Pertama Kali, Pengadilan Inggris Gunakan Hukum Islam
A
A
A
LONDON - Pengadilan di Inggris untuk pertama kalinya menggunakan hukum Syariah atau hukum Islam setelah hakim Pengadilan Tinggi membuat putusan penting pada kasus perceraian.
Pengadilan Tinggi memutuskan mengakui hukum Islam untuk kasus perceraian pasangan Nasreen Akhtar, 46, dan Mohammed Shabaz Khan, 46.
Pasangan tersebut menikah secara Islam di London barat tahun 1998. Namun, pihak perempuan kesulitan mengajukan kasus perceraian atau menggugat cerai karena hukum perkawinan di Inggris selama ini tidak mengakui hukum Syariah.
Berkat putusan Pengadilan Tinggi, Akhtar dapat membawa kasusnya ke pengadilan perceraian, di mana dia dapat mengklaim bagian aset dari pernikahannya dengan Khan.
Menurut laporan Telegraph, Jumat (3/8/2018), perempuan itu tidak akan bisa menggugat cerai tanpa putusan Pengadilan Tinggi.
Khan awalnya berusaha memblokir permohonan istrinya untuk bercerai di pengadilan Inggris, dengan alasan bahwa pernikahan mereka tidak sah di bawah hukum perkawinan Inggris.
Hakim Williams mengatakan pernikahan itu kandas berdasarkan pasal 11 dari "1973 Matrimonial Causes Act". "Karena masuk ke dalam pengabaian persyaratan tertentu untuk pembentukan pernikahan. Oleh karena itu pernikahan kandas dan istri berhak atas keputusan 'nol'," katanya.
Pengacara Paula Rhone-Adrien, yang memimpin tim hukum Khan, telah memberi tahu hakim bahwa kasus tersebut dapat berimplikasi pada orang-orang dari sejumlah agama.
Ulasan para ahli tentang penerapan hukum Syariah juga telah diterbitkan pada bulan Februari setelah diperintahkan oleh Kantor Perdana Menteri Inggris Theresa May.
PM May telah meminta peninjauan ketika dia menjabat menjadi Menteri Dalam Negeri. Dia ingin menyelidiki apakah hukum Syariah sesuai dengan undang-undang domestik atau tidak jika diterapkan.
Sebuah panel ahli, yang termasuk akademisi dan pengacara, mengatakan pasangan Muslim harus diminta untuk menjalani pernikahan sipil di samping upacara Muslim untuk membawa pernikahan secara Islam sejalan dengan pernikahan Kristen dan Yahudi.
Pengadilan Tinggi memutuskan mengakui hukum Islam untuk kasus perceraian pasangan Nasreen Akhtar, 46, dan Mohammed Shabaz Khan, 46.
Pasangan tersebut menikah secara Islam di London barat tahun 1998. Namun, pihak perempuan kesulitan mengajukan kasus perceraian atau menggugat cerai karena hukum perkawinan di Inggris selama ini tidak mengakui hukum Syariah.
Berkat putusan Pengadilan Tinggi, Akhtar dapat membawa kasusnya ke pengadilan perceraian, di mana dia dapat mengklaim bagian aset dari pernikahannya dengan Khan.
Menurut laporan Telegraph, Jumat (3/8/2018), perempuan itu tidak akan bisa menggugat cerai tanpa putusan Pengadilan Tinggi.
Khan awalnya berusaha memblokir permohonan istrinya untuk bercerai di pengadilan Inggris, dengan alasan bahwa pernikahan mereka tidak sah di bawah hukum perkawinan Inggris.
Hakim Williams mengatakan pernikahan itu kandas berdasarkan pasal 11 dari "1973 Matrimonial Causes Act". "Karena masuk ke dalam pengabaian persyaratan tertentu untuk pembentukan pernikahan. Oleh karena itu pernikahan kandas dan istri berhak atas keputusan 'nol'," katanya.
Pengacara Paula Rhone-Adrien, yang memimpin tim hukum Khan, telah memberi tahu hakim bahwa kasus tersebut dapat berimplikasi pada orang-orang dari sejumlah agama.
Ulasan para ahli tentang penerapan hukum Syariah juga telah diterbitkan pada bulan Februari setelah diperintahkan oleh Kantor Perdana Menteri Inggris Theresa May.
PM May telah meminta peninjauan ketika dia menjabat menjadi Menteri Dalam Negeri. Dia ingin menyelidiki apakah hukum Syariah sesuai dengan undang-undang domestik atau tidak jika diterapkan.
Sebuah panel ahli, yang termasuk akademisi dan pengacara, mengatakan pasangan Muslim harus diminta untuk menjalani pernikahan sipil di samping upacara Muslim untuk membawa pernikahan secara Islam sejalan dengan pernikahan Kristen dan Yahudi.
(mas)