Tillerson Kritik Saudi dan Bahrain Soal HAM
A
A
A
WASHINGTON - Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Rex Tillerson melemparkan kritikan kepada Arab Saudi dan Bahrain terkait HAM dan kebebasan beragama. Bahrain dan Saudi sejatinya adalah dua sekutu dekat AS di Timur Tengah.
Berbicara di Kementerian Luar Negeri AS saat perilisan laporan tahunan tentang kebebasan beragama, Tillerson menyatakan kedua negara tersebut tidak menganut prinsip kebebasan beragama di sepanjang tahun 2016.
"Arab Saudi seharusnya merangkul tingkat kebebasan beragama yang lebih tinggi untuk semua warganya," ucapnya, mengutip hukuman kriminal untuk ateisme, penghujatan, dan penghinaan terhadap interpretasi Saudi terhadap Islam, serta serangan dan diskriminasi yang menargetkan Syiah.
Melansir Reuters pada Rabu (16/8), dalam laporan yang dibacakan Tillerosn itu juga menuturkan Saudi telah menggunakan undang-undang kontra-terorisme untuk menargetkan atheis dan Syiah.
Tillerson kemudian mengkritik negara Teluk Arab lainnya yakni Bahrain. Dia menyatakan mengatakan, Bahrain harus berhenti mendiskriminasikan masyarakat Syiah.
Selain Bahrain dan Saudi, Turki dan Pakistan juga turut mendapat kritikan keras berdasarkan laporan tersebut. Turki dinilai sangat membatasi pergerakan kelompok-kelompok minoritas, sedangakn di Pakistan menurut laporan itu kebebasan beragama telah "diserang", dengan alasan marginalisasi Muslim Ahmadiyah, sebuah sekte minoritas yang dianggap orang Pakistan sebagai non-Muslim.
Tillerson, berdasarkan laporan itu juga mengecam kejahatan yang dilakukan ISIS. "ISIS secara jelas bertanggung jawab atas genosida melawan Yezidis, Kristen, dan Muslim Syiah di wilayah yang dikontrol atau dikendalikannya," ungkapnya.
Tidak luput, Tillerson yang mengutip laporan itu juga melemparkan kritikan tajam terhadap sejumlah rival AS, yakni Iran, Sudan, dan China. Teheran dinilai telah menargetkan kelompok minoritas agama termasuk Baha'is dan Kristen, dan pada 2016 mengeksekusi 20 orang dengan tuduhan termasuk "mendeklarasikan perang melawan Tuhan".
"Pemerintah China menyiksa dan memenjarakan ribuan orang karena mempraktikkan keyakinan agama mereka. Dan di Sudan, pemerintah menangkap dan mengintimidasi pendeta dan menghalangi pembangunan gereja sambil menghancurkan yang sudah ada," imbuhnya.
Berbicara di Kementerian Luar Negeri AS saat perilisan laporan tahunan tentang kebebasan beragama, Tillerson menyatakan kedua negara tersebut tidak menganut prinsip kebebasan beragama di sepanjang tahun 2016.
"Arab Saudi seharusnya merangkul tingkat kebebasan beragama yang lebih tinggi untuk semua warganya," ucapnya, mengutip hukuman kriminal untuk ateisme, penghujatan, dan penghinaan terhadap interpretasi Saudi terhadap Islam, serta serangan dan diskriminasi yang menargetkan Syiah.
Melansir Reuters pada Rabu (16/8), dalam laporan yang dibacakan Tillerosn itu juga menuturkan Saudi telah menggunakan undang-undang kontra-terorisme untuk menargetkan atheis dan Syiah.
Tillerson kemudian mengkritik negara Teluk Arab lainnya yakni Bahrain. Dia menyatakan mengatakan, Bahrain harus berhenti mendiskriminasikan masyarakat Syiah.
Selain Bahrain dan Saudi, Turki dan Pakistan juga turut mendapat kritikan keras berdasarkan laporan tersebut. Turki dinilai sangat membatasi pergerakan kelompok-kelompok minoritas, sedangakn di Pakistan menurut laporan itu kebebasan beragama telah "diserang", dengan alasan marginalisasi Muslim Ahmadiyah, sebuah sekte minoritas yang dianggap orang Pakistan sebagai non-Muslim.
Tillerson, berdasarkan laporan itu juga mengecam kejahatan yang dilakukan ISIS. "ISIS secara jelas bertanggung jawab atas genosida melawan Yezidis, Kristen, dan Muslim Syiah di wilayah yang dikontrol atau dikendalikannya," ungkapnya.
Tidak luput, Tillerson yang mengutip laporan itu juga melemparkan kritikan tajam terhadap sejumlah rival AS, yakni Iran, Sudan, dan China. Teheran dinilai telah menargetkan kelompok minoritas agama termasuk Baha'is dan Kristen, dan pada 2016 mengeksekusi 20 orang dengan tuduhan termasuk "mendeklarasikan perang melawan Tuhan".
"Pemerintah China menyiksa dan memenjarakan ribuan orang karena mempraktikkan keyakinan agama mereka. Dan di Sudan, pemerintah menangkap dan mengintimidasi pendeta dan menghalangi pembangunan gereja sambil menghancurkan yang sudah ada," imbuhnya.
(esn)