Peringkat ke-64, Kredibilitas Paspor RI Perlu Diperkuat
A
A
A
JAKARTA - Indonesia harus bekerja lebih keras untuk menggenjot derajat paspornya. Walaupun dua tahun belakangan konsisten naik tiga peringkat, paspor Indonesia masih berada di urutan ke-64 dengan nilai 63.
Penilaian peringkat paspor dilakukan Arton Capital yang berbasis di Montreal, Kanada. Ukuran ini berdasarkan fakta ada 29 negara yang memberikan bebas visa dan 34 memberikan visa on arrival untuk Indonesia. Di antara 10 negara ASEAN, Indonesia tercecer di urutan kelima.
Posisi mengagumkan ditunjukkan Singapura. Paspor negara kota itu kini menjadi yang paling kuat di dunia dengan nilai bebas visa mencapai 159. Negeri jiran itu untuk pertama kalinya menggeser Jerman dari posisi puncak setelah Paraguay memberlakukan bebas visa.
Peringkat paspor yang diraih Indonesia mengindikasikan negeri ini masih kurang dikenal dan kurang dipercaya. Atau sebaliknya Indonesia juga tidak ingin memberikan bebas visa kepada negara yang belum stabil secara politik. Selain itu faktor stabilitas politik domestik juga menjadi pertimbangan.
"Kita dikenal sebagai negara yang memiliki kelompok teroris sehingga negara asing takut ada yang beriktikad tidak baik. Selain itu sejauh mana orang Indonesia akan memberikan keuntungan, pasti masuk kedalam pertimbangan," ujar pengamat hubungan internasional Guspiabri Sumowigeno dari Par Indonesia Strategic Research.
Guspiabri juga menilai sistem pencatatan kependudukan Indonesia yang dianggap kurang kredibel bila dibandingkan dengan Singapura dan Malaysia menjadi penyebab nilai paspor Indonesia masih rendah. "Di Indonesia, kasus pemalsuan dokumen masih marak sehingga banyak negara besar yang kurang percaya dengan Tanah Air. Negara luar juga ingin mengantisipasi hal yang tidak diinginkan," ujarnya.
Dia mengaku tidak mudah untuk mengatur sistem pencatatan kependudukan di Indonesia karena jumlah penduduk yang sangat besar, yakni mencapai 261,1 juta jiwa. Bandingkan dengan Singapura yang hanya 5,6 juta jiwa dan Malaysia 31,19 juta jiwa. Pengamat hubungan internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana juga melihat tertib administrasi menjadi faktor penentu lemahnya posisi paspor Indonesia.
"Penegakan hukum dianggap masih lemah sehingga paspor banyak yang asli tapi palsu. Kan ada tuh WN Tiongkok bisa dengan mudah mendapatkan paspor Indonesia," ujarnya.
Banyaknya negara yang masih melabeli Indonesia sebagai negara asal teroris juga turut memengaruhi hal ini meski Indonesia sendiri korban dari tindakan terorisme. Selain itu Hikmahanto menilai rendahnya peringkat paspor karena masyarakat Indonesia belum bisa diharapkan negara lain untuk berbondong-bondong menjadi wisatawan yang akan menjadi spender. Sebaliknya justru Indonesia yang mengundang wisa tawan mancanegara sehingga membebaskan visa kunjungan untuk wisata.
"Saya rasa enggak perlu ideal-idealan. Tidak harus dijadikan target agar paspor memiliki power rank yang tinggi. Kan juga pemerintah tidak ingin kalau warga negaranya keluar negeri dan spend uang di luar negeri. Lebih bagus spend di Indonesia saja," kata dia.
Anggota Komisi I DPR Moh Arief Suditomo berpendapat, posisi peringkat paspor Indonesia yang selalu berada di papan tengah itu disebabkan banyak faktor semisal posisi tawar ekonomi, aliansi politik, budaya, dan historis. Itu semua sangat memengaruhi kekuatan paspor Indonesia.
"Kondisi itu latar belakangnya tidak tunggal. Posisi tawar ekonomi, aliansi politik, budaya, dan historis sangat memengaruhi posisi paspor RI," kata Arief kepada KORAN SINDO di Jakarta Jumat (27/10/2017) malam.
Dengan demikian, lanjut mantan Pimred RCTI itu, meski Indonesia sudah menerapkan kebijakan bebas visa kepada ratusan negara, hal itu tidak bisa diharapkan langsung berlaku resiprokal (timbal balik) terhadap semua negara yang diberi fasilitas bebas visa masuk ke Indonesia.
"Masih ada beberapa elemen bilateral yang harus dituntaskan pemerintah," ujar politikus Partai Hanura itu.
