Kaum urban Shanghai tinggal di dalam kontainer
A
A
A
Sindonews.com - Sejumlah warga China yang datang ke Kota Shanghai untuk memperbaiki taraf hidup, memilih tinggal di dalam kontainer bekas. Pilihan ini adalah solusi atas mahalnya biaya sewa rumah di Shanghai.
Pemukiman kontainer bekas tersebut dibangun di atas lahan seluas 1.000 meter di sebuah desa yang letaknya sekitar satu jam perjalanan dari pusat Kota Shanghai. Rendahnya biaya sewa kontainer dibanding sewa rumah, menjadi daya tarik utama bagi para pekerja migran yang datang ke kota Shanghai.
Setiap bulannya, mereka hanya harus membayar 500 yuan atau sekitar Rp 740 ribu, setengah dari biaya sewa apartemen di distrik itu. Sejauh ini, para pekerja migran China sering kali terjebak dalam masalah pelik, yakni rendahnya upah kerja yang akhirnya memaksa mereka tinggal di tempat-tempat terbuka.
Sayangnya, tidak semua pihak menanggap posisif solusi tersebut. Polisi dan pejabat kota Shanghai tak setuju jika para pendatang itu tinggal di dalam kontainer bekas. "Semua penghuni kontainer harus segera meninggakan kontainer tersebut. Sebab, menjadikan kontainer sebagai tempat tinggal adalah mengancam keselamatan jiwa," sebut pernyataan pemerintah setempat.
Tapi, Zhang Baofa, pemilik kontainer yang menyewakan propertinya bagi para kaum urban mengatakan, tindakan itu tidak melanggar hukum. "Melanggar aturan keselamatan yang mana? Saya mengajar di Universitas China dan saya telah mempelajari hukum, tidak ada legalitas hukum di China yang mengatakan bahwa tinggal di sebuah kontainer adalah sebuah tindakan pelanggaran hukum," ungkap Baofa.
Para migran enggan untuk meninggalkan kotainer tersebut. Salah satu pasangan yang tinggal dalam kotainer tersebut sangat kecewa dengan sikap pemerintah yang hanya memerintahkan pindah tanpa memberikan solusi.
"Saya tinggal di sini, anak saya juga belajar di sini. Saya tidak dapat memintanya untuk berhenti belajar dan kembali ke tempat asal saya di Anhui (wilayah termiskin di China). Jika saya melakukan itu, makan semuanya akan menyulitkan kehidupan anak saya," ungkap Wu Lin Peng, seorang pemulung besi bekas.
Pemukiman kontainer bekas tersebut dibangun di atas lahan seluas 1.000 meter di sebuah desa yang letaknya sekitar satu jam perjalanan dari pusat Kota Shanghai. Rendahnya biaya sewa kontainer dibanding sewa rumah, menjadi daya tarik utama bagi para pekerja migran yang datang ke kota Shanghai.
Setiap bulannya, mereka hanya harus membayar 500 yuan atau sekitar Rp 740 ribu, setengah dari biaya sewa apartemen di distrik itu. Sejauh ini, para pekerja migran China sering kali terjebak dalam masalah pelik, yakni rendahnya upah kerja yang akhirnya memaksa mereka tinggal di tempat-tempat terbuka.
Sayangnya, tidak semua pihak menanggap posisif solusi tersebut. Polisi dan pejabat kota Shanghai tak setuju jika para pendatang itu tinggal di dalam kontainer bekas. "Semua penghuni kontainer harus segera meninggakan kontainer tersebut. Sebab, menjadikan kontainer sebagai tempat tinggal adalah mengancam keselamatan jiwa," sebut pernyataan pemerintah setempat.
Tapi, Zhang Baofa, pemilik kontainer yang menyewakan propertinya bagi para kaum urban mengatakan, tindakan itu tidak melanggar hukum. "Melanggar aturan keselamatan yang mana? Saya mengajar di Universitas China dan saya telah mempelajari hukum, tidak ada legalitas hukum di China yang mengatakan bahwa tinggal di sebuah kontainer adalah sebuah tindakan pelanggaran hukum," ungkap Baofa.
Para migran enggan untuk meninggalkan kotainer tersebut. Salah satu pasangan yang tinggal dalam kotainer tersebut sangat kecewa dengan sikap pemerintah yang hanya memerintahkan pindah tanpa memberikan solusi.
"Saya tinggal di sini, anak saya juga belajar di sini. Saya tidak dapat memintanya untuk berhenti belajar dan kembali ke tempat asal saya di Anhui (wilayah termiskin di China). Jika saya melakukan itu, makan semuanya akan menyulitkan kehidupan anak saya," ungkap Wu Lin Peng, seorang pemulung besi bekas.
(esn)