Setahun di Kamp Neraka, Pembangkang Korut Makan Tikus

Jum'at, 06 Februari 2015 - 14:21 WIB
Setahun di Kamp Neraka,...
Setahun di Kamp Neraka, Pembangkang Korut Makan Tikus
A A A
MANCHESTER - Ji-hyun Park, wanita asal Korea Utara yang menjadi pembangkang mengungkap penderitaannya hidup setahun di kamp kerja paksa. Selama bertahan hidup di kamp yang ia sebut “kamp neraka” itu, Park makan tikus untuk bertahan hidup karena kelaparan.

Wanita itu kini tinggal di Manchester, setelah menempuh perjalanan berliku di Mongolia dan menemukan jodohnya. Tak hanya makan tikus, Park juga dipaksa membersihkan toilet kotor dengan tangan kosong. Kisahnya yang setahun hidup di “kamp neraka” Korea Utara (Korut), dia ungkap kepada Amnesty Internasional.

Kisah Park masuk kamp kerja paksa rezim Pyongyang itu bermula dari aksinya yang melarikan diri ke China karena tidak tahan hidup kelaparan di Korut. Sialnya, oleh China Park dideportasi ke Korut dengan tuduhan sebagai “pembelot ekonomi”. Sejak itu dia merasakan hidup menderita di kamp kerja paksa Korut.

“Benar-benar itu suatu hal buruk yang tak terkatakan. Semua orang lapar. Bahkan tidak ada tikus, ular atau tanaman liar yang tersisa untuk mereka bagikan guna dimakan,” tuturnya, yang dilansir Mail Online, Jumat (6/2/2015).

Park ingat derita kelaparan hebat itu dia alami saat tinggal di Korut pada akhir 1990-an. ”Banyak orang meninggal antara tahun 1996-1998. Gerbong kereta di stasiun penuh dengan mayat,” ucapnya.

Kisahnya itu rencananya akan dia buat dalam bentuk film pendek dengan judul “The Other Interview”. Pemilihan judul itu sengaja mengacu pada film yang membuat pemimpin Korut, Kim Jong-un meradang, yakni “The Interview”.

Usai ditangkap di China, Park dikirim ke kamp kerja paksa di Chongjin, di distrik Songpyong. Para tahanan di kamp kerja paksa itu, menurutnya, dipaksa memanggil sipir dengan sebutan “guru”. ”Kami bekerja lebih keras dari hewan," katanya.

”Setiap hari kerja kami mulai pukul 04.30, sebelum kita bisa memiliki sesuatu untuk dimakan. Di musim panas ketika hari-hari berjalan lebih lama, kami akan bekerja sampai pukul 20.00 hingga 21.00,” katanya.

Dia terpaksa lari dari Korut juga karena diminta ayahnya yang kala itu kondisinya telah memburuk.
“Dia tidak dapat berbicara lagi. Dia hanya bisa bahasa isyarat dengan tangannya, menyuruh saya pergi, meninggalkan Korut,” paparnya.

“Saya meninggalkannya di sana, di ruangan yang dingin. Saya meninggalkannya semangkuk nasi dan pakaian ganti. Saya meninggalkan Korut seperti itu,” ujarnya menyesal karena tidak mendampingi ayahnya saat meninggal.
(mas)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7940 seconds (0.1#10.140)