Perdana Menteri Etiopia Raih Nobel Perdamaian 2019
A
A
A
STOCKHOLM - Perdana Menteri (PM) Etiopia, Abiy Ahmed, menerima penghargaan Nobel Perdamaian 2019 dari Komite Nobel Norwegia. Mantan petugas intelijen Etiopia tersebut dianggap layak mendapatkan pengakuan itu karena berkontribusi mempromosikan rekonsiliasi, solidaritas, dan keadilan sosial.
Ahmed merupakan orang Etiopia pertama yang meraih Nobel Perdamaian. Di tingkat kawasan, penghargaan itu pernah diraih Denis Mukwege dari Kongo pada 2018, TNDQ dari Tunisia pada 2015, Ellen Johnson dan Leymah Gbowee dari Liberia pada 2011, dan Mohammed ElBaradel dari Mesir pada 2005.
Selanjutnya, Wangari Muta Maathai dari Kenya pada 2004, Kofi Annan dari Ghana pada 2001, Nelson Mandela dari Afrika Selatan dan Frederick Willem pada 1993, Desmond Tutu dari Afrika Selatan pada 1984, Muhammad Anwar el-Sadar dari Mesir pada 1978, dan Albert Lutulli dari Afrika Selatan pada 1960.
Kantor PM Etiopia menyambut baik penghargaan itu sebagai pengakuan terhadap kerja keras Ahmed, umumnya Ethiopia dan Eritrea, dalam menyelesaikan sengketa perbatasan secara damai. “Ahmed telah menciptakan komponen kebijakan perdamaian, kerukunan, dan rekonsiliasi,” kicau Kantor PM Etiopia di Twitter.
Komite Nobel juga mengakui upaya yang dilakukan Ahmed dalam menjaga stabilitas kawasan serta pihak-pihak yang mendukung dan menyukseskan langkah tersebut. Upaya Ahmed diterima dengan baik oleh Presiden Eritrea Isaias Afwerki yang langsung menyepakati kesepakatan damai di antara kedua negara.
“Ahmed berupaya menyelesaikan masalah secara damai. Bagaimanapun, banyak tantangan yang masih belum terselesaikan. Perang antaretnik di Etiopia masih berlanjut, dan kami melihat peristiwa buruk pekan ini,” ujar Kepala Komite Nobel Norwegia Berit Reiss-Andersen kepada awak pers di Oslo, dikutip CNN.
Reiss-Andersen melanjutkan, Komite Nobel Norwegia meyakini upaya yang dilakukan Ahmed patut diakui dan didorong demi dunia yang lebih aman dan damai, khususnya di kawasan Afrika. Dia menyadari isu sengketa dan perselisihan tidak dapat diselesaikan dalam satu hari karena memerlukan proses.
Di Etiopia, Ahmed melakukan reformasi untuk memberikan harapan dan masa depan yang lebih cerah kepada rakyatnya. Dalam 100 hari jabatannya, dia berhasil mengangkat negaranya dari keadaan darurat, memberikan amnesti kepada para tahanan, mengakhiri penyensoran media, dan melegalkan kelompok oposisi.
“Dia juga telah memecat pemimpin militer dan sipil yang terbukti melakukan korupsi dan meningkatkan peran perempuan dalam kehidupan bermasyarakat dan politik. Selain itu, dia berjanji memperkuat demokrasi,” ujar Reiss-Andersen. “Etiopia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman bahasa dan suku.”
Keputusan Komite Nobel bukan tanpa alasan. Sejak naik menjadi PM pada 2 April 2018, Ahmed berhasil mengakhiri perang antara Angkatan Bersenjata Etiopia dengan Angkatan Bersenjata Eritrea yang berlangsung selama 20 tahun. Banyak orang yang menilai Ahmed memang pantas meraih penghargaan tersebut.
“Saya rasa Ahmed layak mendapatkannya karena peranannya dalam mengakhiri perang dengan negara tetangga terkait sengketa di wilayah perbatasan sangat besar. Perang itu tidak hanya menimbulkan korban jiwa, tapi juga kerugian keuangan besar,” ujar Associate Profesor Universitas Keele Inggris, Awol Allo.
Allo menambahkan, upaya yang dilakukan Ahmed akan tercatat di dalam sejarah Afrika karena sangat berani dan hebat. Kebijakan itu tidak hanya disambut baik masyarakat Etiopia, tapi juga Eritrea. Saat ini kedua negara memasuki era baru hubungan diplomatik. Penerbangan dari dan ke Eritrea kembali pulih.
