Zack Gottsagen, Tonggak Sejarah bagi Kaum Disabilitas
A
A
A
Zachary Robin Gottsagen atau Zack Gottsagen menyedot perhatian banyak orang usai membintangi film The Peanut Butter Falcon yang dirilis belum lama ini. Melalui film tersebut, pengidap down syndrome itu resmi memulai debutnya di dunia akting.
Sama seperti di dunia nyata, dalam The Peanut Butter Falcon Zack juga berperan sebagai pemuda down syndrome yang ditinggalkan keluarga dan akhirnya dirawat di panti jompo di California Utara. Kehadirannya di dunia film seolah menjadi tonggak bersejarah bagi kehidupan kaum disabilitas, terutama penyandang down syndrome.
Dikutip dari Sun Sentinel, aktor asal Boynton Beach, Florida, Amerika Serikat itu mengaku, tidak terintimidasi oleh keberadaan rekan mainnnya yang merupakan aktor dan aktris terkenal seperti Shia LaBeouf dan Dakota Johnson. Tak hanya itu, dia juga melakukan semua aksi sendiri tanpa bantuan stuntman.
Zack dikenal sebagai sosok yang mampu menjalani kehidupannya secara optimis. Lelaki 34 tahun ini juga memiliki kepercayaan diri yang tinggi, tak gentar menghadapi keterbatasan dirinya, serta mampu menginspirasi orang lain untuk mencapai hal-hal yang mereka pikir mustahil. Semua itu terasa sangat luar biasa bagi seseorang yang telah menghabiskan sebagian besar hidupnya dengan mendengarkan kata "tidak".
Beberapa orang mungkin berpikir hal tersebut tidak mungkin terwujud bagi Zack yang menderita down syndrome. “Orang-orang berpikir pengidap down syndrome tidak dapat melakukan sesuatu. Saya ingin membuktikan kalau mereka salah. Bila sudah menonton saya di film, mungkin mereka akan berpikir penyandang disabilitas dapat melakukan apapun. Mungkin orang cacat lain akan mengikuti impian mereka karena saya,” kata Zack seperti dikutip People.
Zack tidak pernah menyerah. Meski ia diketahui memiliki penyakit genetik yang menyebabkan keterlambatan perkembangan dan kecacatan intelektual ringan hingga sedang itu. “Down syndrome tidak akan menghentikan saya. Saya tahu saya bisa melakukannya. Kadang-kadang itu sulit, tetapi kalau saya mau bekerja keras, saya akan melakukan pekerjaan dengan baik. Dan terbukti, saya mampu melakukannya. Saya sangat bangga pada diri sendiri,” ungkapnya.
Keterlibatan Zack dalam film The Peanut Butter Falcon berawal saat dirinya sedang syuting bersama Zeno Mountain Farm di Los Angeles, kamp para pemain, termasuk penyandang disabilitas, yang bertemu setiap tahun untuk menulis, memproduksi, serta membintangi film pendek. Di situ lelaki kelahiran 22 April ini bertemu sutradara Tyler Nilson dan Michael Schwartz. Hanya, ketika Zack memberi tahu mereka bahwa dirinya berharap menjadi bintang film suatu hari nanti, Nilson dan Schwartz tidak langsung mengiyakan.
“Pada saat itu Mike dan saya saling bertatapan, lalu berkata "aku menyukaimu, Zack". Tapi, saya tidak tahu apakah akan ada kesempatan untuk membuat film yang dibintangi oleh pengidap down syndrome. Dan Zack, dengan sangat manis dan penuh kasih mengatakan, "bagaimana kalau kita melakukannya bersama-sama?" Kami memikirkan ucapan itu selama kurang lebih dua detik dan menyanggupinya. "Kamu benar. Mari kita lakukan sama-sama"," urai Tyler Nilson.
Kedua sutradara ini begitu tertarik dengan Zack sehingga memutuskan untuk membuat film tentang kaum disabilitas. Mereka menulis naskah The Peanut Butter Falcon yang menggabungkan kecintaan Zack pada gulat dengan kecerdasannya yang luar biasa, juga humor, kepolosan, serta antusiasmenya.
“Ada sesuatu tentang Zack yang terasa altruistik. Dia dapat melihat Anda dengan cara yang indah. Saya berjanji kepadanya, kami akan membuat film ini dan saya memenuhi janji tersebut,” ujar Tyler Nilson.
