Jerman Kesulitan Temukan Lokasi Pembuangan Limbah Nuklir
A
A
A
BERLIN - Jerman berencana menutup seluruh Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) sampai 2022. Namun, negara di kawasan Eropa Barat itu menghadapi masalah baru yang serius. Sejauh ini, Jerman tidak mampu menemukan lokasi pembuangan limbah nuklir yang mematikan sebanyak 28.000 kubik meter.
Profesor Miranda Schreurs yang merupakan anggota tim pencari situs pembuangan limbah radioaktif mengakui permasalahan ini sulit. Pihaknya belum mampu menemukan situs penguburan limbah nuklir sebanyak 2.000 kontainer mengingat lokasi tidak boleh berdekatan dengan aliran air atau daerah rawan gempa.
“Situs pembuangan juga harus terdiri dari bebatuan yang keras sehingga tidak mudah bocor,” ujar Miranda, dikutip CNN. Selain kesulitan mencari lokasi penimbunan, tim Miranda juga berupaya mencari teknologi dalam mendistribusikan limbah nuklir, termasuk material untuk membungkus zat berbahaya tersebut.
Pemerintah Jerman juga berjuang mengomunikasikan pembuangan ini terhadap seluruh warga Jerman, terutama penduduk yang akan tinggal berdekatan dengan situs pembuangan. Menurut Miranda, sampai saat ini, tidak ada satu pun kelompok masyarakat di Jerman yang mau berdekatan dengan situs limbah nuklir.
Jerman memutuskan menutup seluruh PLTN menyusul sulitnya mengatasi musibah nuklir seperti yang menimpa PLTN Fukushima Daiichi, Okuma, Jepang yang bocor akibat gempa bumi pada 2011. Saat ini, Jerman mengoperasikan sekitar tujuh PLTN. Ketujuh PLTN itu direncanakan ditutup berangsur sampai 2022.
Jerman memberikan batas waktu pencarian situs pembuangan limbah nuklir secara permanen sampai 2031. Saat ini, limbah nuklir didinginkan di fasilitas sementara. Menteri Urusan Ekonomi dan Energi Jerman, Peter Altmaier, mengatakan situs harus dapat menampung limbah secara aman selama jutaan tahun.
“Namun, fasilitas itu hanya dirancang menampung limbah selama beberapa dekade saja,” terang Miranda yang juga bekerja di Universitas Teknologi Muenchen. “Limbah nuklir tingkat tinggi mematikan. Jika kalian membuka penutupnya, kalian kemungkinan besar akan mati dalam sekejap,” tambah Miranda.
Dengan suhu yang sangat panas, pengiriman limbah nuklir tingkat tinggi juga memberikan tantangan tersendiri. Limbah itu perlu dikubur sedalam satu kilometer di bawah tanah. Kawasan Jerman juga tidak seperti Finlandia yang memiliki daerah dengan lapisan batuan granit sehingga penguburannya tidaklah mudah.
“Kami perlu mengakalinya dengan lapisan tanah yang kami miliki karena sejauh ini kami tak berencana mengekspornya ke negara lain. Misi ini merupakan misi yang menentukan masa depan kami. Situs penguburan kemungkinan disegel pada 2130-2170 dan tidak boleh ada yang mengganggunya,” kata Miranda.
Masyarakat Jerman menolak pekarangan kampungnya dijadikan sebagai situs pembuangan limbah nuklir. Apalagi, Jerman pernah menghadapi bencana serius. Fasilitas pembekuan limbah nuklir tingkat sedang dan rendah di Asse dan Morsleben pernah bocor pada 1960-1970 akibat kegagalan memenuhi standar.
Selama lebih dari 40 tahun, masyarakat Gorleben, Lower Saxony, juga berjuang mati-matian agar tempat penyimpanan limbah nuklir tingkat tinggi dipindahkan. Pada 1977, Gorleben dipilih sebagai situs pembuangan karena dianggap akan menguntungkan warga secara ekonomi dan membuka lapangan pekerjaan.