Untuk meningkatkan pengaruh paspor Indonesia, Arief menyarankan agar Pemerintah RI senantiasa mengedepankan pendekatan diplomasi sehingga peran Kementerian Luar Negeri (Kemlu) menjadi penting dalam hal ini. Pemerintah juga harus pandai dalam memainkan isu geo politik dan keanggotaan Indonesia dalam fo rum ekonomi bergengsi G-20 bisa dimainkan dengan baik.
Anggota Komisi I DPR lainnya Evita Nursanty mengatakan, perlu kerja keras pemerintah agar paspor RI semakin diterima dengan baik di negara lain. Untuk meningkatkan peringkat itu, tidak hanya satu sisi saja yang menentukan, tapi banyak faktor pendorong lain seperti faktor ekonomi, peran Indonesia di berbagai isu internasional.
"Tapi diplomasi terus kita dorong agar resiprokal atau timbal balik," kata doktor Hubungan Internasional Unpad ini.
Adapun kebijakan bebas visa, menurut politikus PDIP itu, Komisi I sudah membentuk Panja Bebas Visa. Hal ini salah satunya bertujuan untuk mengevaluasi kebijakan bebas visa yang diberlakukan sejak 2015 apakah benar-benar efektif untuk mendatangkan wisatawan dan mendorong agar sekuat mungkin makin banyak negara yang juga memberlakukan bebas visa untuk warga Indonesia. "Menurut kami, prinsip resiprokal perlu diutamakan dalam kebijakan ini," tandasnya.
Sejauh ini Kementerian Luar Negeri (Kemlu) tidak berkomentar mengenai hal ini. Namun dalam pidato tiga tahun kepemimpinannya, Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi mengatakan Indonesia tetap melakukan perbaikan investasi di tengah penurunan nilai perdagangan mengingat banyak negara yang semakin proteksionis.
"Sepanjang 2016, kenaikan nilai perdagangan dan investasi Indonesia di luar negeri meningkat pesat. Pertumbuhan terjadi di beberapa negara Afrika seperti Madagaskar (112,35%), Chad (207,92%), Zimbabwe (223,34%), Gabon (562,93%), Kongo (566,81%), Zambia (637,77%), dan Rwanda (1717,21%)," terang Retno.
Prestasi Negeri Singa
Prestasi Singapura itu menandai sejarah baru. Negara kota itu menjadi negara pertama Asia yang memiliki paspor paling kuat di dunia. "Ini merupakan hasil dari relasi diplomatik inklusif dan kebijakan luar negeri efektif Singapura," ujar pemimpin tertinggi eksekutif Arton Singapura, Philippe May, seperti dikutip The Straits Times.
Singapura juga untuk pertama kalinya menggeser Jerman dari posisi puncak, meski tipis. Di sepanjang sejarah, peringkat 10 besar selalu didominasi negara-negara Eropa. Jerman bahkan memimpin dalam dua tahun terakhir. Namun, kali ini, Jerman harus berada di posisi kedua dengan nilai bebas visa mencapai 158.
Berdasarkan pengamatan Arton yang memantau paspor seluruh negara di enam benua secara real time, Singapura merangkak naik secara konstan sejak merdeka pada 1965. Negara yang menjadi jembatan transportasi, keuangan, dan komersial global itu memasuki posisi teratas bergandengan dengan Jerman pada awal tahun ini.
Secara keseluruhan, negara Asia memiliki tren positif dalam pemeringkatan paspor. Faktanya Korea Selatan (peringkat ketiga), Jepang (4), HongKong (16), Israel (19), Brunei Darussalam (21), Uni Emirates Arab (26), Makau, Taiwan (32), Kuwait (48), Timor Leste (49), dan Qatar (50) berhasil masuk kedalam jajaran 50 besar.
Sebaliknya Amerika Serikat (AS) mengalami penurunan peringkat sejak Donald Trump terpilih menjadi presiden. Turki dan Afrika Tengah menjadi negara terbaru yang mencabut bebas visa bagi warga AS. Paspor AS akan kian melemah mengingat Parlemen Eropa juga berencana mengakhiri bebas visa bagi warga Negeri Paman Sam. Saat ini AS sudah jatuh ke urutan keenam dari posisi keempat.
"Sanksi dan agenda anti-imigrasi membuat AS terpuruk dalam peringkat ini," ungkap majalah Forbes.
Reputasi negara-negara Barat juga menurun akibat sikap yang kurang bersahabat. Sentimen nasional membuat Jerman, Swedia, Denmark, dan Swiss kalah dari Singapura. "Padahal, mobilitas bebas visa global menjadi faktor yang penting pada zaman sekarang," kata pendiri Arton, Armand Arton.
May juga memprediksi negara yang tidak menjadi ancaman bagi negara lain, cerdas, dan berpikiran terbuka, paspornya akan terus menguat. Hal ini biasanya terjadi di negara-negara kecil seperti Singapura, juga negara Karibia seperti St Kitts dan Nevis, Antigua dan Barbuda, Domincia, St Lucia, St Vincent, dan Grenadines.
