Gadis Israel Dibunuh Ayahnya karena Pacaran dengan Pria Muslim
A
A
A
RAMLE - Seorang gadis Israel bernama Henriette Karra, 17, tewas dibunuh ayah dan pamannya karena menjalin hubungan asmara dengan seorang pria muslim. Gadis itu juga berencana menjadi mualaf.
Henriette merupakan gadis dari keluarga Kristen di Kota Ramle, Israel tengah. Pembunuhan terjadi pada 13 Juni 2017. Kasus ini dipandang publik Israel sebagai pembunuhan demi kehormatan atau “honour killing”.
Ayah korban sekaligus pelaku pembunuhan, Sami Karra, ditangkap dan dibawa ke pengadilan pada hari Minggu lalu.
Menurut dokumen dakwaan, Henriette meninggalkan rumah dua minggu sebelum pembunuhan pada 13 Juni. Dia pergi dari rumah setelah keluarganya melakukan kekerasan dan mengancam akan memutus hubungan asmaranya dengan pria muslim.
Tindakan keluarganya itu membuat korban takut. Demi menyelamatkan diri, dia bersembunyi di sejumlah tempat, termasuk di rumah ibu pacarnya.
Seminggu sebelum pembunuhan, korban mengajukan keluhan kepada polisi bahwa ibunya telah menyerang dirinya.
Dalam upaya menekan Henriette agar pulang ke rumah, keluarga tersebut mengancam ibu pacarnya. Ancaman itu membuat Henriette dicarikan tempat lain untuk bersembunyi.
Beberapa hari sebelum pembunuhan itu, kedua orang tua dan dua pamannya datang menemuinya di rumah teman wanita yang tinggal bersamanya. Pihak keluarga berupaya meyakinkan korban untuk pulang ke rumah.
Polisi bahkan dihubungi warga ke lokasi kejadian. Tapi, Henriette menolak untuk menerima bantuan dari petugas polisi. Pada pukul 03.00 dini hari, ayahnya tiba, dan diduga memukul serta mengancamnya.
Pada tanggal 11 Juni, dua hari sebelum pembunuhan, polisi memanggil Henriette dan orang tuanya untuk melakukan pertemuan gabungan dengan seorang pekerja sosial. Pada pertemuan tersebut, orang tuanya meminta Henriette untuk kembali ke rumah, tapi dia bilang tidak.
Layanan sosial tersebut mengusulkan agar dia memasuki tempat penampungan wanita atau kerangka kerja lainnya. Dia menolak dan meminta bantuan dari pihak berwenang untuk membayar apartemen.
Pada akhirnya, Henriette sepakat akan tinggal dengan kerabatnya, tapi dia baru bersedia pulang ke rumah pada malam hari.
Keesokan harinya dia menghadiri pesta kelulusan SMA-nya.
Pada tanggal 13 Juni, hari pembunuhan tersebut, Henriette menyimpan uang 400 shekel (USD113) di rekening kantin pacarnya. Ketika dia kembali ke rumah, dia mengatakan kepada kerabat bahwa pacarnya keluar dari penjara pada akhir minggu dan dia bermaksud jadi mualaf.
Kerabat itu lantas menceritakan semuanya kepada ayah Henriette dan sang ayah memutuskan untuk membunuhnya.
Henriette ditemukan tewas di dapur rumah orang tuanya dengan luka tusukan di leher.
Dalam penyelidikan, ibu Henriette mengatakan kepada polisi bahwa suaminya merasa dipermalukan oleh perilaku putrinya dan melihatnya sebagai penghinaan terhadap "kehormatan keluarga".
Dalam percakapan antara ayah dan ibu korban pada malam pembunuhan, yang rekamannya diputar polisi, terungkap bahwa ibu Henriette, Aliham, bertanya kepada suaminya mengapa dia membiarkan korban pergi ke pesta wisuda.
”Lupakan dia, biarkan dia pergi ke neraka,” kata Sami. ”Dia sampah. Kita perlu mencambuknya, membuangnya seperti anjing dan melihat bagaimana dia melakukannya. Dia sudah pergi, saya muak dengan dia dan kamu,” lanjut Sami dalam rekaman tersebut yang dikutip Haaretz, Selasa (18/7/2017).