Belakangan ini, Ahmed juga menuai pujian atas inisiatifnya menengahi pertikaian di Sudan. Sudan telah mengalami krisis politik hingga terjadi kudeta dan penangkapan Omar al-Bashir, presiden ke-7 Sudan yang berkuasa pada 1989–2019. Hal itu menunjukkan keseriusan Ahmed menciptakan perdamaian dan stabilitas.
Selain Ahmed, beberapa kandidat terfavorit lainnya yang sempat digadang-gadangkan akan meraih Nobel Perdamaian 2019 ialah aktivis lingkungan berusia 16 tahun Grea Thunberg; aktivis lingkungan dan kepala perlindungan suku asli dan hutan hujan Amazon Brasil, Raoni Metuktire; dan PM Selandia Baru Jacinda Ardern.
Pada tahun lalu, Nobel Perdamaian diraih Denis Mukwege dan Naida Murad karena dianggap berhasil mengakhiri penggunaan kekerasan seksual sebagai alat perang dan konflik bersenjata. Setahun sebelumnya, penghargaan itu diberikan kepada lembaga antinuklir International Campaign to Abolish Nuclear Weapon (ICAN).
Penetapan pemenang Nobel oleh Komite Nobel tidak semuanya berjalan tanpa pro-kontra. Pada 2012, Komite Nobel pernah diterjang kritikan tajam dari berbagai kalangan setelah memberikan Nobel Perdamaian kepada Uni Eropa (UE) mengingat UE mengalami krisis keuangan, hak, dan kebijakan luar negeri.
Tiga peraih Nobel Perdamaian: Desmond Tutu, Maired Maguire, dan Adolfo Peres, mengatakan bahwa UE tidak pantas memperoleh Nobel Perdamaian dan meminta Komite Nobel untuk menahan penghargaan tersebut. Barack Obama juga pernah mengaku terkejut saat mendengar meraih Nobel Perdamaian pada 2009.
“Saya tidak melihat penghargaan ini sebagai pengakuan terhadap pencapaian diri saya pribadi, tapi lebih pada kepemimpinan AS atas nama rakyat dunia,” ujar Obama. Pada 1948, tidak ada seorang pun yang meraihnya karena Komite Nobel tidak menemukan kandidat, meski banyak yang memilih Mahatma Gandhi.
Ahmed merupakan orang Etiopia pertama yang meraih Nobel Perdamaian. Di tingkat kawasan, penghargaan itu pernah diraih Denis Mukwege dari Kongo pada 2018, TNDQ dari Tunisia pada 2015, Ellen Johnson dan Leymah Gbowee dari Liberia pada 2011, dan Mohammed ElBaradel dari Mesir pada 2005.
Selanjutnya, Wangari Muta Maathai dari Kenya pada 2004, Kofi Annan dari Ghana pada 2001, Nelson Mandela dari Afrika Selatan dan Frederick Willem pada 1993, Desmond Tutu dari Afrika Selatan pada 1984, Muhammad Anwar el-Sadar dari Mesir pada 1978, dan Albert Lutulli dari Afrika Selatan pada 1960.
Kantor PM Etiopia menyambut baik penghargaan itu sebagai pengakuan terhadap kerja keras Ahmed, umumnya Ethiopia dan Eritrea, dalam menyelesaikan sengketa perbatasan secara damai. “Ahmed telah menciptakan komponen kebijakan perdamaian, kerukunan, dan rekonsiliasi,” kicau Kantor PM Etiopia di Twitter.
Komite Nobel juga mengakui upaya yang dilakukan Ahmed dalam menjaga stabilitas kawasan serta pihak-pihak yang mendukung dan menyukseskan langkah tersebut. Upaya Ahmed diterima dengan baik oleh Presiden Eritrea Isaias Afwerki yang langsung menyepakati kesepakatan damai di antara kedua negara.
“Ahmed berupaya menyelesaikan masalah secara damai. Bagaimanapun, banyak tantangan yang masih belum terselesaikan. Perang antaretnik di Etiopia masih berlanjut, dan kami melihat peristiwa buruk pekan ini,” ujar Kepala Komite Nobel Norwegia Berit Reiss-Andersen kepada awak pers di Oslo, dikutip CNN.
