Anak-anak korban tsunami Jepang butuh perawatan psikiatri
A
A
A
Sindonews.com – Satu dari empat anak-anak yang menjadi korban tsunami Jepang pada 2011 silam, saat ini memiliki masalah kejiwaan. Demikian terungkap dalam sebuah laporan pemerintah yang dirilis Senin (27/1/2014).
Seperti dilaporkan AFP, para peneliti menemukan 25,9 persen anak-anak berusia antara tiga dan lima menderita sejumlah gejala, termasuk vertigo, mual, dan sakit kepala. Beberapa anak menunjukkan perilaku yang mengkhawatirkan, seperti kekerasan.
Menurut tim peneliti yang dipimpin oleh profesor Shigeo Kure dari Tohoku University School of Medicine, anak-anak ini terluka mentalnya karena kehilangan teman-teman, melihat kehancuran rumah mereka, berpisah dari orang tua atau akibat melihat ombak besar yang menghantam daratan.
“Anak-anak yang tidak menerima perawatan yang diperlukan, bisa menderita masalah yang jauh lebih buruk di kemudian hari. Masalah itu bisa mencakup gangguan perkembangan dan kesulitan belajar, yang akan mempengaruhi prestasi akademik dan prospek pekerjaan," ungkap Kure.
Persentase anak yang membutuhkan perawatan psikiatri hingga tiga kali lipat lebih besar dibandingkan beberapa bagian di Jepang yang tidak terpengaruh oleh bencana. Misalnya, 8,5 persen anak-anak di Prefektur Mie, di Jepang tengah, membutuhkan bantuan.
"Saya terkejut melihat persentase anak-anak yang membutuhkan perawatan medis. Saya tidak berharap sebesar itu. Anak-anak yang merupakan bagian dari studi kami telah menerima dan akan terus menerima perawatan kejiwaan di tahun-tahun mendatang,” jelas Kure.
"Saya membayangkan ada banyak anak-anak, yang tampaknya menjalani hidup normal, tetapi menunjukkan perilaku yang perlu perhatian dokter. Misalnya, tiba-tiba bangun pada tengah malam atau menggigit kuku mereka," lanjutnya.
Seperti dilaporkan AFP, para peneliti menemukan 25,9 persen anak-anak berusia antara tiga dan lima menderita sejumlah gejala, termasuk vertigo, mual, dan sakit kepala. Beberapa anak menunjukkan perilaku yang mengkhawatirkan, seperti kekerasan.
Menurut tim peneliti yang dipimpin oleh profesor Shigeo Kure dari Tohoku University School of Medicine, anak-anak ini terluka mentalnya karena kehilangan teman-teman, melihat kehancuran rumah mereka, berpisah dari orang tua atau akibat melihat ombak besar yang menghantam daratan.
“Anak-anak yang tidak menerima perawatan yang diperlukan, bisa menderita masalah yang jauh lebih buruk di kemudian hari. Masalah itu bisa mencakup gangguan perkembangan dan kesulitan belajar, yang akan mempengaruhi prestasi akademik dan prospek pekerjaan," ungkap Kure.
Persentase anak yang membutuhkan perawatan psikiatri hingga tiga kali lipat lebih besar dibandingkan beberapa bagian di Jepang yang tidak terpengaruh oleh bencana. Misalnya, 8,5 persen anak-anak di Prefektur Mie, di Jepang tengah, membutuhkan bantuan.
"Saya terkejut melihat persentase anak-anak yang membutuhkan perawatan medis. Saya tidak berharap sebesar itu. Anak-anak yang merupakan bagian dari studi kami telah menerima dan akan terus menerima perawatan kejiwaan di tahun-tahun mendatang,” jelas Kure.
"Saya membayangkan ada banyak anak-anak, yang tampaknya menjalani hidup normal, tetapi menunjukkan perilaku yang perlu perhatian dokter. Misalnya, tiba-tiba bangun pada tengah malam atau menggigit kuku mereka," lanjutnya.
(esn)