Hacker Coba Bobol Jaringan Komputer Parlemen Australia
A
A
A
SYDNEY - Parlemen Australia mengatakan hacker atau peretas telah mencoba membobol jaringan komputernya, yang mencakup arsip email para anggota parlemen pada Jumat (8/2/2019). Namun sejauh ini tidak ada indikasi bahwa hacker tersebut telah mencuri data-data yang diincarnya.
"Menyusul insiden keamanan di jaringan komputasi parlementer, sejumlah langkah telah diterapkan untuk melindungi jaringan dan penggunanya," kata pejabat ketua Parlemen, Tony Smith dan Scott Ryan, dalam sebuah pernyataan bersama.
“Semua pengguna telah diminta untuk mengubah kata sandi mereka. Ini terjadi semalam dan pagi ini,” sambung pernyataan itu.
"Tidak ada bukti bahwa data apa pun telah diakses atau diambil pada saat ini, namun ini akan tetap tunduk pada penyelidikan yang sedang berlangsung," demikian bunyi pernyataan itu seperti dikutip dari New York Times.
Outlet berita Australia melaporkan bahwa dinas keamanan sedang menyelidiki kemungkinan keterlibatan pihak asing dalam serangan itu, kemungkinan China .
"Sifat dari serangan menunjukkan aktornya suatu negara karena sulit untuk menghasilkan uang jika menerobos sistem parlementer," kata kepala Pusat Kebijakan Cyber Internasional di Institut Kebijakan Strategis Australia, Fergus Hanson.
Upaya China untuk mempengaruhi politik Australia telah menjadi masalah besar Australia.
"Bagi Australia, jelas China adalah aktor-ancaman No. 1 dalam hal serangan cyber," kata Hanson.
Namun ia menambahkan bahwa peretas asal Iran, Korea Utara (Korut), dan Rusia peretas juga akan menjadi tersangka dalam serangan terbaru.
Serangan ini terjadi ketika Australia tengah mempersiapkan pemilu nasional yang kemungkinan akan diadakan pada bulan Mei mendatang. Mengingat hal itu, kata Hanson, serangan terhadap sistem email resmi anggota parlemen menjadi perhatian, mengingat upaya baru-baru ini yang terkenal untuk mempengaruhi pemilu adalah serangan siber. Serangan siber yang paling terkenal adalah campur tangan Rusia dalam pemilu presiden Amerika pada tahun 2016, yang melibatkan pencurian email.
"Itu akan menjadi lokasi di mana Anda menemukan email yang berkompromi atau email yang menunjukkan perselisihan, siapa yang setuju dengan kebijakan tertentu dan siapa yang tidak," jelas Hanson tentang jaringan Parlemen.
Tetapi dalam pernyataan bersama pejabat ketua Parlemen, Ryan dan Smith mengatakan: "tidak ada bukti bahwa ini adalah upaya untuk mempengaruhi hasil proses parlemen atau mengganggu atau mempengaruhi proses pemilihan atau politik.”
Beberapa analis skeptis bahwa China akan secara resmi disalahkan atas serangan itu, bahkan jika bukti keterlibatannya muncul.
"Ada banyak keengganan politik untuk menghubungkan serangan ke China," kata Alex Joske, seorang peneliti di International Cyber Policy Center.
"Sudah dilihat oleh beberapa orang tudingan semacam itu tidak memberikan banyak manfaat sekaligus menarik kritik dan kemarahan dari pemerintah China," imbuhnya.
Australia bergabung dengan Amerika Serikat pada Desember lalu dalam mengutuk kelompok peretasan yang didukung China karena mencoba mencuri kekayaan intelektual. Tetapi pemerintah Canberra belum secara terbuka meminta China untuk bertanggung jawab atas serangan dunia maya lainnya yang menurut para pakar keamanan nasional tampaknya memiliki sidik jari.
Tahun lalu, para pakar keamanan mengatakan bahwa alat yang biasa digunakan oleh peretas China telah dikerahkan dalam serangan terhadap Departemen Pertahanan dan Universitas Nasional Australia. Pada 2013, pencurian cetak biru rahasia untuk markas baru Organisasi Keamanan Australia juga dilaporkan dikaitkan dengan China.
