Putin Dicurigai Akan Serahkan Kuril ke Jepang, Warga Rusia Protes
A
A
A
MOSKOW - Ratusan warga Rusia memprotes rencana perundingan Presiden Vladimir Putin dengan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe. Perundingan itu dicurigai terkait penyerahan Kepulauan Kuril oleh Moskow kepada Tokyo.
Demonstran telah berkumpul di pusat kota Moskow pada hari Minggu. Mereka meneriakkan kecaman tentang rencana penyerahan dua pulau di Kepulauan Kuril. "Kuril adalah tanah kami!," teriak sejumlah demonstran.
"Bubarkan pemerintah!," teriak demonstran lainnya yang beraksi dengan melawan suhu dingin."Kami akan menyerahkan Putin daripada Kuril!," bunyi salah satu plakat yang dibawa demonstran.
Demonstrasi serupa terjadi di Khabarovsk di Rusia timur. Unjuk rasa sebelumnya juga terjadi di Pulau Sakhalin.
Rusia dan Jepang telah berlomba-lomba untuk menguasai Kuril sejak abad 18, tetapi Moskow mengambil kendali penuh dari rantai pulau itu pada akhir Perang Dunia Kedua. Tokyo menolak untuk mengakui klaim Moskow, yang telah mencegah kedua negara untuk pernah menandatangani perjanjian damai.
Pada KTT ASEAN pada bulan November 2018, Putin dan Abe setuju untuk memperbarui negosiasi berdasarkan inisiatif Soviet untuk mengembalikan dua pulau itu sebagai imbalan perjanjian damai. Mereka akan bertemu lagi di Moskow pada hari Selasa.
Tetapi, minggu lalu Menteri Luar Negeri Sergei Lavrov mengatakan Jepang harus mengakui kedaulatan Rusia atas Kuril untuk kemajuan yang akan dibuat. Moskow sendiri secara bertahap telah memperkuat kehadiran militernya di pulau-pulau itu.
Putin, pada Desember 2018, mengaku sulit untuk membuat keputusan tanpa memahami batas-batas penyebaran militer Amerika ke Jepang. Dia khawatir pasukan AS akan ikut-ikutan dikerahkan di Kuril.
Survei telah menunjukkan bahwa tiga perempat orang Rusia menentang pengembalian salah satu pulau itu. Masalah sengketa pulau itu, ikut mengikis popularitas Putin di dalam negeri, di mana 33 persen warga Rusia yang sekarang mempercayainya.
Vsevolod Chaplin, seorang imam berpengaruh dan mantan juru bicara Gereja Ortodoks Rusia, mengatakan pada para pengunjuk rasa di Moskow bahwa pemerintah jangan sampai menjual tanah Rusia. Unjuk rasa di negara itu telah mempertemukan kedua kelompok monarkis dan komunis.
"Rusia telah mundur sejak krisis rudal Kuba," kata Chaplin kepada pengunjuk rasa. "(Aneksasi) Crimea adalah serangan balik yang bagus, tapi itu tidak cukup," ujarnya.
Tokoh demonstran lain, Igor Strelkov, mantan komandan pasukan separatis yang didukung Rusia di Ukraina timur, mengatakan kepada The Telegraph bahwa Kepulauan Kuril bernilai strategis dan ekonomis."Tetapi makna simbolis jauh lebih penting," katanya, yang dilansir Senin (21/1/2019).
“Inggris Raya, sebagai negara yang selalu melihat kehormatan negara dan mahkota sebagai argumen yang sangat penting, jika kita ingat perang untuk Kepulauan Falkland, harus memahami bahwa negara yang secara sukarela dan tidak perlu menyerahkan bagian dari wilayah kedaulatannya, itu kehilangan kehormatan, ”katanya. "Bahkan mungkin kehilangan haknya untuk hidup."
Analis politik dan aktivis, Marxis Boris Kagarlitsky, berpendapat bahwa pembicaraan itu adalah upaya untuk meringankan sanksi Jepang atas Crimea dan membuka tujuan lain untuk korupsi.
"Orang kaya Rusia membutuhkan saluran baru untuk membawa uang ke Jepang dan kemudian ke Barat," katanya.
Putin telah mengeluh pada bulan Oktober bahwa sanksi Jepang tidak menumbuhkan rasa saling percaya.
Nikolai Selekho, seorang ahli hukum yang lahir di timur jauh Rusia, mengatakan kakeknya telah berperang melawan Jepang di Manchuria dan bahwa Rusia tidak akan pernah membiarkan kepulauan itu lepas.