“Jika kami tidak melakukan perlawanan yang kuat, besar, dan panjang, saya kira pertambangan garam di sini juga akan digunakan sebagai pembuangan limbah. Tapi, kami tak yakin mereka membatalkannya 100%” ujar warga Gorleben, Kerstin Rudek yang berjuang melawan keputusan pemerintah selama 35 tahun.
Profesor Miranda Schreurs yang merupakan anggota tim pencari situs pembuangan limbah radioaktif mengakui permasalahan ini sulit. Pihaknya belum mampu menemukan situs penguburan limbah nuklir sebanyak 2.000 kontainer mengingat lokasi tidak boleh berdekatan dengan aliran air atau daerah rawan gempa.
“Situs pembuangan juga harus terdiri dari bebatuan yang keras sehingga tidak mudah bocor,” ujar Miranda, dikutip CNN. Selain kesulitan mencari lokasi penimbunan, tim Miranda juga berupaya mencari teknologi dalam mendistribusikan limbah nuklir, termasuk material untuk membungkus zat berbahaya tersebut.
Pemerintah Jerman juga berjuang mengomunikasikan pembuangan ini terhadap seluruh warga Jerman, terutama penduduk yang akan tinggal berdekatan dengan situs pembuangan. Menurut Miranda, sampai saat ini, tidak ada satu pun kelompok masyarakat di Jerman yang mau berdekatan dengan situs limbah nuklir.
Jerman memutuskan menutup seluruh PLTN menyusul sulitnya mengatasi musibah nuklir seperti yang menimpa PLTN Fukushima Daiichi, Okuma, Jepang yang bocor akibat gempa bumi pada 2011. Saat ini, Jerman mengoperasikan sekitar tujuh PLTN. Ketujuh PLTN itu direncanakan ditutup berangsur sampai 2022.
Jerman memberikan batas waktu pencarian situs pembuangan limbah nuklir secara permanen sampai 2031. Saat ini, limbah nuklir didinginkan di fasilitas sementara. Menteri Urusan Ekonomi dan Energi Jerman, Peter Altmaier, mengatakan situs harus dapat menampung limbah secara aman selama jutaan tahun.
“Namun, fasilitas itu hanya dirancang menampung limbah selama beberapa dekade saja,” terang Miranda yang juga bekerja di Universitas Teknologi Muenchen. “Limbah nuklir tingkat tinggi mematikan. Jika kalian membuka penutupnya, kalian kemungkinan besar akan mati dalam sekejap,” tambah Miranda.
Dengan suhu yang sangat panas, pengiriman limbah nuklir tingkat tinggi juga memberikan tantangan tersendiri. Limbah itu perlu dikubur sedalam satu kilometer di bawah tanah. Kawasan Jerman juga tidak seperti Finlandia yang memiliki daerah dengan lapisan batuan granit sehingga penguburannya tidaklah mudah.
“Kami perlu mengakalinya dengan lapisan tanah yang kami miliki karena sejauh ini kami tak berencana mengekspornya ke negara lain. Misi ini merupakan misi yang menentukan masa depan kami. Situs penguburan kemungkinan disegel pada 2130-2170 dan tidak boleh ada yang mengganggunya,” kata Miranda.
Masyarakat Jerman menolak pekarangan kampungnya dijadikan sebagai situs pembuangan limbah nuklir. Apalagi, Jerman pernah menghadapi bencana serius. Fasilitas pembekuan limbah nuklir tingkat sedang dan rendah di Asse dan Morsleben pernah bocor pada 1960-1970 akibat kegagalan memenuhi standar.
Selama lebih dari 40 tahun, masyarakat Gorleben, Lower Saxony, juga berjuang mati-matian agar tempat penyimpanan limbah nuklir tingkat tinggi dipindahkan. Pada 1977, Gorleben dipilih sebagai situs pembuangan karena dianggap akan menguntungkan warga secara ekonomi dan membuka lapangan pekerjaan.
“Jika kami tidak melakukan perlawanan yang kuat, besar, dan panjang, saya kira pertambangan garam di sini juga akan digunakan sebagai pembuangan limbah. Tapi, kami tak yakin mereka membatalkannya 100%” ujar warga Gorleben, Kerstin Rudek yang berjuang melawan keputusan pemerintah selama 35 tahun.
(don)