Reiss-Andersen melanjutkan, Komite Nobel Norwegia meyakini upaya yang dilakukan Ahmed patut diakui dan didorong demi dunia yang lebih aman dan damai, khususnya di kawasan Afrika. Dia menyadari isu sengketa dan perselisihan tidak dapat diselesaikan dalam satu hari karena memerlukan proses.
Di Etiopia, Ahmed melakukan reformasi untuk memberikan harapan dan masa depan yang lebih cerah kepada rakyatnya. Dalam 100 hari jabatannya, dia berhasil mengangkat negaranya dari keadaan darurat, memberikan amnesti kepada para tahanan, mengakhiri penyensoran media, dan melegalkan kelompok oposisi.
“Dia juga telah memecat pemimpin militer dan sipil yang terbukti melakukan korupsi dan meningkatkan peran perempuan dalam kehidupan bermasyarakat dan politik. Selain itu, dia berjanji memperkuat demokrasi,” ujar Reiss-Andersen. “Etiopia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman bahasa dan suku.”
Keputusan Komite Nobel bukan tanpa alasan. Sejak naik menjadi PM pada 2 April 2018, Ahmed berhasil mengakhiri perang antara Angkatan Bersenjata Etiopia dengan Angkatan Bersenjata Eritrea yang berlangsung selama 20 tahun. Banyak orang yang menilai Ahmed memang pantas meraih penghargaan tersebut.
“Saya rasa Ahmed layak mendapatkannya karena peranannya dalam mengakhiri perang dengan negara tetangga terkait sengketa di wilayah perbatasan sangat besar. Perang itu tidak hanya menimbulkan korban jiwa, tapi juga kerugian keuangan besar,” ujar Associate Profesor Universitas Keele Inggris, Awol Allo.
Allo menambahkan, upaya yang dilakukan Ahmed akan tercatat di dalam sejarah Afrika karena sangat berani dan hebat. Kebijakan itu tidak hanya disambut baik masyarakat Etiopia, tapi juga Eritrea. Saat ini kedua negara memasuki era baru hubungan diplomatik. Penerbangan dari dan ke Eritrea kembali pulih.
Belakangan ini, Ahmed juga menuai pujian atas inisiatifnya menengahi pertikaian di Sudan. Sudan telah mengalami krisis politik hingga terjadi kudeta dan penangkapan Omar al-Bashir, presiden ke-7 Sudan yang berkuasa pada 1989–2019. Hal itu menunjukkan keseriusan Ahmed menciptakan perdamaian dan stabilitas.
Selain Ahmed, beberapa kandidat terfavorit lainnya yang sempat digadang-gadangkan akan meraih Nobel Perdamaian 2019 ialah aktivis lingkungan berusia 16 tahun Grea Thunberg; aktivis lingkungan dan kepala perlindungan suku asli dan hutan hujan Amazon Brasil, Raoni Metuktire; dan PM Selandia Baru Jacinda Ardern.
Pada tahun lalu, Nobel Perdamaian diraih Denis Mukwege dan Naida Murad karena dianggap berhasil mengakhiri penggunaan kekerasan seksual sebagai alat perang dan konflik bersenjata. Setahun sebelumnya, penghargaan itu diberikan kepada lembaga antinuklir International Campaign to Abolish Nuclear Weapon (ICAN).
Penetapan pemenang Nobel oleh Komite Nobel tidak semuanya berjalan tanpa pro-kontra. Pada 2012, Komite Nobel pernah diterjang kritikan tajam dari berbagai kalangan setelah memberikan Nobel Perdamaian kepada Uni Eropa (UE) mengingat UE mengalami krisis keuangan, hak, dan kebijakan luar negeri.
Tiga peraih Nobel Perdamaian: Desmond Tutu, Maired Maguire, dan Adolfo Peres, mengatakan bahwa UE tidak pantas memperoleh Nobel Perdamaian dan meminta Komite Nobel untuk menahan penghargaan tersebut. Barack Obama juga pernah mengaku terkejut saat mendengar meraih Nobel Perdamaian pada 2009.
“Saya tidak melihat penghargaan ini sebagai pengakuan terhadap pencapaian diri saya pribadi, tapi lebih pada kepemimpinan AS atas nama rakyat dunia,” ujar Obama. Pada 1948, tidak ada seorang pun yang meraihnya karena Komite Nobel tidak menemukan kandidat, meski banyak yang memilih Mahatma Gandhi.
(don)