Duo sutradara Tyler dan Mike menilai Zack mampu memberikan penampilan berbeda dalam film pendek yang benar-benar fantastis. “Zack membuat keputusan sebagai aktor yang benar-benar tepat. Ia menambahkan sesuatu ke dalam karakternya. Itu sesuatu yang sangat pribadi dan belum pernah saya lihat dari diri seorang aktor di sepanjang hidup saya,” ungkap Tyler Nilson saat film The Peanut Butter Falcon dirilis baru-baru ini.
Bukan hanya sang sutradara yang terkesan, Zack juga mampu memukau lawan mainnya, Shia LaBeouf. “Ada saat-saat di mana mata Zack adalah satu-satunya hal yang bisa saya lihat. Dia sangat kreatif," ungkap Shia.
Sedangkan aktris Dakota Johnson merasa, bekerjasama dengan Zack merupakan pengalaman paling jujur ??dan penuh kasih. “Dia cahaya murni dan benar-benar telah mengubah hatiku,” ujarnya.
Terjun ke Dunia Akting
Sebetulnya Zack sudah mulai bersentuhan dengan dunia akting sejak masih berusia tiga tahun. Di karya pertamanya, dia berperan sebagai katak.
Seiring waktu berjalan, Zack tertarik mendaftar di sekolah seni pertunjukan dan mengambil kelas akting. Ia adalah orang down syndrome pertama yang berhasil masuk ke sekolah umum The School District of Palm Beach County. Saat itu sebetulnya sekolah tersebut sempat menolak Zack dengan alasan disabilitas. Namun, sang ibunda, Shelley, tidak menerima alasan itu dan mengajukan gugatan. Zack pun berhasil masuk, kemudian melanjutkan ke Dreyfoos School of the Arts jurusan teater dan lulus pada 2004.
Setelah itu, Zack mulai bermain teater Artie di Royal Palm Playhouse pada 2005. Lalu terlibat dalam produksi film nirlaba Zeno Mountain Farms selama lebih dari satu dekade. Zack juga sempat tampil dalam beberapa film seperti Burning Like a Fire dan Life of a Dollar Bill.
Pada 2012, Zack memainkan peran penjahat dalam Bulletproof. Pada 2014 film ini dibuat menjadi karya dokumenter berjudul Becoming Bulletproof, yang menyoroti kehidupan di belakang layar Zack serta aktor-aktor lain. Terutama soal bagaimana mereka melalui hari-hari. Kemudian pada Juli 2015, Museum Smithsonian mengundang Zack untuk menjadi pembicara utama dalam peringatan 25 tahun Undang-Undang Disabilitas Amerika.
Zack mengatakan, belajar akting dengan cara menonton film favoritnya seperti Grease, Hairspray, dan The Greatest Showman. Selain berakting, dia juga tercatat sebagai penyanyi dan penari. Zack tampil selama bertahun-tahun bersama SpotLighters, program Palm Beach County yang disponsori oleh Arts4All Florida dan Southern Dance Theatre di Boynton Beach.
Untuk menambah penghasilannya, Zack yang hidup mandiri dan tinggal seorang diri di apartemen di Florida sempat bekerja di bioskop lokal Alco Movie Theatre yang sudah ditutup pada Juli lalu.
Perjuangan Sejak Lama
Bagi Zack, perjuangan untuk meraih apa yang didapatkannya sekarang telah dimulai sejak lama. Tepatnya sejak dokter menyatakan bahwa ia tidak akan pernah bisa bicara ataupun berjalan. Apalagi berada di sekolah drama dan berujung dengan menjadi aktor.
Tidak lama setelah Zack lahir, para dokter di rumah sakit Brooklyn mendiagnosis penyakit down syndrome dan memberi tahu ibunya bahwa Zack tidak akan bisa berjalan ataupun berbicara. Zack diprediksi hanya akan menjadi "sayuran" dan lebih baik tinggal di sebuah lembaga.
“Saya berterima kasih kepada dokter-dokter itu. Saya memberi tahu mereka kalau saya seorang vegetarian dan saya akan mengambil "sayuran" saya untuk pergi,” terang Shelley.
Shelley terus menjadi advokat yang agresif bagi sang putra. Termasuk untuk membangun kemandirian dan bakatnya. Dia pun harus turun tangan bertindak ketika Sekolah Seni Dreyfoos tidak mengakui kemampuan sang putra.
