Suriah Hampir Taklukkan Ghouta Timur
A
A
A
DAMASKUS - Pasukan Pemerintah Suriah dan milisi pendukung berhasil meraih kemenangan dalam pertempuran dengan para pemberontak di Ghouta Timur.
Pertempuran masih tetap berlangsung meskipun gencata senjatan selama lima jam yang didukung Suriah telah dilaksanakan. Pasukan pemerintah berhasil menguasai Hawsh al-Dawahira, wilayah yang sebelumnya dikuasai kubu oposisi Suriah.
“Sejak Rabu pagi (kemarin), pasukan Presiden Suriah Bashar al-Assad terlibat pertempuran dengan kelompok gerilyawan yang menguasai Ghouta Timur sejak 2013,” demikian keterangan Pemantau Suriah untuk Hak Asasi Manusia (SOHR). SOHR menyatakan lebih dari 550 warga sipil tewas dalam pertempuran di Ghouta Timur sejak pertempuran semakin signifikan dalam beberapa pekan terakhir.
Pertempuran itu terjadi pada hari kedua genjatan senjata di Ghouta Timur yang diinisiasi Rusia berlangsung selama lima jam dari pukul 09.00 hingga 14.00. Sebenarnya, kesepakatan itu gagal setelah terjadi pengeboman pada hari pertama pembelakuan gencatan senjata pada Selasa (27/2).
Penduduk Ghouta Timur mengungkapkan jet tempur pemerintah terus melancarkan serangan sejak kemarin pagi. Target utama serangan tersebut berada di tiga kota, termasuk Douma, Misraba dan Harasta. “Tidak ada evakuasi warga. Tidak ada bantuan medis. Tidak ada bantuan kemanusiaan. Tidak ada,” kata penduduk Ghouta Timur yang tak disebutkan namanya kepada Al Jazeera.
Warga Ghouta Timur menyebutkan Pemerintah Suriah hanya meluncurkan permainan psikologis. “Pengeboman masih saja terjadi sejak semalam (Selasa, 27/2),” papar peduduk Ghouta Timur lainnya. Mereka meminta pihak ketiga untuk mengimplementasikan gencatan senjata, bukan Rusia atau pun Suriah.
Ghouta Timur yang berpenduduk sekitar 400.000 jiwa merupakan target utama serangan tentara Presiden Bashar al-Assad. Dia telah berhasil merebut kembali beberapa wilayah dari kekuasaan pemberontak dengan bantuan militer Rusia dan Iran.
Sebelumnya pada 18 Februari silam, pemerintah dan aliansi menggelar pengeboman besar-besaran dalam konflik tujuh tahun di Ghouta Timur. Insiden itu mengakibatkan ratusan orang tewas. Itu memicu Dewan Keamanan PBB menyerukan resolusi gencata senjata selama 30 hari.
Menurut juru bicara Menteri Luar Negeri Rusia Sergi Lavrov, Maria Zakharova, Rusia ikut menyukseskan gencatan senjata. Tapi, dia meminta negara lainnya untuk menudkung langkah itu. “Rusia masih menilai operasi melawan gerilyawan sejak rencana gencatan senjata didukung Dewan Keamanan PBB,” paparnya.
Ratusan orang tewas dalam pertempuran yang telah memasuki hari ke-11 di Ghouta Timur. Wilayah itu menjadi basis pertahanan terakhir gerilyawan antipemerintah di dekat Damaskus.
Ditanya tentang korban tewas anak-anak, Zakharova mengungkapkan anak-anak dari keluarga yang mendukung Presiden Bashar al-Assad juga tewas. “Rusia masuk ke Perang Suriah untuk melindungi mereka dan menghentikan kekerasan menyebar ke Rusia,” ujarnya.
Koridor Bantuan Dibuka
Rusia kemarin menegaskan gerilyawan di Suriah memblokade bantuan kemanusiaan dan menghalangi evakuasi warga sipil yang ingin meninggalkan Ghoutan.
Di depan Dewan Hak Asasi Manusia PBB di Jenewa, Menteri Luar Negeri Rusia Sergi Lavrov mengungkapkan Moskow akan tetap melanjutkan dukungan terhadap tentara Suriah untuk mengalahkan ancaman gerilyawan.
“Rusia bersama dengan Pemerintah Suriah telah mengumumkan koridor kemanusiaan di Ghouta Timur,” ungkap Lavrov dilansir Reuters. “Gerilyawan masih terus menyerang Damaskus, memblokade pengiriman bantuan,” jelasnya.
