Kisah warga Korea yang terpisah 60 tahun pasca-perang
A
A
A
Sindonews.com – Di rumahnya, Gyeongsan, Korea Selatan (Korsel) Hong Jong Soon,88, saban hari memandang ke luar jendela selama berjam-jam. Kebiasaan itu sudah berlangsung 60 tahun sejak suaminya menghilang ketika menjalani wajib militer Korsel tahun 1950. Dari jendela itu, Gyeongsan berharap sang suami pulang.
Suaminya yang menghilang, diyakini diculik untuk bergabung ke Korut, selama perang Korea terjadi. Sejak suaminya menghilang, Hong tidak pernah menikah lagi. Bahkan ia tidak mau mengubah tempat pelaminan mereka saat menikah, karena takut suaminya linglung ketika pulang.
”Saya tidak akan menyesal jika saya bisa melihatnya sebelum saya mati, bahkan jika itu hanya sekali saja," ujar Hong, saat diwawancarai Minggu lalu, di rumahnya yang berjarak 330 kilometer sebelah tenggara Seoul, seperti dikutip Fox News, Rabu (24/7/2013).
Enam dekade setelah pertempuran berhenti, Lansia Korea itu dipisahkan dari orang yang ia cintai. Hong tidak yakin bisa melihat kerabatnya yang lain menjelang kematiannya kelak.
Jutaan keluarga telah terpisah sejak perang Korea 1950-1953, yang ditandai dengan gerakan pengungsian besar-besaran. Kebanyakan dari mereka bahkan tidak tahu apakah kerabat mereka masih hidup atau telah tiada. Sebab, kedua negara melarang warganya bertukar email dan nomor telepon.
Sekitar 22 ribu warga dua Korea menjalani reuni keluarga singkat beberapa tahun lalu. Tapi, momen itu berakhir, pada 2010 ketika ketegangan dua Korea meningkat lagi. Sebuah proposal untuk melanjutkan reuni yang dibahas dua pemerintah pun macet.
”Harapanku sedikit hancur," kata Cho Il Woong, 81, yang meninggalkan ibunya, dan adik-adiknya, ketika ia dan ayahnya melarikan diri ke Korsel untuk menghindari perekrutan tentara Korut. ”Orang mengatakan, waktu akan menyembuhkan segalanya. Waktu telah berlalu, tetapi belum sembuh-sembuh.”
Sebagian besar orang yang mengajukan izin reuni berusia lebih dari 70 tahun. Sekitar 129 ribu orang yang mengajukan izin itu telah meninggal, karena tak kunjung terlaksana.
Suaminya yang menghilang, diyakini diculik untuk bergabung ke Korut, selama perang Korea terjadi. Sejak suaminya menghilang, Hong tidak pernah menikah lagi. Bahkan ia tidak mau mengubah tempat pelaminan mereka saat menikah, karena takut suaminya linglung ketika pulang.
”Saya tidak akan menyesal jika saya bisa melihatnya sebelum saya mati, bahkan jika itu hanya sekali saja," ujar Hong, saat diwawancarai Minggu lalu, di rumahnya yang berjarak 330 kilometer sebelah tenggara Seoul, seperti dikutip Fox News, Rabu (24/7/2013).
Enam dekade setelah pertempuran berhenti, Lansia Korea itu dipisahkan dari orang yang ia cintai. Hong tidak yakin bisa melihat kerabatnya yang lain menjelang kematiannya kelak.
Jutaan keluarga telah terpisah sejak perang Korea 1950-1953, yang ditandai dengan gerakan pengungsian besar-besaran. Kebanyakan dari mereka bahkan tidak tahu apakah kerabat mereka masih hidup atau telah tiada. Sebab, kedua negara melarang warganya bertukar email dan nomor telepon.
Sekitar 22 ribu warga dua Korea menjalani reuni keluarga singkat beberapa tahun lalu. Tapi, momen itu berakhir, pada 2010 ketika ketegangan dua Korea meningkat lagi. Sebuah proposal untuk melanjutkan reuni yang dibahas dua pemerintah pun macet.
”Harapanku sedikit hancur," kata Cho Il Woong, 81, yang meninggalkan ibunya, dan adik-adiknya, ketika ia dan ayahnya melarikan diri ke Korsel untuk menghindari perekrutan tentara Korut. ”Orang mengatakan, waktu akan menyembuhkan segalanya. Waktu telah berlalu, tetapi belum sembuh-sembuh.”
Sebagian besar orang yang mengajukan izin reuni berusia lebih dari 70 tahun. Sekitar 129 ribu orang yang mengajukan izin itu telah meninggal, karena tak kunjung terlaksana.
(esn)