Israel Ingin Jatuhkan Bom Atom saat Perang Enam Hari 1967
A
A
A
WASHINGTON - Israel ternyata ingin menjatuhkan bom atom sebagai upaya terakhir saat Perang Enam Hari tahun 1967. Hal itu terungkap dari arsip dokumen sejarah dan kesaksian yang dirilis kelompok think tank di Washington DC.
Dokumen yang dirilis The Woodrow Wilson International Center for Scholars tersebut mencakup serangkaian wawancara yang dilakukan dengan mendiang Jenderal Yitzhal Yaakov pada tahun 1999 oleh penulis dan sejarawan Avner Cohen.
Sekitar 50 tahun yang lalu, pada bulan Juni 1967, Israel memerangi Mesir dan empat negara Arab lainnya—Suriah, Yordania, Irak dan Libanon. Jenderal Yaakov adalah penghubung utama antara industri pertahanan militer dengan pihak pertahanan Israel.
Bom atom, kata Yaakov kala itu, akan digunakan sebagai demonstrasi kekuatan. “Begini, sangat alami,” kata Yaakov dalam salah satu wawancara.
”Anda punya musuh, dan dia bilang akan melempar Anda ke laut. Anda percaya dia. Dia bilang dia akan melempar senjata kimia kepada Anda. Apa yang Anda cari? Apa saja yang bisa Anda lakukan untuk menghentikannya. Bagaimana Anda bisa menghentikannya? Anda menakutinya. Jika Anda memiliki sesuatu, Anda bisa menakutinya, Anda membuatnya takut,” lanjut Yaakov.
Rencananya, penggunaan bom atom itu akan diberi nama kode “Operation Shimshon”. Operasi ini sedianya akan melibatkan tim pasukan khusus dari unit elite Sayeret Matkal. Unit inilah yang akan menjatuhkan sebuah bom atom di atas sebuah gunung di semenanjung Sinai, sekitar 20 kilometer dari sebuah pangkalan militer Mesir di Abu Ageila.
Situs ini dipilih karena jauh dari pusat populasi utama dan dimaksudkan untuk mengirim pesan ketimbang menimbulkan korban jiwa. Yaakov dan timnya melakukan penerbangan pengintaian tapi harus kembali setelah hampir dicegat oleh pesawat jet Mesir.
”Kami sangat dekat,” kata Yaakov kepada Cohen. ”Kami melihat gunung itu, dan kami melihat ada tempat untuk bersembunyi di sana, di beberapa ngarai.”
Jika Israel terus berlanjut, itu akan menjadi senjata nuklir ketiga yang dugunakan pada masa perang. Dua senjata nuklir berupa bom atom telah dijatuhkan tentara Amerika Serikat pada Perang Dunia II, yakni di Kota Hiroshima dan Nagasaki, Jepang.
Jika Israel nekat dengan rencana itu, maka juga akan bertentangan dengan Perjanjian Pelarangan Uji Parsial 1963 yang ditandatangani oleh kekuatan dunia. Perjanjian ini melarang semua uji coba nuklir kecuali yang dilakukan di bawah tanah.
Untungnya, rencana yang disusun pada malam perang Arab-Israel, tidak pernah dilaksanakan. Alasan dibatalkannya rencana penjatuhan bom atom itu karena konflik dianggap tidak menimbulkan ancaman eksistensial terhadap Israel.
Dokumen lainnya termasuk wawancara dengan Kepala Staf Angkatan Bersenjata Israel Zvi Tzur, juga menunjuk peran Yaakov dalam masalah ini. Tzur mengatakan keputusan untuk menggunakan senjata tersebut pada akhirnya akan merugikan Israel.
”Kami akan menghancurkan semua yang kami miliki. Kami pasti terluka parah. Tidak ada yang percaya pada hal yang kita katakan,” katanya di Yitzhak Rabin Memorial Center pada tahun 2004.
Beberapa saat setelah berbicara dengan Cohen, Yaakov ditangkap di Israel dan dikenai tuduhan spionase karena untuk menceritakan kisah tersebut dan diberi hukuman dua tahun penjara. Dia meninggal pada tahun 2013.
Kesaksian Yaakov menunjukkan bahwa Israel memang memiliki kemampuan senjata nuklir sejak 50 tahun yang lalu. Namun negara itu tidak pernah mengonfirmasi atau menyangkal bahwa mereka memiliki senjata nuklir.
Mordechai Vanunu, seorang teknisi di pembangkit listrik tenaga nuklir Dimona di Gurun Negev juga pernah dipenjara selama 18 tahun pada tahun 1980-an karena membocorkan rincian program senjata nuklir Israel kepada sebuah surat kabar Inggris.
Meski demikian, peneliti lain meragukan cerita Yaakov, dengan alasan kurangnya bukti faktual bahwa rencana penjatuhan bom atom itu memang dirancang.
”Saya juga mewawancarai Yitzhak Yaakov dan saya tidak yakin bahwa ceritanya ‘menampung air’. Puluhan ribu, jika tidak ratusan ribu, dokumen rahasia dari Perang Enam Hari telah dirilis,” ujar peneliti Michael Oren kepada AP, yang dikutip Selasa (6/6/2017). ”(Namun) tidak ada satu pun yang mendukung versi Avner Cohen. Jika ada sesuatu, kami akan menemukan bukti tambahan.”
