Lockdown Berlin Membuat Nasib Kelompok Marginal Jadi Tak Menentu

Senin, 06 April 2020 - 03:07 WIB
Lockdown Berlin Membuat Nasib Kelompok Marginal Jadi Tak Menentu
Lockdown Berlin Membuat Nasib Kelompok Marginal Jadi Tak Menentu
A A A
BERLIN - Beberapa minggu terakhir kondisi menjadi sulit bagi Diana. Ia tiba di Berlin dari Swiss beberapa bulan yang lalu. Diana memenuhi kebutuhan hidup dengan mengajar dan beberapa pekerjaan modeling, tapi ketika Covid-19 datang, situasi hidupnya menjadi lebih rentan terhadap berbahaya.

Dia telah dipecat dari posisiya sebagai guru dan tanpa dukungan kontrak, Diana tidak yakin akan menerima gaji yang cukup. Dia belum mendaftar di kota barunya, jadi mengakses dukungan jaminan sosial juga bukan pilihan bagi wanita berusia 25 tahun tersebut. "Semuanya terjadi sangat cepat," kata Diana, seperti dilansir Al Jazeera.

"Seminggu sebelum semuanya ditutup, saya jatuh sakit. Dan, tepat setelah itu, bos saya mengatakan kepada saya untuk datang dan mengambil barang-barang saya, karena saya tidak akan mengajar setidaknya selama lima minggu. Swiss bukan bagian dari Uni Eropa UE, dan itu membuat segalanya semakin sulit, saat ini saya tidak bisa mendapatkan dukungan dari sana atau dari Jerman," ungkapnya.

Diana menghubungi tempat yang pernah mejadi lokasi karir modelingnya. Terletak di sebelah timur kota, Karada House telah berubah dari ruang seni kolaboratif aneh yang mengadakan lokakarya dan acara, menjadi kelompok bantuan sukarela yang dipimpin sukarelawan, memberikan bantuan kepada mereka yang telah lolos dari celah-celah sistem kesejahteraan negara.

Hanya dalam beberapa minggu, beberapa sukarelawan yang tinggal di rumah, yang sebagian besar belum pernah bertemu, telah mengumpulkan hampir USD 11 ribu melalui kampanye crowdfunding. Mereka juga telah menghubungkan relawan dengan orang-orang di kota yang membutuhkan makanan, dukungan kesehatan medis atau mental.

"Kami kebanyakan berurusan dengan orang-orang muda yang memiliki penyakit kronis atau cacat, atau mereka yang sudah memiliki situasi yang sangat rapuh," ucap Beatrice Behn, seorang koordinator sukarelawan.

"Banyak dari mereka tergelincir melalui jaring karena mereka bukan orang Jerman, atau karena masalah perumahan kota. Orang-orang putus asa untuk menemukan flat, jadi tinggal di sublet atau dengan kontrak perumahan semi-legal, yang berarti mereka tidak bisa sepenuhnya daftar di sini dan akses semua layanan," sambungnya.

Di samping kelompok-kelompok lingkungan yang menawarkan bantuan kepada mereka yang sakit, lanjut usia atau membutuhkan perawatan anak, yang lain menyediakan sumber daya untuk pekerja seks, menawarkan sesi terapi video, dan bekerja untuk melindungi adegan budaya kota, termasuk industri clubbing dan komunitas seni.

Diana, yang akan menggunakan uang yang ia terima dari Karada untuk membayar sewa bulanan dan makanannya, berharap solidaritas berlanjut.

Sementara bagi Wilhelm Nadolny, lockdown berarti bahwa setiap hari di pusat tunawisma yang dia kelola menjadi berbeda. Nadolny adalah direktur di Bahnhofsmission Zoologischer Garten, tempat berlindung di sebelah stasiun pusat yang sibuk.

Itu adalah bagian dari Berliner Stadtmission, yang selama hampir 150 tahun telah memberikan bantuan kepada manula, pengungsi dan anak-anak, menjadikannya salah satu pusat dukungan sosial tertua di kota tersebut.

Tanpa perumahan yang terisolasi sendiri, akses ke layanan kesehatan dan fasilitas kamar mandi terbatas, mereka yang hidup di jalanan sangat rentan. Menurut sensus resmi pertama Berlin tentang populasi tunawisma yang diterbitkan awal tahun ini, ada hampir 2.000 orang yang hidup di jalanan di Ibu Kota Jerman tersebut.
(esn)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3929 seconds (0.1#10.140)