Indonesia Serukan Kerja Sama Mitigasi Bencana ASEAN dan Jepang
A
A
A
JAKARTA - Dalam KTT ke-21 ASEAN-Jepang, Presiden Indonesia, Joko Widodo menekankan pentingnya ASEAN memperkuat kerja sama dengan Jepang dalam hal penanggulangan bencana. Jokowi menyebut, negara-negara ASEAN dan Jepang merupakan kawasan yang rentan terhadap bencana.
Bencana yang kerap terjadi di ASEAN dan Jepang kerap menimbulkan korban jiwa dan kerugian ekonomi yang teramat besar. Data mengungkap bahwa dalam tiga dekade terakhir, 40 persen bencana terjadi di kawasan Asia.
"Dalam tiga dekade terakhir, 40 persen bencana terjadi di kawasan Asia, di mana 90 persen menyebabkan korban jiwa dan 50 persen lebih menyebabkan kerugian ekonomi. Data PBB tahun ini memprediksi kerugian ekonomi akibat bencana di kawasan ini mencapai lebih dari USD160 miliar per tahun hingga 2030," ungkap Jokowi, seperti dikutip dari siaran pers Biro Pers Istana yang diterima Sindonews pada Rabu (14/11).
Dalam pertemuan itu Jokowi menyebut persoalan bencana ini sangat dirasakan dampaknya oleh Indonesia. Dia menjelaskan, baru-baru ini, Indonesia mengalami bencana gempa bumi dan tsunami di Sulawesi Tengah dengan korban jiwa mencapai lebih dari 2.200 jiwa serta lebih dari68ribubangunan rusak.
"Bencana alam akan selalu menjadi bagian dari kehidupan kita. Kita tidak dapat mencegah bencana alam. Namun, kita dapat meminimalisir korban dan perlu memastikan bahwa terdapat sumber yang akan mendukung bangkitnya wilayah bencana," sambungnya.
Oleh karenanya, lanjut Jokowi diperlukan adanya kerja sama yang lebih erat mengenai mitigasi dan penanggulangan bencana. Beberapa di antaranya dapat dilakukan dengan penguatan kerja sama terkait mekanisme peringatan dini, pembangunan infrastruktur tahan bencana, hingga pendanaan untuk rekonstruksi dan rehabilitasi pascabencana.
Menurut Jokowi, gagasan ini dinilai tidak hanya penting bagi Indonesia yang memang sebagian wilayahnya rawan terhadap bencana. Tapi, juga negara lain di kawasan yang rawan bencana turut merasakan hal yang sama.
"Diperlukan keterlibatan dan kerja sama banyak pihak untuk mendukung ide ini. Perlu kolaborasi antara pemerintah sebagai regulator dan pembuat kebijakan, kelompok bisnis asuransi, dan partisipasi masyarakat luas," tandasnya.
Bencana yang kerap terjadi di ASEAN dan Jepang kerap menimbulkan korban jiwa dan kerugian ekonomi yang teramat besar. Data mengungkap bahwa dalam tiga dekade terakhir, 40 persen bencana terjadi di kawasan Asia.
"Dalam tiga dekade terakhir, 40 persen bencana terjadi di kawasan Asia, di mana 90 persen menyebabkan korban jiwa dan 50 persen lebih menyebabkan kerugian ekonomi. Data PBB tahun ini memprediksi kerugian ekonomi akibat bencana di kawasan ini mencapai lebih dari USD160 miliar per tahun hingga 2030," ungkap Jokowi, seperti dikutip dari siaran pers Biro Pers Istana yang diterima Sindonews pada Rabu (14/11).
Dalam pertemuan itu Jokowi menyebut persoalan bencana ini sangat dirasakan dampaknya oleh Indonesia. Dia menjelaskan, baru-baru ini, Indonesia mengalami bencana gempa bumi dan tsunami di Sulawesi Tengah dengan korban jiwa mencapai lebih dari 2.200 jiwa serta lebih dari68ribubangunan rusak.
"Bencana alam akan selalu menjadi bagian dari kehidupan kita. Kita tidak dapat mencegah bencana alam. Namun, kita dapat meminimalisir korban dan perlu memastikan bahwa terdapat sumber yang akan mendukung bangkitnya wilayah bencana," sambungnya.
Oleh karenanya, lanjut Jokowi diperlukan adanya kerja sama yang lebih erat mengenai mitigasi dan penanggulangan bencana. Beberapa di antaranya dapat dilakukan dengan penguatan kerja sama terkait mekanisme peringatan dini, pembangunan infrastruktur tahan bencana, hingga pendanaan untuk rekonstruksi dan rehabilitasi pascabencana.
Menurut Jokowi, gagasan ini dinilai tidak hanya penting bagi Indonesia yang memang sebagian wilayahnya rawan terhadap bencana. Tapi, juga negara lain di kawasan yang rawan bencana turut merasakan hal yang sama.
"Diperlukan keterlibatan dan kerja sama banyak pihak untuk mendukung ide ini. Perlu kolaborasi antara pemerintah sebagai regulator dan pembuat kebijakan, kelompok bisnis asuransi, dan partisipasi masyarakat luas," tandasnya.
(esn)