Pertama Kali, Bomber B-52 AS Berhasil Terbangkan Rudal Hipersonik
A
A
A
WASHINGTON - Angkatan Udara Amerika Serikat (AS) berhasil menguji terbang rudal hipersonik dengan pesawat pengebom (bomber) strategis B-52 untuk pertama kalinya. Uji terbang senjata tanpa hulu ledak ini menjadi tanda persaingan teknologi persenjataan Washington dengan pesaingnya; Moskow dan Beijing, semakin nyata.
Rudal hipersonik yang menjalani uji terbang atau "captive carry flight test" pertama dengan pesawat pengebom itu adalah AGM-183A Air-Launched Rapid Response Weapon (ARRW).
Kontraktor pertahanan Lockheed Martin, yang menerima kontrak USD928 juta untuk membuat sejumlah senjata hipersonik, mengumumkan keberhasilan uji terbang tersebut di Le Bourget International Air Show 2019, hari Senin.
"Kami menggunakan otoritas prototyping yang disediakan oleh Kongres untuk dengan cepat membawa kemampuan senjata hipersonik pada pesawat tempur," kata Dr Will Roper, asisten sekretaris Angkatan Udara untuk Akuisisi, Teknologi, dan Logistik, seperti dikutip CNBC, Selasa (18/6/2019).
"Kami menetapkan jadwal agresif dengan ARRW. Mendapatkan tes penerbangan ini tepat waktu menyoroti pekerjaan luar biasa dari tenaga kerja kami dan kemitraan kami dengan Lockheed Martin dan mitra industri lainnya," ujarnya.
Istilah "captive carry flight test" berarti versi tes terbang rudal yang tidak berhulu ledak diikat ke bomber B-52 Stratofortress, yang kemudian melayang tinggi. Tes itu memungkinkan para insinyur memperkirakan berbagai rincian aerodinamis. Senjata hipersonik tersebut itu diharapkan siap beroperasi pada 2022.
Sekadar diketahui, rudal hipersonik merupakan jenis rudal jelajah yang dapat terbang dan bermanuver dengan kecepatan melebihi lima kali kecepatan suara (Mach 5).
Sebuah rudal yang terbang dengan kecepatan hipersonik tertutupi awan plasma yang sangat panas, yang sebelumnya membuat pengendalian rudal melalui radio merupakan tugas yang sangat sulit. Di sisi positifnya, awan plasma yang sama menyerap gelombang radar, membuat rudal sangat sulit dideteksi.
Menurut laporan CNBC, AS sedang mengejar ketertinggalan dari Rusia dan China dalam pengembangan persenjataan hipersonik.
Rusia saat ini memiliki rudal hipersonik yang dinamai Kinzhal yang bermakna belati. Senjata tersebut telah diuji coba setidaknya tiga kali dan dipasang serta diluncurkan 12 kali dari jet tempur MiG-31 Rusia.
Sedangkan China pada bulan Agustus lalu mengumumkan keberhasilan tes pertama pesawat hipersonik.
Pada bulan Maret 2018, Presiden Rusia Vladimir Putin memperkenalkan beberapa senjata canggih yang saat ini sedang dalam pengembangan. Dua di antaranya; rudal Kinzhal dan rudal balistik antarbenua (ICBM) dengan glider Avangard adalah senjata hipersonik.
Rudal hipersonik yang menjalani uji terbang atau "captive carry flight test" pertama dengan pesawat pengebom itu adalah AGM-183A Air-Launched Rapid Response Weapon (ARRW).
Kontraktor pertahanan Lockheed Martin, yang menerima kontrak USD928 juta untuk membuat sejumlah senjata hipersonik, mengumumkan keberhasilan uji terbang tersebut di Le Bourget International Air Show 2019, hari Senin.
"Kami menggunakan otoritas prototyping yang disediakan oleh Kongres untuk dengan cepat membawa kemampuan senjata hipersonik pada pesawat tempur," kata Dr Will Roper, asisten sekretaris Angkatan Udara untuk Akuisisi, Teknologi, dan Logistik, seperti dikutip CNBC, Selasa (18/6/2019).
"Kami menetapkan jadwal agresif dengan ARRW. Mendapatkan tes penerbangan ini tepat waktu menyoroti pekerjaan luar biasa dari tenaga kerja kami dan kemitraan kami dengan Lockheed Martin dan mitra industri lainnya," ujarnya.
Istilah "captive carry flight test" berarti versi tes terbang rudal yang tidak berhulu ledak diikat ke bomber B-52 Stratofortress, yang kemudian melayang tinggi. Tes itu memungkinkan para insinyur memperkirakan berbagai rincian aerodinamis. Senjata hipersonik tersebut itu diharapkan siap beroperasi pada 2022.
Sekadar diketahui, rudal hipersonik merupakan jenis rudal jelajah yang dapat terbang dan bermanuver dengan kecepatan melebihi lima kali kecepatan suara (Mach 5).
Sebuah rudal yang terbang dengan kecepatan hipersonik tertutupi awan plasma yang sangat panas, yang sebelumnya membuat pengendalian rudal melalui radio merupakan tugas yang sangat sulit. Di sisi positifnya, awan plasma yang sama menyerap gelombang radar, membuat rudal sangat sulit dideteksi.
Menurut laporan CNBC, AS sedang mengejar ketertinggalan dari Rusia dan China dalam pengembangan persenjataan hipersonik.
Rusia saat ini memiliki rudal hipersonik yang dinamai Kinzhal yang bermakna belati. Senjata tersebut telah diuji coba setidaknya tiga kali dan dipasang serta diluncurkan 12 kali dari jet tempur MiG-31 Rusia.
Sedangkan China pada bulan Agustus lalu mengumumkan keberhasilan tes pertama pesawat hipersonik.
Pada bulan Maret 2018, Presiden Rusia Vladimir Putin memperkenalkan beberapa senjata canggih yang saat ini sedang dalam pengembangan. Dua di antaranya; rudal Kinzhal dan rudal balistik antarbenua (ICBM) dengan glider Avangard adalah senjata hipersonik.
(mas)