Al Jazeera melaporkan para gerilyawan di Ghouta Timur membantah tudingan yang diungkapkan Lavrov. “Mereka (gerilyawan) membantah hal itu. Mereka mengatakan tidak mengebom koridor dan tidak ingin meninggalkan Ghouta Timur. Tidak ada pengawas internasional dalam gencatan senjata tersebut,” demikian laporan Al Jazeera.
Hal beberapa diungkapkan kubu Pemerintah Suriah. Pejabat medis di Damaskus mengungkapkan sebanyak 36 orang tewas akibat serangan gerilyawan di ibu kota Suriah. Damaskus dan Moskos mengklaim serangan ke Ghouta Timur harus dilaksanakan untuk menghentikan gempuran gerilyawan ke ibu kota Suriah tersebut.
Sementara itu, Lavrov juga mengungkapkan Suriah telah menghancurkan cadangan senjata kimia sesuai dengan pengawasan internasional.
Dia menuding tudingan absurd tenang penggunaan senjata kimia oleh pemerintahan Assad. “Amerika Serikat dan aliansinya mengeksplotasi tuduhan senjata kimia digunakan Damaskus sebagai alat politik anti-Suriah,” kata Lavrov.
Kemudian, Korea Utara (Korut) telah memasok serangkaian perlengkapan ke Suriah yang dapat digunakan oleh pabrik senjata kimia. Laporan itu mengungkap bahwa pasokan yang dikirim secara diam-diam tersebut mencakup ubin tahan zat asam, pipa antikarat, dan termometer. Ubin-ubin itu akan dipakai sebagai bahan kontruksi fasilitas di tempat senjata kimia diproduksi.
Wall Street Journal melaporkan barang-barang ini dikirim ke Suriah dalam lima kali pengapalan menggunakan jasa sebuah perusahaan Cina pada akhir 2016 dan awal 2017. Pembayaran pasokan dilakukan Pusat Kajian dan Riset Sains (SSRC)—sebuah badan pemerintah Suriah—melalui beragam perusahaan.
Bahkan, hasil pemantauan PBB, seperti dikutip harian New York Times, melaporkan sejumlah ahli rudal asal Korea Utara terlihat di berbagai fasilitas pembuatan senjata Suriah. (Andika Hendra)
Pertempuran masih tetap berlangsung meskipun gencata senjatan selama lima jam yang didukung Suriah telah dilaksanakan. Pasukan pemerintah berhasil menguasai Hawsh al-Dawahira, wilayah yang sebelumnya dikuasai kubu oposisi Suriah.
“Sejak Rabu pagi (kemarin), pasukan Presiden Suriah Bashar al-Assad terlibat pertempuran dengan kelompok gerilyawan yang menguasai Ghouta Timur sejak 2013,” demikian keterangan Pemantau Suriah untuk Hak Asasi Manusia (SOHR). SOHR menyatakan lebih dari 550 warga sipil tewas dalam pertempuran di Ghouta Timur sejak pertempuran semakin signifikan dalam beberapa pekan terakhir.
Pertempuran itu terjadi pada hari kedua genjatan senjata di Ghouta Timur yang diinisiasi Rusia berlangsung selama lima jam dari pukul 09.00 hingga 14.00. Sebenarnya, kesepakatan itu gagal setelah terjadi pengeboman pada hari pertama pembelakuan gencatan senjata pada Selasa (27/2).
Penduduk Ghouta Timur mengungkapkan jet tempur pemerintah terus melancarkan serangan sejak kemarin pagi. Target utama serangan tersebut berada di tiga kota, termasuk Douma, Misraba dan Harasta. “Tidak ada evakuasi warga. Tidak ada bantuan medis. Tidak ada bantuan kemanusiaan. Tidak ada,” kata penduduk Ghouta Timur yang tak disebutkan namanya kepada Al Jazeera.
Warga Ghouta Timur menyebutkan Pemerintah Suriah hanya meluncurkan permainan psikologis. “Pengeboman masih saja terjadi sejak semalam (Selasa, 27/2),” papar peduduk Ghouta Timur lainnya. Mereka meminta pihak ketiga untuk mengimplementasikan gencatan senjata, bukan Rusia atau pun Suriah.
Ghouta Timur yang berpenduduk sekitar 400.000 jiwa merupakan target utama serangan tentara Presiden Bashar al-Assad. Dia telah berhasil merebut kembali beberapa wilayah dari kekuasaan pemberontak dengan bantuan militer Rusia dan Iran.
