperkuat hubungan dengan negara-negara yang dianggap penting secara strategis bagi AS, termasuk Israel.
3. Posisi Partai Republik dan Konservatisme Evangelis
Trump juga didorong oleh basis pendukung dari kalangan konservatif, termasuk kelompok evangelis Kristen di Amerika Serikat, yang seringkali sangat mendukung Israel.
Banyak kelompok evangelis percaya bahwa mendukung Israel adalah bagian dari keyakinan agama mereka, yang mengarah pada pandangan bahwa Israel harus diberi dukungan penuh.
Oleh karena itu, kebijakan luar negeri Trump seringkali disesuaikan dengan keyakinan agama dan politik ini, yang membuatnya semakin sulit untuk mendukung Palestina secara terbuka.
Partai Republik, yang merupakan partai Trump, secara historis telah mendukung Israel. Hal ini membuat sikap Trump lebih konsisten dengan kebijakan luar negeri partai tersebut, yang cenderung pro-Israel.
Kebijakan ini juga berfungsi untuk memperkokoh basis dukungan Trump di kalangan pemilih Kristen konservatif yang memandang hubungan dengan Israel sebagai penting secara teologis.
4. Pengabaian Terhadap Solusi Dua Negara
Trump, melalui rencananya, secara efektif mengabaikan konsep solusi dua negara, yang telah menjadi kerangka dasar untuk penyelesaian konflik Israel-Palestina selama beberapa dekade.
Konsep ini berpendapat bahwa perdamaian yang abadi hanya dapat dicapai dengan mendirikan Negara Palestina yang merdeka di samping Israel.
Sebaliknya, Trump lebih memilih solusi yang sangat menguntungkan Israel, yang lebih menekankan pada penguatan Israel dan pengurangan hak-hak Palestina.
Langkah-langkah seperti pengakuan atas aneksasi wilayah Tepi Barat oleh Israel dan pemangkasan bantuan AS kepada Palestina semakin memperburuk hubungan antara pemerintah Trump dan Palestina.
5. Pengaruh Ekonomi dan Strategis
Israel juga memainkan peran penting dalam strategi ekonomi dan militer AS di Timur Tengah.
Dengan memihak kepada Israel, Trump mendukung kepentingan AS dalam hal aliansi militer, perdagangan, dan pengaruh di kawasan yang penuh ketegangan ini.
Hubungan ekonomi antara Israel dan AS telah terjalin erat, dengan perdagangan senjata dan teknologi yang saling menguntungkan.
Oleh karena itu, bagi Trump, mempertahankan dukungan terhadap Israel adalah bagian dari strategi geopolitik yang lebih luas, yang tidak termasuk dalam upaya untuk membela Palestina.
(mas)
tulis komentar anda