Taiwan Gelar Latihan Militer Skala Besar

Jum'at, 08 Juni 2018 - 10:07 WIB
Taiwan Gelar Latihan...
Taiwan Gelar Latihan Militer Skala Besar
A A A
TAICHUNG - Taiwan menyimulasikan memukul mundur pasukan penyerang dalam latihan militer skala besar yang dimulai kemarin.

Taipei juga menggunakan drone yang dioperasikan sipil untuk pertama kali sebagai bagian latihan militer tahunan di pulau tersebut. Latihan militer itu digelar seiring memanasnya ketegangan dengan China.

Latihan itu dipimpin Presiden Taiwan Tsai Ing-wen dan disaksikan oleh Raja eSwatini Mswati III. eSwatini merupakan negara kerajaan di Afrika yang sebelumnya bernama Swaziland. China menganggap Taiwan sebagai bagian wilayahnya berdasarkan kebijakan satu China. Beijing tidak pernah menepis penggunaan kekuatan untuk menyatukan kembali Taiwan ke wilayah China.

Angkatan Udara China menggelar serangkaian manuver militer dekat Taiwan dalam beberapa bulan terakhir. Taiwan menganggap aktivitas itu sebagai intimidasi.

“Efektivitas tempur pasukan bersenjata kita menjadi jaminan keamanan nasional kita. Ini basis masyarakat dan ini pasukan pendukung untuk nilai-nilai demokrasi dan kebebasan kita,” kata Tsai saat latihan Han Kuang di pusat kota Taichung, Taiwan.

Dia menambahkan, “Sepanjang pasukan militer kita siaga, Taiwan akan tetap terjaga.”

Lebih dari 4.000 personil dan lebih dari 1.500 peralatan dikerahkan dalam latihan tahunan, dengan drone-drone terbang di udara untuk pengintaian medan perang dan pekerja konstruksi mempraktekkan perbaikan di landasan pangkalan udara.

Raja Mswati III merupakan kerajaan absolut terakhir di Afrika dan satu-satunya negara di Afrika yang masih menjadi aliansi Taiwan. Diam enjadi pemimpin asing pertama yang menghadiri latihan Han Kuang sejak Tsai menjabat pada 2016.

China mendesak eSwatini memutus hubungan dengan Taiwan sebelum awal September saat Beijing menjadi tuan rumah konferensi tingkat tinggi (KTT) para pemimpin Afrika. Taiwan menuduh China menggunakan diplomasi dollar untuk menarik para aliansi Taipei agar memutus hubungan dengan Taiwan. Tuduhan itu disangkal oleh Beijing.

“Dalam proses selama latihan, pasukan militer kami menunjukkan kemampuan tempurnya dan bangsa aliansi kami dapat memantaunya,” ungkap juru bicara Kementerian Pertahanan Taiwan Chen Chung-chi.

“Ini satu cara yang kami harap dapat memperdalam dialog kami pada kedua pihak,” ujar dia.

Taiwan menyatakan telah menerima jaminan dari eSwatini bahwa hubungan kedua negara tetap aman. Taiwan baru-baru ini kehilangan dua aliansi diplomatik, yakni negara Burkina Faso dan Republik Dominika yang membangun hubungan dengan Beijing. Taipei secara resmi hanya memiliki hubungan dengna 18 negara di penjuru dunia.

Dalam langkah untuk membuat marah Beijing, Chen menyatakan Taiwan bersemangat untuk terlibat dalam latihan Angkatan Laut yang dipimpin Amerika Serikat (AS). Pentagon bulan lalu menarik undangan pada China sebagai respon atas militerisasi pulau di Laut China Selatan oleh Beijing.

Latihan Sabuk Pasifik atau disebut RIMPAC dianggap sebagai latihan maritim internasional terbesar di dunia. Latihan itu hanya digelar setiap dua tahun di Hawaii pada Juni dan Juli.

Ketegangan antara Taiwan dan China telah meningkat dalam beberapa bulan terakhir. China menuduh pemerintahan Tsai ingin mendorong kemerdekaan resmi Taipei. Tsai menyatakan dia ingin mempertahankan status quo tapi ingin melindungi keamanan Taiwan dan tidak ingin diganggu oleh China.

Taiwan banyak membeli persenjataan dari AS dan ingin membeli lebih banyak peralatan canggih, termasuk jet tempur baru. Pakar militer menyatakan keseimbangan kekuatan antara Taiwan dan China telah beralih lebih menguntungkan Beijing. China diperkirakan dapat dengan cepat menguasai Taiwan kecuali AS dapat bertindak cepat untuk memberikan bantuan.

Awal bulan ini, AS mempertimbangkan meningkatkan patroli angkatan laut di Laut China Selatan untuk menantang meningkatnya militerisasi China di perairan itu. Langkah itu dapat meningkatkan ketegangan di salah satu wilayah paling rawan di dunia tersebut. Pentagon mempertimbangkan program yang disebut operasi kebebasan navigasi di dekat instalasi China di perairan sengketa. Dua pejabat AS dan para diplomat Barat serta Asia mengungkapkan rencana itu awal bulan ini.

Kebijakan itu dapat melibatkan patroli yang lebih lama, jumlah kapal yang lebih banyak atau operasi yang melibatkan pengintaian lebih dekat ke fasilitas China di wilayah itu. Saat ini China telah memasang peralatan jamming elektronik dan radar militer canggih di pulau-pulau buatan di Laut China Selatan. (Syarifudin)
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0834 seconds (0.1#10.140)