"Kami kehilangan wilayah di Kazakhstan dan Ukraina," katanya. “Kami tidak bisa menyerahkan tanah lagi. Itu ayah dan ibu kita."
Demonstran telah berkumpul di pusat kota Moskow pada hari Minggu. Mereka meneriakkan kecaman tentang rencana penyerahan dua pulau di Kepulauan Kuril. "Kuril adalah tanah kami!," teriak sejumlah demonstran.
"Bubarkan pemerintah!," teriak demonstran lainnya yang beraksi dengan melawan suhu dingin."Kami akan menyerahkan Putin daripada Kuril!," bunyi salah satu plakat yang dibawa demonstran.
Demonstrasi serupa terjadi di Khabarovsk di Rusia timur. Unjuk rasa sebelumnya juga terjadi di Pulau Sakhalin.
Rusia dan Jepang telah berlomba-lomba untuk menguasai Kuril sejak abad 18, tetapi Moskow mengambil kendali penuh dari rantai pulau itu pada akhir Perang Dunia Kedua. Tokyo menolak untuk mengakui klaim Moskow, yang telah mencegah kedua negara untuk pernah menandatangani perjanjian damai.
Pada KTT ASEAN pada bulan November 2018, Putin dan Abe setuju untuk memperbarui negosiasi berdasarkan inisiatif Soviet untuk mengembalikan dua pulau itu sebagai imbalan perjanjian damai. Mereka akan bertemu lagi di Moskow pada hari Selasa.
Tetapi, minggu lalu Menteri Luar Negeri Sergei Lavrov mengatakan Jepang harus mengakui kedaulatan Rusia atas Kuril untuk kemajuan yang akan dibuat. Moskow sendiri secara bertahap telah memperkuat kehadiran militernya di pulau-pulau itu.
Putin, pada Desember 2018, mengaku sulit untuk membuat keputusan tanpa memahami batas-batas penyebaran militer Amerika ke Jepang. Dia khawatir pasukan AS akan ikut-ikutan dikerahkan di Kuril.
Survei telah menunjukkan bahwa tiga perempat orang Rusia menentang pengembalian salah satu pulau itu. Masalah sengketa pulau itu, ikut mengikis popularitas Putin di dalam negeri, di mana 33 persen warga Rusia yang sekarang mempercayainya.
Vsevolod Chaplin, seorang imam berpengaruh dan mantan juru bicara Gereja Ortodoks Rusia, mengatakan pada para pengunjuk rasa di Moskow bahwa pemerintah jangan sampai menjual tanah Rusia. Unjuk rasa di negara itu telah mempertemukan kedua kelompok monarkis dan komunis.
"Rusia telah mundur sejak krisis rudal Kuba," kata Chaplin kepada pengunjuk rasa. "(Aneksasi) Crimea adalah serangan balik yang bagus, tapi itu tidak cukup," ujarnya.
Tokoh demonstran lain, Igor Strelkov, mantan komandan pasukan separatis yang didukung Rusia di Ukraina timur, mengatakan kepada The Telegraph bahwa Kepulauan Kuril bernilai strategis dan ekonomis."Tetapi makna simbolis jauh lebih penting," katanya, yang dilansir Senin (21/1/2019).
“Inggris Raya, sebagai negara yang selalu melihat kehormatan negara dan mahkota sebagai argumen yang sangat penting, jika kita ingat perang untuk Kepulauan Falkland, harus memahami bahwa negara yang secara sukarela dan tidak perlu menyerahkan bagian dari wilayah kedaulatannya, itu kehilangan kehormatan, ”katanya. "Bahkan mungkin kehilangan haknya untuk hidup."
Analis politik dan aktivis, Marxis Boris Kagarlitsky, berpendapat bahwa pembicaraan itu adalah upaya untuk meringankan sanksi Jepang atas Crimea dan membuka tujuan lain untuk korupsi.
"Orang kaya Rusia membutuhkan saluran baru untuk membawa uang ke Jepang dan kemudian ke Barat," katanya.
Putin telah mengeluh pada bulan Oktober bahwa sanksi Jepang tidak menumbuhkan rasa saling percaya.
Nikolai Selekho, seorang ahli hukum yang lahir di timur jauh Rusia, mengatakan kakeknya telah berperang melawan Jepang di Manchuria dan bahwa Rusia tidak akan pernah membiarkan kepulauan itu lepas.
"Kami kehilangan wilayah di Kazakhstan dan Ukraina," katanya. “Kami tidak bisa menyerahkan tanah lagi. Itu ayah dan ibu kita."
(mas)