Cari QZ8501 di RI, AS, Rusia dan China Berebut Pengaruh?
A
A
A
PANGKALAN BUN - Tiga negara kekuatan dunia, Amerika Serikat (AS), Rusia dan China saling mengerahkan peralatan canggihnya untuk membantu Indonesia mencari pesawat AirAsia QZ8501.
Para analis mulai curiga terkait motif ketiga negara kuat itu dalam misi kemanusiaan mencari puing pesawat dan jenazah korban QZ8501. Mereka curiga ketiga negara itu sedang berebut pengaruh di wilayah Asia dengan pamer kecanggihan teknologi dan militer.
Dari 162 orang di dalam pesawat QZ8501, masih banyak yang belum ditemukan. Pada hari ini (9/1/2015), tim Basarnas Indonesia mulai berupaya mengevakuasi ekor pesawat dan diharapkan bisa menemukan black box secepatnya.
John Blaxland, analis senior dari Studi Pertahanan Strategis dan Pusat di Australian National University, menganalisis kemungkinan motif lain dari misi kemanusiaan ketiga negara kuat itu.
”Saya tidak berpikir akan ada pertanyaan bahwa (misi) ini juga tentang cara membangun soft power,” katanya.
”Mereka sangat sadar akan spin-off yang sangat positif dari keterlibatan konstruktif sudah masuk dalam skenario. Ada manfaat yang sangat signifikan dan abadi,” lanjut Blaxland.
Keuntungan AS
Untuk AS, kata dia, misi penanganan kecelakaan seperti yang dialami AirAsia bisa menjadi keuntungan bagi pemerintahan Presiden Barack Obama untuk meningkatkan aset militer AS di Asia. AS sendiri diketahui mengerahkan beberapa kapal perang canggihnya dalam misi mencari QZ8501.
Gregory Poling, analis Asia Tenggara di sebuah kelompok pusat studi yang berbasis di Washington, mengatakan misi AS dalam membantu mencari QZ8501 berpeluang untuk merekatkan persahabatan negara-negara di kawasan regional dengan AS.
Selain dalam kasus AirAsia, Poling mencontohkan kasus serupa yang dimainkan militer AS dalam membantu korban topan Haiyan di Filipina tahun 2013 yang merenggut ribuan korban jiwa, serta saat membantu mencari Malysia Airlines MH370.
”Dalam beberapa tahun terakhir, telah menjadi jelas di sekitar Asia Tenggara bahwa manfaat terbesar dari kehadiran keamanan AS di wilayah ini adalah kemampuannya untuk cepat merespon HADR (bantuan kemanusiaan dan bantuan bencana) dan membantu pengamanan maritim,” kata Poling kepada AFP.
China juga tidak mau kalah dengan AS. Untuk krisis AirAsia, China dengan cepat mengerahkan kapal Angkatan Laut, para penyelam dan ahli pencari black box atau kotak hitam.
Blaxland menilai respons China ini belajar dari “kesalahan” di masa lalu. Yakni saat topan Haiyan melanda Filipina, China dikritik karena responnya agak telat dan bantuan relatif kecil. Maklum, kala itu China dan Filipina juga sedang bersengketa atas kepulauan di Laut China Selatan.
”Respons balik di Asia Tenggara akibat keterlambatan China itu bergema di Beijing. Itu benar-benar memukul negara itu, karena dianggap pandang bulu dalam membantu,” ujar Blaxland.
”Sebagai konsekuensinya, Beijing jauh lebih selaras dengan pentingnya (untuk membantu)."
Sementara itu, Rusia dalam misi membantu mencari QZ8501 juga mengerahkann dua pesawat militer dan para penyelam.
Dukungan Rusia ini menarik perhatian, setelah Rusia tidak membantu dalam mencari pesawat MH370, yang membuat Presiden Vladimir Putin dikritik. Selain itu, Rusia juga secara tidak langsung terbebani dalam kasus jatuhnya pesawat MH17 di Donetsk, Ukraina timur, meski Rusia membantah terlibat.