Penilaian peringkat paspor dilakukan Arton Capital yang berbasis di Montreal, Kanada. Ukuran ini berdasarkan fakta ada 29 negara yang memberikan bebas visa dan 34 memberikan visa on arrival untuk Indonesia. Di antara 10 negara ASEAN, Indonesia tercecer di urutan kelima.
Posisi mengagumkan ditunjukkan Singapura. Paspor negara kota itu kini menjadi yang paling kuat di dunia dengan nilai bebas visa mencapai 159. Negeri jiran itu untuk pertama kalinya menggeser Jerman dari posisi puncak setelah Paraguay memberlakukan bebas visa.
Peringkat paspor yang diraih Indonesia mengindikasikan negeri ini masih kurang dikenal dan kurang dipercaya. Atau sebaliknya Indonesia juga tidak ingin memberikan bebas visa kepada negara yang belum stabil secara politik. Selain itu faktor stabilitas politik domestik juga menjadi pertimbangan.
"Kita dikenal sebagai negara yang memiliki kelompok teroris sehingga negara asing takut ada yang beriktikad tidak baik. Selain itu sejauh mana orang Indonesia akan memberikan keuntungan, pasti masuk kedalam pertimbangan," ujar pengamat hubungan internasional Guspiabri Sumowigeno dari Par Indonesia Strategic Research.
Guspiabri juga menilai sistem pencatatan kependudukan Indonesia yang dianggap kurang kredibel bila dibandingkan dengan Singapura dan Malaysia menjadi penyebab nilai paspor Indonesia masih rendah. "Di Indonesia, kasus pemalsuan dokumen masih marak sehingga banyak negara besar yang kurang percaya dengan Tanah Air. Negara luar juga ingin mengantisipasi hal yang tidak diinginkan," ujarnya.
Dia mengaku tidak mudah untuk mengatur sistem pencatatan kependudukan di Indonesia karena jumlah penduduk yang sangat besar, yakni mencapai 261,1 juta jiwa. Bandingkan dengan Singapura yang hanya 5,6 juta jiwa dan Malaysia 31,19 juta jiwa. Pengamat hubungan internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana juga melihat tertib administrasi menjadi faktor penentu lemahnya posisi paspor Indonesia.
"Penegakan hukum dianggap masih lemah sehingga paspor banyak yang asli tapi palsu. Kan ada tuh WN Tiongkok bisa dengan mudah mendapatkan paspor Indonesia," ujarnya.
Banyaknya negara yang masih melabeli Indonesia sebagai negara asal teroris juga turut memengaruhi hal ini meski Indonesia sendiri korban dari tindakan terorisme. Selain itu Hikmahanto menilai rendahnya peringkat paspor karena masyarakat Indonesia belum bisa diharapkan negara lain untuk berbondong-bondong menjadi wisatawan yang akan menjadi spender. Sebaliknya justru Indonesia yang mengundang wisa tawan mancanegara sehingga membebaskan visa kunjungan untuk wisata.
"Saya rasa enggak perlu ideal-idealan. Tidak harus dijadikan target agar paspor memiliki power rank yang tinggi. Kan juga pemerintah tidak ingin kalau warga negaranya keluar negeri dan spend uang di luar negeri. Lebih bagus spend di Indonesia saja," kata dia.
Anggota Komisi I DPR Moh Arief Suditomo berpendapat, posisi peringkat paspor Indonesia yang selalu berada di papan tengah itu disebabkan banyak faktor semisal posisi tawar ekonomi, aliansi politik, budaya, dan historis. Itu semua sangat memengaruhi kekuatan paspor Indonesia.
"Kondisi itu latar belakangnya tidak tunggal. Posisi tawar ekonomi, aliansi politik, budaya, dan historis sangat memengaruhi posisi paspor RI," kata Arief kepada KORAN SINDO di Jakarta Jumat (27/10/2017) malam.
Dengan demikian, lanjut mantan Pimred RCTI itu, meski Indonesia sudah menerapkan kebijakan bebas visa kepada ratusan negara, hal itu tidak bisa diharapkan langsung berlaku resiprokal (timbal balik) terhadap semua negara yang diberi fasilitas bebas visa masuk ke Indonesia.
"Masih ada beberapa elemen bilateral yang harus dituntaskan pemerintah," ujar politikus Partai Hanura itu.
Untuk meningkatkan pengaruh paspor Indonesia, Arief menyarankan agar Pemerintah RI senantiasa mengedepankan pendekatan diplomasi sehingga peran Kementerian Luar Negeri (Kemlu) menjadi penting dalam hal ini. Pemerintah juga harus pandai dalam memainkan isu geo politik dan keanggotaan Indonesia dalam fo rum ekonomi bergengsi G-20 bisa dimainkan dengan baik.
