Konflik Politik Terus Berlanjut, Pelantikan Presiden Afghanistan Ditunda
A
A
A
KABUL - Presiden Afghanistan terpilih Ashraf Ghani menunda upacara pelantikan seiring dengan rivalnya Abdullah Abdullah juga menunda upacara pelantikan. Baik Ghani dan Abdullah memang saling mengklaim sebagai presiden terpilih menyusul pemilu kontroversial yang digelar pada September lalu.
Konflik politik semakin memanas beberapa hari setelah Amerika Serikat (AS) dan Taliban menandatangani kesepakatan penarikan pasukan internasional pimpinan AS. Penundaan upacara pelatihan memberikan waktu bagi Ghani dan Abdullah untuk melanjutkan perundingan dengan utusan khusus AS Zalmay Khalilzad yang berusaha menjembatani dua kubu kamp saling bersitegang.
“Kita bernegosiasi dengan tim Abdullah sejak semalam (kemarin malam), dan sekarang masih berjalan,” kata seorang perwakilan kubu Ghani yang enggan disebutkan namanya dilansir Reuters.
“Kita berharap bisa mencapai kesepakatan dengan tim Abdullah,” ujarnya.
Pejabat pemerintahan Afghan menyatakan upacara pelantikan Ghani ditunda hingga pukul 13.00 siang. Itu ditegaskan dalam tweet juru bicara tim Ghani, Sediq Sediqqi. “Abdullah juga menunda upacara pelatihan, jika Ghani melakukan hal sama,” kata juru bicara kubu Abdullah, Omid Maisam.
Komisi Pemilu Afghanistan bulan lalu mengumumkan bahwa Ghani berhasil mempertahankan kekuasaan setelah memenangkan pemilu yang digelar pada 28 September lalu. Ghani memenangkan 50,64% suara, sedangkan Abdullah meraih 39,52% suara. Pengumuman hasil pemilu yang digelar 28 September lalu itu memang menjadi tanda tanya. Proses pemilu dinilai diwarnai kecurangan dan permasalahan teknis.
Namun, rival utamanya, Abdullah, menentang hasil pemilu tersebut dan mendeklarasikan diri sebagai pemenang. “Hasil pengumuman pemilu merupakan perampokan pemilu, kudeta terhadap demokrasi, pengkhianatan terhadap keinginan rakyat, dan kita menganggapnya itu sebagai ilegal,” kata Abdullah dilansir Reuters.
Krisis politik itu bertepatan dengan persiapan perundingan dengan Taliban menyusul pakta perjanjian pada 29 Februari lalu antara AS dan Taliban tentang penarikan pasukan AS setelah perang selama 18 tahun.
Para diplomat Barat di Kabul menyatakan belum ada kejelasan bagaimana situasi itu bisa diselesaikan. “Jika Ghani tetap menggelar upacara pelatihan, Abdullah juga bisa melakukan hal serupa. Semuanya memanas saat ini,” ujar salah satu diplomat. Kemudian diplomat lainnya yang juga enggan disebutkan namanya mengatakan, di tengah ketidakpastian, banyak diplomat menunggu “lampu hijau” dari AS apakah akan menghadiri upacara pelantikan.
Ghani dan Abdullah memegang peranan penting pada pemerintahan sebelumnya dengan kesepakatan berbagai kekuasaan dengan mediator AS setelah pemilu 2014. Mantan menteri luar negeri, Abdullah memegang jabatan kepala eksekutif pemerintahan.
Komisi Pemilu Independen (IEC) mengumumkan Ghani sebagai pemenang pemilu pada 18 Februari. Sesuai dengan undang-undang pemilu, pelantikan presiden harus dilaksanakan 30 hari setelah pengumuman pemenang pemilu. (Andika H Mustaqim)
Konflik politik semakin memanas beberapa hari setelah Amerika Serikat (AS) dan Taliban menandatangani kesepakatan penarikan pasukan internasional pimpinan AS. Penundaan upacara pelatihan memberikan waktu bagi Ghani dan Abdullah untuk melanjutkan perundingan dengan utusan khusus AS Zalmay Khalilzad yang berusaha menjembatani dua kubu kamp saling bersitegang.
“Kita bernegosiasi dengan tim Abdullah sejak semalam (kemarin malam), dan sekarang masih berjalan,” kata seorang perwakilan kubu Ghani yang enggan disebutkan namanya dilansir Reuters.
“Kita berharap bisa mencapai kesepakatan dengan tim Abdullah,” ujarnya.
Pejabat pemerintahan Afghan menyatakan upacara pelantikan Ghani ditunda hingga pukul 13.00 siang. Itu ditegaskan dalam tweet juru bicara tim Ghani, Sediq Sediqqi. “Abdullah juga menunda upacara pelatihan, jika Ghani melakukan hal sama,” kata juru bicara kubu Abdullah, Omid Maisam.
Komisi Pemilu Afghanistan bulan lalu mengumumkan bahwa Ghani berhasil mempertahankan kekuasaan setelah memenangkan pemilu yang digelar pada 28 September lalu. Ghani memenangkan 50,64% suara, sedangkan Abdullah meraih 39,52% suara. Pengumuman hasil pemilu yang digelar 28 September lalu itu memang menjadi tanda tanya. Proses pemilu dinilai diwarnai kecurangan dan permasalahan teknis.
Namun, rival utamanya, Abdullah, menentang hasil pemilu tersebut dan mendeklarasikan diri sebagai pemenang. “Hasil pengumuman pemilu merupakan perampokan pemilu, kudeta terhadap demokrasi, pengkhianatan terhadap keinginan rakyat, dan kita menganggapnya itu sebagai ilegal,” kata Abdullah dilansir Reuters.
Krisis politik itu bertepatan dengan persiapan perundingan dengan Taliban menyusul pakta perjanjian pada 29 Februari lalu antara AS dan Taliban tentang penarikan pasukan AS setelah perang selama 18 tahun.
Para diplomat Barat di Kabul menyatakan belum ada kejelasan bagaimana situasi itu bisa diselesaikan. “Jika Ghani tetap menggelar upacara pelatihan, Abdullah juga bisa melakukan hal serupa. Semuanya memanas saat ini,” ujar salah satu diplomat. Kemudian diplomat lainnya yang juga enggan disebutkan namanya mengatakan, di tengah ketidakpastian, banyak diplomat menunggu “lampu hijau” dari AS apakah akan menghadiri upacara pelantikan.
Ghani dan Abdullah memegang peranan penting pada pemerintahan sebelumnya dengan kesepakatan berbagai kekuasaan dengan mediator AS setelah pemilu 2014. Mantan menteri luar negeri, Abdullah memegang jabatan kepala eksekutif pemerintahan.
Komisi Pemilu Independen (IEC) mengumumkan Ghani sebagai pemenang pemilu pada 18 Februari. Sesuai dengan undang-undang pemilu, pelantikan presiden harus dilaksanakan 30 hari setelah pengumuman pemenang pemilu. (Andika H Mustaqim)
(ysw)