Menurut Shelley, kesuksesan Zack adalah pelajaran berharga untuk persoalan inklusi. “Inilah yang terjadi kalau anak-anak tidak dikotak-kotakkan. Ketika mereka diizinkan untuk bisa bersanding dengan semua orang dan belajar dari mereka. Pengalaman terbaik yang Zack miliki di sekolah adalah kebaikan serta keramahan siswa lain yang bukan penyandang disabilitas,” ungkap Shelley. (Susi Susanti)
Sama seperti di dunia nyata, dalam The Peanut Butter Falcon Zack juga berperan sebagai pemuda down syndrome yang ditinggalkan keluarga dan akhirnya dirawat di panti jompo di California Utara. Kehadirannya di dunia film seolah menjadi tonggak bersejarah bagi kehidupan kaum disabilitas, terutama penyandang down syndrome.
Dikutip dari Sun Sentinel, aktor asal Boynton Beach, Florida, Amerika Serikat itu mengaku, tidak terintimidasi oleh keberadaan rekan mainnnya yang merupakan aktor dan aktris terkenal seperti Shia LaBeouf dan Dakota Johnson. Tak hanya itu, dia juga melakukan semua aksi sendiri tanpa bantuan stuntman.
Zack dikenal sebagai sosok yang mampu menjalani kehidupannya secara optimis. Lelaki 34 tahun ini juga memiliki kepercayaan diri yang tinggi, tak gentar menghadapi keterbatasan dirinya, serta mampu menginspirasi orang lain untuk mencapai hal-hal yang mereka pikir mustahil. Semua itu terasa sangat luar biasa bagi seseorang yang telah menghabiskan sebagian besar hidupnya dengan mendengarkan kata "tidak".
Beberapa orang mungkin berpikir hal tersebut tidak mungkin terwujud bagi Zack yang menderita down syndrome. “Orang-orang berpikir pengidap down syndrome tidak dapat melakukan sesuatu. Saya ingin membuktikan kalau mereka salah. Bila sudah menonton saya di film, mungkin mereka akan berpikir penyandang disabilitas dapat melakukan apapun. Mungkin orang cacat lain akan mengikuti impian mereka karena saya,” kata Zack seperti dikutip People.
Zack tidak pernah menyerah. Meski ia diketahui memiliki penyakit genetik yang menyebabkan keterlambatan perkembangan dan kecacatan intelektual ringan hingga sedang itu. “Down syndrome tidak akan menghentikan saya. Saya tahu saya bisa melakukannya. Kadang-kadang itu sulit, tetapi kalau saya mau bekerja keras, saya akan melakukan pekerjaan dengan baik. Dan terbukti, saya mampu melakukannya. Saya sangat bangga pada diri sendiri,” ungkapnya.
Keterlibatan Zack dalam film The Peanut Butter Falcon berawal saat dirinya sedang syuting bersama Zeno Mountain Farm di Los Angeles, kamp para pemain, termasuk penyandang disabilitas, yang bertemu setiap tahun untuk menulis, memproduksi, serta membintangi film pendek. Di situ lelaki kelahiran 22 April ini bertemu sutradara Tyler Nilson dan Michael Schwartz. Hanya, ketika Zack memberi tahu mereka bahwa dirinya berharap menjadi bintang film suatu hari nanti, Nilson dan Schwartz tidak langsung mengiyakan.
“Pada saat itu Mike dan saya saling bertatapan, lalu berkata "aku menyukaimu, Zack". Tapi, saya tidak tahu apakah akan ada kesempatan untuk membuat film yang dibintangi oleh pengidap down syndrome. Dan Zack, dengan sangat manis dan penuh kasih mengatakan, "bagaimana kalau kita melakukannya bersama-sama?" Kami memikirkan ucapan itu selama kurang lebih dua detik dan menyanggupinya. "Kamu benar. Mari kita lakukan sama-sama"," urai Tyler Nilson.
Kedua sutradara ini begitu tertarik dengan Zack sehingga memutuskan untuk membuat film tentang kaum disabilitas. Mereka menulis naskah The Peanut Butter Falcon yang menggabungkan kecintaan Zack pada gulat dengan kecerdasannya yang luar biasa, juga humor, kepolosan, serta antusiasmenya.
“Ada sesuatu tentang Zack yang terasa altruistik. Dia dapat melihat Anda dengan cara yang indah. Saya berjanji kepadanya, kami akan membuat film ini dan saya memenuhi janji tersebut,” ujar Tyler Nilson.
Duo sutradara Tyler dan Mike menilai Zack mampu memberikan penampilan berbeda dalam film pendek yang benar-benar fantastis. “Zack membuat keputusan sebagai aktor yang benar-benar tepat. Ia menambahkan sesuatu ke dalam karakternya. Itu sesuatu yang sangat pribadi dan belum pernah saya lihat dari diri seorang aktor di sepanjang hidup saya,” ungkap Tyler Nilson saat film The Peanut Butter Falcon dirilis baru-baru ini.