"Lebih banyak informasi akan keluar, tetapi mungkin tidak ada atribusi resmi," kata Hanson tentang serangan terhadap sistem Parlemen.
"Pada akhirnya, itu hanya mendorong perilaku buruk," tukasnya.
"Menyusul insiden keamanan di jaringan komputasi parlementer, sejumlah langkah telah diterapkan untuk melindungi jaringan dan penggunanya," kata pejabat ketua Parlemen, Tony Smith dan Scott Ryan, dalam sebuah pernyataan bersama.
“Semua pengguna telah diminta untuk mengubah kata sandi mereka. Ini terjadi semalam dan pagi ini,” sambung pernyataan itu.
"Tidak ada bukti bahwa data apa pun telah diakses atau diambil pada saat ini, namun ini akan tetap tunduk pada penyelidikan yang sedang berlangsung," demikian bunyi pernyataan itu seperti dikutip dari New York Times.
Outlet berita Australia melaporkan bahwa dinas keamanan sedang menyelidiki kemungkinan keterlibatan pihak asing dalam serangan itu, kemungkinan China .
"Sifat dari serangan menunjukkan aktornya suatu negara karena sulit untuk menghasilkan uang jika menerobos sistem parlementer," kata kepala Pusat Kebijakan Cyber Internasional di Institut Kebijakan Strategis Australia, Fergus Hanson.
Upaya China untuk mempengaruhi politik Australia telah menjadi masalah besar Australia.
"Bagi Australia, jelas China adalah aktor-ancaman No. 1 dalam hal serangan cyber," kata Hanson.
Namun ia menambahkan bahwa peretas asal Iran, Korea Utara (Korut), dan Rusia peretas juga akan menjadi tersangka dalam serangan terbaru.
Serangan ini terjadi ketika Australia tengah mempersiapkan pemilu nasional yang kemungkinan akan diadakan pada bulan Mei mendatang. Mengingat hal itu, kata Hanson, serangan terhadap sistem email resmi anggota parlemen menjadi perhatian, mengingat upaya baru-baru ini yang terkenal untuk mempengaruhi pemilu adalah serangan siber. Serangan siber yang paling terkenal adalah campur tangan Rusia dalam pemilu presiden Amerika pada tahun 2016, yang melibatkan pencurian email.
"Itu akan menjadi lokasi di mana Anda menemukan email yang berkompromi atau email yang menunjukkan perselisihan, siapa yang setuju dengan kebijakan tertentu dan siapa yang tidak," jelas Hanson tentang jaringan Parlemen.
Tetapi dalam pernyataan bersama pejabat ketua Parlemen, Ryan dan Smith mengatakan: "tidak ada bukti bahwa ini adalah upaya untuk mempengaruhi hasil proses parlemen atau mengganggu atau mempengaruhi proses pemilihan atau politik.”
Beberapa analis skeptis bahwa China akan secara resmi disalahkan atas serangan itu, bahkan jika bukti keterlibatannya muncul.
"Ada banyak keengganan politik untuk menghubungkan serangan ke China," kata Alex Joske, seorang peneliti di International Cyber Policy Center.
"Sudah dilihat oleh beberapa orang tudingan semacam itu tidak memberikan banyak manfaat sekaligus menarik kritik dan kemarahan dari pemerintah China," imbuhnya.
Australia bergabung dengan Amerika Serikat pada Desember lalu dalam mengutuk kelompok peretasan yang didukung China karena mencoba mencuri kekayaan intelektual. Tetapi pemerintah Canberra belum secara terbuka meminta China untuk bertanggung jawab atas serangan dunia maya lainnya yang menurut para pakar keamanan nasional tampaknya memiliki sidik jari.
Tahun lalu, para pakar keamanan mengatakan bahwa alat yang biasa digunakan oleh peretas China telah dikerahkan dalam serangan terhadap Departemen Pertahanan dan Universitas Nasional Australia. Pada 2013, pencurian cetak biru rahasia untuk markas baru Organisasi Keamanan Australia juga dilaporkan dikaitkan dengan China.
"Lebih banyak informasi akan keluar, tetapi mungkin tidak ada atribusi resmi," kata Hanson tentang serangan terhadap sistem Parlemen.
"Pada akhirnya, itu hanya mendorong perilaku buruk," tukasnya.
(ian)