Anggota Komisi I DPR lainnya Evita Nursanty mengatakan, perlu kerja keras pemerintah agar paspor RI semakin diterima dengan baik di negara lain. Untuk meningkatkan peringkat itu, tidak hanya satu sisi saja yang menentukan, tapi banyak faktor pendorong lain seperti faktor ekonomi, peran Indonesia di berbagai isu internasional.
"Tapi diplomasi terus kita dorong agar resiprokal atau timbal balik," kata doktor Hubungan Internasional Unpad ini.
Adapun kebijakan bebas visa, menurut politikus PDIP itu, Komisi I sudah membentuk Panja Bebas Visa. Hal ini salah satunya bertujuan untuk mengevaluasi kebijakan bebas visa yang diberlakukan sejak 2015 apakah benar-benar efektif untuk mendatangkan wisatawan dan mendorong agar sekuat mungkin makin banyak negara yang juga memberlakukan bebas visa untuk warga Indonesia. "Menurut kami, prinsip resiprokal perlu diutamakan dalam kebijakan ini," tandasnya.
Sejauh ini Kementerian Luar Negeri (Kemlu) tidak berkomentar mengenai hal ini. Namun dalam pidato tiga tahun kepemimpinannya, Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi mengatakan Indonesia tetap melakukan perbaikan investasi di tengah penurunan nilai perdagangan mengingat banyak negara yang semakin proteksionis.
"Sepanjang 2016, kenaikan nilai perdagangan dan investasi Indonesia di luar negeri meningkat pesat. Pertumbuhan terjadi di beberapa negara Afrika seperti Madagaskar (112,35%), Chad (207,92%), Zimbabwe (223,34%), Gabon (562,93%), Kongo (566,81%), Zambia (637,77%), dan Rwanda (1717,21%)," terang Retno.
Prestasi Negeri Singa
Prestasi Singapura itu menandai sejarah baru. Negara kota itu menjadi negara pertama Asia yang memiliki paspor paling kuat di dunia. "Ini merupakan hasil dari relasi diplomatik inklusif dan kebijakan luar negeri efektif Singapura," ujar pemimpin tertinggi eksekutif Arton Singapura, Philippe May, seperti dikutip The Straits Times.
Singapura juga untuk pertama kalinya menggeser Jerman dari posisi puncak, meski tipis. Di sepanjang sejarah, peringkat 10 besar selalu didominasi negara-negara Eropa. Jerman bahkan memimpin dalam dua tahun terakhir. Namun, kali ini, Jerman harus berada di posisi kedua dengan nilai bebas visa mencapai 158.
Berdasarkan pengamatan Arton yang memantau paspor seluruh negara di enam benua secara real time, Singapura merangkak naik secara konstan sejak merdeka pada 1965. Negara yang menjadi jembatan transportasi, keuangan, dan komersial global itu memasuki posisi teratas bergandengan dengan Jerman pada awal tahun ini.
Secara keseluruhan, negara Asia memiliki tren positif dalam pemeringkatan paspor. Faktanya Korea Selatan (peringkat ketiga), Jepang (4), HongKong (16), Israel (19), Brunei Darussalam (21), Uni Emirates Arab (26), Makau, Taiwan (32), Kuwait (48), Timor Leste (49), dan Qatar (50) berhasil masuk kedalam jajaran 50 besar.
Sebaliknya Amerika Serikat (AS) mengalami penurunan peringkat sejak Donald Trump terpilih menjadi presiden. Turki dan Afrika Tengah menjadi negara terbaru yang mencabut bebas visa bagi warga AS. Paspor AS akan kian melemah mengingat Parlemen Eropa juga berencana mengakhiri bebas visa bagi warga Negeri Paman Sam. Saat ini AS sudah jatuh ke urutan keenam dari posisi keempat.
"Sanksi dan agenda anti-imigrasi membuat AS terpuruk dalam peringkat ini," ungkap majalah Forbes.
Reputasi negara-negara Barat juga menurun akibat sikap yang kurang bersahabat. Sentimen nasional membuat Jerman, Swedia, Denmark, dan Swiss kalah dari Singapura. "Padahal, mobilitas bebas visa global menjadi faktor yang penting pada zaman sekarang," kata pendiri Arton, Armand Arton.
May juga memprediksi negara yang tidak menjadi ancaman bagi negara lain, cerdas, dan berpikiran terbuka, paspornya akan terus menguat. Hal ini biasanya terjadi di negara-negara kecil seperti Singapura, juga negara Karibia seperti St Kitts dan Nevis, Antigua dan Barbuda, Domincia, St Lucia, St Vincent, dan Grenadines.
(amm)