Sebelumnya pada 18 Februari silam, pemerintah dan aliansi menggelar pengeboman besar-besaran dalam konflik tujuh tahun di Ghouta Timur. Insiden itu mengakibatkan ratusan orang tewas. Itu memicu Dewan Keamanan PBB menyerukan resolusi gencata senjata selama 30 hari.
Menurut juru bicara Menteri Luar Negeri Rusia Sergi Lavrov, Maria Zakharova, Rusia ikut menyukseskan gencatan senjata. Tapi, dia meminta negara lainnya untuk menudkung langkah itu. “Rusia masih menilai operasi melawan gerilyawan sejak rencana gencatan senjata didukung Dewan Keamanan PBB,” paparnya.
Ratusan orang tewas dalam pertempuran yang telah memasuki hari ke-11 di Ghouta Timur. Wilayah itu menjadi basis pertahanan terakhir gerilyawan antipemerintah di dekat Damaskus.
Ditanya tentang korban tewas anak-anak, Zakharova mengungkapkan anak-anak dari keluarga yang mendukung Presiden Bashar al-Assad juga tewas. “Rusia masuk ke Perang Suriah untuk melindungi mereka dan menghentikan kekerasan menyebar ke Rusia,” ujarnya.
Koridor Bantuan Dibuka
Rusia kemarin menegaskan gerilyawan di Suriah memblokade bantuan kemanusiaan dan menghalangi evakuasi warga sipil yang ingin meninggalkan Ghoutan.
Di depan Dewan Hak Asasi Manusia PBB di Jenewa, Menteri Luar Negeri Rusia Sergi Lavrov mengungkapkan Moskow akan tetap melanjutkan dukungan terhadap tentara Suriah untuk mengalahkan ancaman gerilyawan.
“Rusia bersama dengan Pemerintah Suriah telah mengumumkan koridor kemanusiaan di Ghouta Timur,” ungkap Lavrov dilansir Reuters. “Gerilyawan masih terus menyerang Damaskus, memblokade pengiriman bantuan,” jelasnya.
Al Jazeera melaporkan para gerilyawan di Ghouta Timur membantah tudingan yang diungkapkan Lavrov. “Mereka (gerilyawan) membantah hal itu. Mereka mengatakan tidak mengebom koridor dan tidak ingin meninggalkan Ghouta Timur. Tidak ada pengawas internasional dalam gencatan senjata tersebut,” demikian laporan Al Jazeera.
Hal beberapa diungkapkan kubu Pemerintah Suriah. Pejabat medis di Damaskus mengungkapkan sebanyak 36 orang tewas akibat serangan gerilyawan di ibu kota Suriah. Damaskus dan Moskos mengklaim serangan ke Ghouta Timur harus dilaksanakan untuk menghentikan gempuran gerilyawan ke ibu kota Suriah tersebut.
Sementara itu, Lavrov juga mengungkapkan Suriah telah menghancurkan cadangan senjata kimia sesuai dengan pengawasan internasional.
Dia menuding tudingan absurd tenang penggunaan senjata kimia oleh pemerintahan Assad. “Amerika Serikat dan aliansinya mengeksplotasi tuduhan senjata kimia digunakan Damaskus sebagai alat politik anti-Suriah,” kata Lavrov.
Kemudian, Korea Utara (Korut) telah memasok serangkaian perlengkapan ke Suriah yang dapat digunakan oleh pabrik senjata kimia. Laporan itu mengungkap bahwa pasokan yang dikirim secara diam-diam tersebut mencakup ubin tahan zat asam, pipa antikarat, dan termometer. Ubin-ubin itu akan dipakai sebagai bahan kontruksi fasilitas di tempat senjata kimia diproduksi.
Wall Street Journal melaporkan barang-barang ini dikirim ke Suriah dalam lima kali pengapalan menggunakan jasa sebuah perusahaan Cina pada akhir 2016 dan awal 2017. Pembayaran pasokan dilakukan Pusat Kajian dan Riset Sains (SSRC)—sebuah badan pemerintah Suriah—melalui beragam perusahaan.
Bahkan, hasil pemantauan PBB, seperti dikutip harian New York Times, melaporkan sejumlah ahli rudal asal Korea Utara terlihat di berbagai fasilitas pembuatan senjata Suriah. (Andika Hendra)
(nfl)