Bukan hanya sang sutradara yang terkesan, Zack juga mampu memukau lawan mainnya, Shia LaBeouf. “Ada saat-saat di mana mata Zack adalah satu-satunya hal yang bisa saya lihat. Dia sangat kreatif," ungkap Shia.
Sedangkan aktris Dakota Johnson merasa, bekerjasama dengan Zack merupakan pengalaman paling jujur ??dan penuh kasih. “Dia cahaya murni dan benar-benar telah mengubah hatiku,” ujarnya.
Terjun ke Dunia Akting
Sebetulnya Zack sudah mulai bersentuhan dengan dunia akting sejak masih berusia tiga tahun. Di karya pertamanya, dia berperan sebagai katak.
Seiring waktu berjalan, Zack tertarik mendaftar di sekolah seni pertunjukan dan mengambil kelas akting. Ia adalah orang down syndrome pertama yang berhasil masuk ke sekolah umum The School District of Palm Beach County. Saat itu sebetulnya sekolah tersebut sempat menolak Zack dengan alasan disabilitas. Namun, sang ibunda, Shelley, tidak menerima alasan itu dan mengajukan gugatan. Zack pun berhasil masuk, kemudian melanjutkan ke Dreyfoos School of the Arts jurusan teater dan lulus pada 2004.
Setelah itu, Zack mulai bermain teater Artie di Royal Palm Playhouse pada 2005. Lalu terlibat dalam produksi film nirlaba Zeno Mountain Farms selama lebih dari satu dekade. Zack juga sempat tampil dalam beberapa film seperti Burning Like a Fire dan Life of a Dollar Bill.
Pada 2012, Zack memainkan peran penjahat dalam Bulletproof. Pada 2014 film ini dibuat menjadi karya dokumenter berjudul Becoming Bulletproof, yang menyoroti kehidupan di belakang layar Zack serta aktor-aktor lain. Terutama soal bagaimana mereka melalui hari-hari. Kemudian pada Juli 2015, Museum Smithsonian mengundang Zack untuk menjadi pembicara utama dalam peringatan 25 tahun Undang-Undang Disabilitas Amerika.
Zack mengatakan, belajar akting dengan cara menonton film favoritnya seperti Grease, Hairspray, dan The Greatest Showman. Selain berakting, dia juga tercatat sebagai penyanyi dan penari. Zack tampil selama bertahun-tahun bersama SpotLighters, program Palm Beach County yang disponsori oleh Arts4All Florida dan Southern Dance Theatre di Boynton Beach.
Untuk menambah penghasilannya, Zack yang hidup mandiri dan tinggal seorang diri di apartemen di Florida sempat bekerja di bioskop lokal Alco Movie Theatre yang sudah ditutup pada Juli lalu.
Perjuangan Sejak Lama
Bagi Zack, perjuangan untuk meraih apa yang didapatkannya sekarang telah dimulai sejak lama. Tepatnya sejak dokter menyatakan bahwa ia tidak akan pernah bisa bicara ataupun berjalan. Apalagi berada di sekolah drama dan berujung dengan menjadi aktor.
Tidak lama setelah Zack lahir, para dokter di rumah sakit Brooklyn mendiagnosis penyakit down syndrome dan memberi tahu ibunya bahwa Zack tidak akan bisa berjalan ataupun berbicara. Zack diprediksi hanya akan menjadi "sayuran" dan lebih baik tinggal di sebuah lembaga.
“Saya berterima kasih kepada dokter-dokter itu. Saya memberi tahu mereka kalau saya seorang vegetarian dan saya akan mengambil "sayuran" saya untuk pergi,” terang Shelley.
Shelley terus menjadi advokat yang agresif bagi sang putra. Termasuk untuk membangun kemandirian dan bakatnya. Dia pun harus turun tangan bertindak ketika Sekolah Seni Dreyfoos tidak mengakui kemampuan sang putra.
Menurut Shelley, kesuksesan Zack adalah pelajaran berharga untuk persoalan inklusi. “Inilah yang terjadi kalau anak-anak tidak dikotak-kotakkan. Ketika mereka diizinkan untuk bisa bersanding dengan semua orang dan belajar dari mereka. Pengalaman terbaik yang Zack miliki di sekolah adalah kebaikan serta keramahan siswa lain yang bukan penyandang disabilitas,” ungkap Shelley. (Susi Susanti)
(nfl)