Anak Migran Hadapi Kekerasan di Libya

Rabu, 01 Maret 2017 - 22:45 WIB
Anak Migran Hadapi Kekerasan...
Anak Migran Hadapi Kekerasan di Libya
A A A
LONDON - Perempuan dan anak-anak yang mengungsi ke Eropa untuk menghindari konflik dan kemiskinan di Afrika mengalami pemukulan, pemerkosaan, dan kelaparan di Libya. Dana Darurat Anak Internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNICEF) mengungkapkan laporan itu kemarin.

Laut Mediterania yang terbentang antara Libya dan Italia menjadi jalur perlintasan utama bagi para pencari suaka dan migran yang ingin mencari kehidupan lebih baik di Eropa. Jalur tersebut digunakan karena jalur laut dari Turki telah ditutup bagi para pengungsi. Ada seperempat juta migran di Libya hingga September lalu.

Sebagian besar mereka tinggal di pusat-pusat penahanan yang kumuh dan rawan penyakit yang oleh UNICEF disebut sama seperti kamp kerja paksa dan penjara sementara. Beberapa kelompok bersenjata secara efektif mengontrol pusat-pusat penahanan resmi bagi para migran tersebut, saat konflik politik bergejolak di Libya.

”Grup-grup bersenjata juga mengelola pusat penahanan mereka sendiri, bersaing dan bekerja sama dengan geng-geng kriminal dan para penyelundup,” ungkap laporan PBB, dikutip kantor berita Reuters. ”Bagi ribuan perempuan dan anak-anak migran yang dipenjara itu, pusat-pusat penahanan itu merupakan lubang neraka tempat orang ditahan selama berbulan-bulan,” papar laporan UNICEF.

Dalam wawancara dengan lebih dari 100 perempuan dan anak, hampir setengah dari mereka mengaku diperkosa atau mengalami pelecehan beberapa kali selama perjalanan mereka. Sebagian besar anak mengaku dipukuli orang dewasa sepanjang perjalanan dan perempuan mengalami lebih banyak pelecehan dibandingkan pria. ”Di pusat-pusat penahanan itu, mereka memperlakukan kami seperti ayam.

"Mereka memukuli kami. Mereka tidak memberi kami makanan dan minuman yang layak,” ujar Jon, 14, anak migran yang pergi sendirian dari Nigeria untuk menghindari kelompok militan Boko Haram. ”Sangat banyak orang mati di sini, meninggal akibat penyakit, membeku hingga tewas,” ujar Jon lagi. UNICEF melaporkan, perempuan dan anak-anak migran yang tak ditemani kerabatnya tergantung pada para penyelundup manusia untuk menuju Eropa.

Mereka sangat rentan terhadap eksploitasi, perdagangan manusia, dan kekerasan, termasuk prostitusi dan pemerkosaan. Para penyelundup biasanya meminta ribuan dolar dari para migran untuk perjalanan berbahaya melintasi gurun sebelum membawa mereka naik perahu dengan peralatan seadanya untuk perjalanan melintasi Laut Mediterania.

”Rute itu sebagian besar dikontrol para penyelundup, para pedagang manusia, serta orang yang mengambil keuntungan dari anak-anak dan perempuan yang putus asa yang hanya ingin mengungsi atau mengharapkan kehidupan lebih baik,” kata Kepala Operasi Pengungsi UNICEF di Eropa Afshan Khan.

Setelah berhasil menutup jalur laut antara Turki dan Yunani bagi para migran tahun lalu, Uni Eropa (UE) mencari cara menghalangi para migran dari Libya. Bulan ini para pemimpin Eropa menawarkan uang dan bantuan lain pada Libya agar berupaya mengurangi jumlah migran yang melintasi Mediterania. Berbagai kelompok bantuan mengkritik langkah UE tersebut.

Menurut mereka, tindakan UE membuat para migran makin menghadapi lebih banyak risiko dan kekerasan di Libya. Menurut laporan badan migrasi PBB tahun lalu, rekor 181.000 migran melintas antara Libya dan Italia. Lebih dari 4.500 orang mati tenggelam dan sedikitnya 700 korban tewas itu anak-anak.

”Anak-anak tak boleh dipaksa mempertaruhkan nyawa di tangan para penyelundup karena di sana tak ada alternatif lain,” papar Khan. ”Kita perlu mengatasi masalah migran secara global dan bekerja sama menuju sistem yang aman dan legal untuk anak-anak itu bergerak, baik sebagai pengungsi maupun migran,” tutur Khan. Penjaga pantai Italia pekan lalu menyatakan hampir 2.500 migran diselamatkan dalam tiga hari terakhir.
(esn)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9149 seconds (0.1#10.140)