HRW: Rancangan RUU KUHP Bencana untuk Hak Asasi Manusia

Kamis, 19 September 2019 - 13:40 WIB
HRW: Rancangan RUU KUHP Bencana untuk Hak Asasi Manusia
HRW: Rancangan RUU KUHP Bencana untuk Hak Asasi Manusia
A A A
JAKARTA - Lembaga Hak Asasi Manusia (HAM) internasional, Human Rights Watch (HRW), tampak ikut menyoroti rancangan undang-undang (RUU) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). RUU KUHP dinilai berpotensi melanggar hak-hak perempuan, minoritas agama, dan lesbian, gay, biseksual, dan transgender, serta kebebasan berbicara dan berserikat.

“Rancangan undang-undang pidana Indonesia adalah bencana tidak hanya untuk wanita dan agama dan minoritas gender, tetapi untuk semua orang Indonesia,” kata peneliti senior HRW Indonesia, Andreas Harsono.

"Anggota parlemen harus menghapus semua pasal yang kejam sebelum mengesahkan undang-undang," imbuhnya seperti dikutip Sindonews dari situs HRW, Kamis (19/9/2019).

Memperbarui hukum pidana Indonesia, yang berasal dari era kolonial Belanda, telah memakan waktu lebih dari dua dekade. Pada 15 September 2019, DPR telah menyelesaikan 628 Pasal di dalam RUU KUHP. DPR diperkirakan akan memberikan suara terhadap RUU tersebut pada bulan September nanti.

Sebuah koalisi organisasi masyarakat sipil Indonesia telah mendesak Presiden Joko Widodo untuk menunda pengesahan undang-undang karena akan mendiskriminasi non-Muslim, dan minoritas agama lokal, serta perempuan dan orang-orang LGBT.

Ketentuan yang secara efektif menyensor penyebarluasan informasi tentang kontrasepsi dan mengkriminalkan aborsi akan mengembalikan hak-hak perempuan dan anak perempuan di bawah hukum internasional untuk membuat pilihan mereka sendiri tentang memiliki anak. Kehamilan yang tidak diinginkan dapat memengaruhi beragam hak, termasuk dengan mengakhiri pendidikan anak perempuan dan berkontribusi pada pernikahan anak, serta menempatkan kehidupan perempuan dan anak perempuan dalam risiko dan komplikasi kesehatan lainnya.

"Ketentuan RUU KUHP yang menyensor informasi tentang kontrasepsi dapat menghambat kemajuan yang telah dibuat Indonesia dalam beberapa tahun terakhir untuk secara dramatis mengurangi kematian ibu," kata Harsono.

RUU ini, kata HRW, juga memperluas Undang-Undang Penistaan ​​Agama Indonesia tahun 1965, yang meningkatkan penghitungan unsur-unsur kejahatan untuk memasukkan artifak agama yang memfitnah. Parlemen harus menghapus pelanggaran penistaan ​​yang tidak konsisten dengan kewajiban Indonesia di bawah Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik.

"Parlemen Indonesia harus mendorong kebebasan berbicara dan berserikat, dan membatasi - tidak memperluas - UU Penodaan Agama," kata Harsono.

“KUHP baru adalah kesempatan berharga yang tidak perlu disia-siakan untuk menghapus undang-undang beracun dari buku-buku dan membangun Indonesia yang lebih baik, menghormati hak asasi manusia,” tukasnya.
(ian)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3251 seconds (0.1#10.140)