”Rusia ada di antara mereka (pencari AirAsia QZ8501) untuk alasan yang jelas, yakni (memulihkan citra) akibat tragedi MH17 ,” imbuh Bridget Welsh, seorang analis politik dan peneliti senior di Universitas Nasional Taiwan.
Para analis mulai curiga terkait motif ketiga negara kuat itu dalam misi kemanusiaan mencari puing pesawat dan jenazah korban QZ8501. Mereka curiga ketiga negara itu sedang berebut pengaruh di wilayah Asia dengan pamer kecanggihan teknologi dan militer.
Dari 162 orang di dalam pesawat QZ8501, masih banyak yang belum ditemukan. Pada hari ini (9/1/2015), tim Basarnas Indonesia mulai berupaya mengevakuasi ekor pesawat dan diharapkan bisa menemukan black box secepatnya.
John Blaxland, analis senior dari Studi Pertahanan Strategis dan Pusat di Australian National University, menganalisis kemungkinan motif lain dari misi kemanusiaan ketiga negara kuat itu.
”Saya tidak berpikir akan ada pertanyaan bahwa (misi) ini juga tentang cara membangun soft power,” katanya.
”Mereka sangat sadar akan spin-off yang sangat positif dari keterlibatan konstruktif sudah masuk dalam skenario. Ada manfaat yang sangat signifikan dan abadi,” lanjut Blaxland.
Keuntungan AS
Untuk AS, kata dia, misi penanganan kecelakaan seperti yang dialami AirAsia bisa menjadi keuntungan bagi pemerintahan Presiden Barack Obama untuk meningkatkan aset militer AS di Asia. AS sendiri diketahui mengerahkan beberapa kapal perang canggihnya dalam misi mencari QZ8501.
Gregory Poling, analis Asia Tenggara di sebuah kelompok pusat studi yang berbasis di Washington, mengatakan misi AS dalam membantu mencari QZ8501 berpeluang untuk merekatkan persahabatan negara-negara di kawasan regional dengan AS.
Selain dalam kasus AirAsia, Poling mencontohkan kasus serupa yang dimainkan militer AS dalam membantu korban topan Haiyan di Filipina tahun 2013 yang merenggut ribuan korban jiwa, serta saat membantu mencari Malysia Airlines MH370.
”Dalam beberapa tahun terakhir, telah menjadi jelas di sekitar Asia Tenggara bahwa manfaat terbesar dari kehadiran keamanan AS di wilayah ini adalah kemampuannya untuk cepat merespon HADR (bantuan kemanusiaan dan bantuan bencana) dan membantu pengamanan maritim,” kata Poling kepada AFP.
China juga tidak mau kalah dengan AS. Untuk krisis AirAsia, China dengan cepat mengerahkan kapal Angkatan Laut, para penyelam dan ahli pencari black box atau kotak hitam.
Blaxland menilai respons China ini belajar dari “kesalahan” di masa lalu. Yakni saat topan Haiyan melanda Filipina, China dikritik karena responnya agak telat dan bantuan relatif kecil. Maklum, kala itu China dan Filipina juga sedang bersengketa atas kepulauan di Laut China Selatan.
”Respons balik di Asia Tenggara akibat keterlambatan China itu bergema di Beijing. Itu benar-benar memukul negara itu, karena dianggap pandang bulu dalam membantu,” ujar Blaxland.
”Sebagai konsekuensinya, Beijing jauh lebih selaras dengan pentingnya (untuk membantu)."
Sementara itu, Rusia dalam misi membantu mencari QZ8501 juga mengerahkann dua pesawat militer dan para penyelam.
Dukungan Rusia ini menarik perhatian, setelah Rusia tidak membantu dalam mencari pesawat MH370, yang membuat Presiden Vladimir Putin dikritik. Selain itu, Rusia juga secara tidak langsung terbebani dalam kasus jatuhnya pesawat MH17 di Donetsk, Ukraina timur, meski Rusia membantah terlibat.
”Rusia ada di antara mereka (pencari AirAsia QZ8501) untuk alasan yang jelas, yakni (memulihkan citra) akibat tragedi MH17 ,” imbuh Bridget Welsh, seorang analis politik dan peneliti senior di Universitas Nasional Taiwan.
(mas)