Henriette merupakan gadis dari keluarga Kristen di Kota Ramle, Israel tengah. Pembunuhan terjadi pada 13 Juni 2017. Kasus ini dipandang publik Israel sebagai pembunuhan demi kehormatan atau “honour killing”.
Ayah korban sekaligus pelaku pembunuhan, Sami Karra, ditangkap dan dibawa ke pengadilan pada hari Minggu lalu.
Menurut dokumen dakwaan, Henriette meninggalkan rumah dua minggu sebelum pembunuhan pada 13 Juni. Dia pergi dari rumah setelah keluarganya melakukan kekerasan dan mengancam akan memutus hubungan asmaranya dengan pria muslim.
Tindakan keluarganya itu membuat korban takut. Demi menyelamatkan diri, dia bersembunyi di sejumlah tempat, termasuk di rumah ibu pacarnya.
Seminggu sebelum pembunuhan, korban mengajukan keluhan kepada polisi bahwa ibunya telah menyerang dirinya.
Dalam upaya menekan Henriette agar pulang ke rumah, keluarga tersebut mengancam ibu pacarnya. Ancaman itu membuat Henriette dicarikan tempat lain untuk bersembunyi.
Beberapa hari sebelum pembunuhan itu, kedua orang tua dan dua pamannya datang menemuinya di rumah teman wanita yang tinggal bersamanya. Pihak keluarga berupaya meyakinkan korban untuk pulang ke rumah.
Polisi bahkan dihubungi warga ke lokasi kejadian. Tapi, Henriette menolak untuk menerima bantuan dari petugas polisi. Pada pukul 03.00 dini hari, ayahnya tiba, dan diduga memukul serta mengancamnya.
Pada tanggal 11 Juni, dua hari sebelum pembunuhan, polisi memanggil Henriette dan orang tuanya untuk melakukan pertemuan gabungan dengan seorang pekerja sosial. Pada pertemuan tersebut, orang tuanya meminta Henriette untuk kembali ke rumah, tapi dia bilang tidak.
Layanan sosial tersebut mengusulkan agar dia memasuki tempat penampungan wanita atau kerangka kerja lainnya. Dia menolak dan meminta bantuan dari pihak berwenang untuk membayar apartemen.
Pada akhirnya, Henriette sepakat akan tinggal dengan kerabatnya, tapi dia baru bersedia pulang ke rumah pada malam hari.
Keesokan harinya dia menghadiri pesta kelulusan SMA-nya.
Pada tanggal 13 Juni, hari pembunuhan tersebut, Henriette menyimpan uang 400 shekel (USD113) di rekening kantin pacarnya. Ketika dia kembali ke rumah, dia mengatakan kepada kerabat bahwa pacarnya keluar dari penjara pada akhir minggu dan dia bermaksud jadi mualaf.
Kerabat itu lantas menceritakan semuanya kepada ayah Henriette dan sang ayah memutuskan untuk membunuhnya.
Henriette ditemukan tewas di dapur rumah orang tuanya dengan luka tusukan di leher.
Dalam penyelidikan, ibu Henriette mengatakan kepada polisi bahwa suaminya merasa dipermalukan oleh perilaku putrinya dan melihatnya sebagai penghinaan terhadap "kehormatan keluarga".
Dalam percakapan antara ayah dan ibu korban pada malam pembunuhan, yang rekamannya diputar polisi, terungkap bahwa ibu Henriette, Aliham, bertanya kepada suaminya mengapa dia membiarkan korban pergi ke pesta wisuda.
”Lupakan dia, biarkan dia pergi ke neraka,” kata Sami. ”Dia sampah. Kita perlu mencambuknya, membuangnya seperti anjing dan melihat bagaimana dia melakukannya. Dia sudah pergi, saya muak dengan dia dan kamu,” lanjut Sami dalam rekaman tersebut yang dikutip Haaretz, Selasa (18/7/2017).
(mas)