Dokumen yang dirilis The Woodrow Wilson International Center for Scholars tersebut mencakup serangkaian wawancara yang dilakukan dengan mendiang Jenderal Yitzhal Yaakov pada tahun 1999 oleh penulis dan sejarawan Avner Cohen.
Sekitar 50 tahun yang lalu, pada bulan Juni 1967, Israel memerangi Mesir dan empat negara Arab lainnya—Suriah, Yordania, Irak dan Libanon. Jenderal Yaakov adalah penghubung utama antara industri pertahanan militer dengan pihak pertahanan Israel.
Bom atom, kata Yaakov kala itu, akan digunakan sebagai demonstrasi kekuatan. “Begini, sangat alami,” kata Yaakov dalam salah satu wawancara.
”Anda punya musuh, dan dia bilang akan melempar Anda ke laut. Anda percaya dia. Dia bilang dia akan melempar senjata kimia kepada Anda. Apa yang Anda cari? Apa saja yang bisa Anda lakukan untuk menghentikannya. Bagaimana Anda bisa menghentikannya? Anda menakutinya. Jika Anda memiliki sesuatu, Anda bisa menakutinya, Anda membuatnya takut,” lanjut Yaakov.
Rencananya, penggunaan bom atom itu akan diberi nama kode “Operation Shimshon”. Operasi ini sedianya akan melibatkan tim pasukan khusus dari unit elite Sayeret Matkal. Unit inilah yang akan menjatuhkan sebuah bom atom di atas sebuah gunung di semenanjung Sinai, sekitar 20 kilometer dari sebuah pangkalan militer Mesir di Abu Ageila.
Situs ini dipilih karena jauh dari pusat populasi utama dan dimaksudkan untuk mengirim pesan ketimbang menimbulkan korban jiwa. Yaakov dan timnya melakukan penerbangan pengintaian tapi harus kembali setelah hampir dicegat oleh pesawat jet Mesir.
”Kami sangat dekat,” kata Yaakov kepada Cohen. ”Kami melihat gunung itu, dan kami melihat ada tempat untuk bersembunyi di sana, di beberapa ngarai.”
Jika Israel terus berlanjut, itu akan menjadi senjata nuklir ketiga yang dugunakan pada masa perang. Dua senjata nuklir berupa bom atom telah dijatuhkan tentara Amerika Serikat pada Perang Dunia II, yakni di Kota Hiroshima dan Nagasaki, Jepang.
Jika Israel nekat dengan rencana itu, maka juga akan bertentangan dengan Perjanjian Pelarangan Uji Parsial 1963 yang ditandatangani oleh kekuatan dunia. Perjanjian ini melarang semua uji coba nuklir kecuali yang dilakukan di bawah tanah.
Untungnya, rencana yang disusun pada malam perang Arab-Israel, tidak pernah dilaksanakan. Alasan dibatalkannya rencana penjatuhan bom atom itu karena konflik dianggap tidak menimbulkan ancaman eksistensial terhadap Israel.
Dokumen lainnya termasuk wawancara dengan Kepala Staf Angkatan Bersenjata Israel Zvi Tzur, juga menunjuk peran Yaakov dalam masalah ini. Tzur mengatakan keputusan untuk menggunakan senjata tersebut pada akhirnya akan merugikan Israel.
”Kami akan menghancurkan semua yang kami miliki. Kami pasti terluka parah. Tidak ada yang percaya pada hal yang kita katakan,” katanya di Yitzhak Rabin Memorial Center pada tahun 2004.
Beberapa saat setelah berbicara dengan Cohen, Yaakov ditangkap di Israel dan dikenai tuduhan spionase karena untuk menceritakan kisah tersebut dan diberi hukuman dua tahun penjara. Dia meninggal pada tahun 2013.
Kesaksian Yaakov menunjukkan bahwa Israel memang memiliki kemampuan senjata nuklir sejak 50 tahun yang lalu. Namun negara itu tidak pernah mengonfirmasi atau menyangkal bahwa mereka memiliki senjata nuklir.
Mordechai Vanunu, seorang teknisi di pembangkit listrik tenaga nuklir Dimona di Gurun Negev juga pernah dipenjara selama 18 tahun pada tahun 1980-an karena membocorkan rincian program senjata nuklir Israel kepada sebuah surat kabar Inggris.
Meski demikian, peneliti lain meragukan cerita Yaakov, dengan alasan kurangnya bukti faktual bahwa rencana penjatuhan bom atom itu memang dirancang.
”Saya juga mewawancarai Yitzhak Yaakov dan saya tidak yakin bahwa ceritanya ‘menampung air’. Puluhan ribu, jika tidak ratusan ribu, dokumen rahasia dari Perang Enam Hari telah dirilis,” ujar peneliti Michael Oren kepada AP, yang dikutip Selasa (6/6/2017). ”(Namun) tidak ada satu pun yang mendukung versi Avner Cohen. Jika ada sesuatu, kami akan menemukan bukti tambahan.”
(mas)