Aksi Protes Marak, Negara Bagian AS Usulkan UU Anti Demonstrasi
A
A
A
WASHINGTON - Negara-negara bagian Amerika Serikat (AS) yang dikuasai Republik memperkenalkan sejumlah undang-undang anti protes. Undang-undang ini muncul setelah maraknya aksi protes yang ditujukan kepada Presiden Donald Trump, dimana jutaan orang AS turun ke jalan.
Seperti dikutip dari Independent, Minggu (5/2/2017), beberapa undang-undang terdaftar sebelum pelantikan Trump sebagai respon aksi protes massa yang dilakukan oleh kelompok Black Lives Matter, gerakan yang memprotes ketidakadilan terhadap kulit hitam, dan Standing Rock.
Namun, sejumlah undang-undang bermunculan setelah protes massa terhadap pemerintah Trump, termasuk Women's March, yang mungkin demonstrasi terbesar dalam sejarah AS. Setidaknya ada 10 undang-undang baru yang bertujuan untuk mengekang hak untuk berdemonstrasi telah diajukan oleh badan legislatif negara dalam beberapa bulan terakhir.
Di North Dakota, legislator baru-baru ini memperkenalkan RUU yang memungkinkan pengendara untuk menjalankan dan membunuh pengunjuk rasa asalkan pengemudi tidak "berniat" untuk membunuh mereka. North Dakota sendiri telah dilanda protes dalam sebulan terakhir terkait akses pipa.
"Jika Anda berada di jalan raya, ini tidak akan menjadi masalah. Para pengendara sah, sesuai hukum menggunakan hak mereka untuk berkendara di jalan," kata legislator Keith Kempenich.
Minnesota dan Iowa juga telah memperkenalkan undang-undang yang ditargetkan pada pengunjuk rasa yang mengganggu lalu lintas. Sedangkan minggu depan, senator asal North Carolina akan mengusulkan RUU untuk mempidana demonstran jika mengancam, mengintimidasi, atau menyerang pejabat.
Sejumlah organisasi sipil di seluruh AS menyatakan keprihatinannya atas kemunculan sejumlah undang-undang baru ini. Undang-undang tersebut dinilai telah melanggar Amandemen Pertama, yang menjamin warga negara AS berbicara, serta hak untuk berkumpul dengan damai.
"Saya telah memantau undang-undang kebebasan berbicara selama sekitar belasan tahun, dan saya belum pernah melihat undang-undang anti-protes di negara-negara dekat sebesar yang kita lihat tahun ini," kata anggota senior dari American Civil Liberties Union.
Belum diketahui posisi Presiden Trump terkait hak untuk melakukan demonstrasi. Namun, Trump telah menjelaskan bahwa aksi protes terhadapnya di Washington pada hari pelantikannya sebagai sesuatu yang tidak adil. Ia baru-baru ini meluapkan kemarahannya di Twitter setelah tokoh sayap kanan Milo Yanopolous terpaksa membatalkan pidato di UC Berkeley ketika aksi protes berubah menjadi kekerasan.
Seperti dikutip dari Independent, Minggu (5/2/2017), beberapa undang-undang terdaftar sebelum pelantikan Trump sebagai respon aksi protes massa yang dilakukan oleh kelompok Black Lives Matter, gerakan yang memprotes ketidakadilan terhadap kulit hitam, dan Standing Rock.
Namun, sejumlah undang-undang bermunculan setelah protes massa terhadap pemerintah Trump, termasuk Women's March, yang mungkin demonstrasi terbesar dalam sejarah AS. Setidaknya ada 10 undang-undang baru yang bertujuan untuk mengekang hak untuk berdemonstrasi telah diajukan oleh badan legislatif negara dalam beberapa bulan terakhir.
Di North Dakota, legislator baru-baru ini memperkenalkan RUU yang memungkinkan pengendara untuk menjalankan dan membunuh pengunjuk rasa asalkan pengemudi tidak "berniat" untuk membunuh mereka. North Dakota sendiri telah dilanda protes dalam sebulan terakhir terkait akses pipa.
"Jika Anda berada di jalan raya, ini tidak akan menjadi masalah. Para pengendara sah, sesuai hukum menggunakan hak mereka untuk berkendara di jalan," kata legislator Keith Kempenich.
Minnesota dan Iowa juga telah memperkenalkan undang-undang yang ditargetkan pada pengunjuk rasa yang mengganggu lalu lintas. Sedangkan minggu depan, senator asal North Carolina akan mengusulkan RUU untuk mempidana demonstran jika mengancam, mengintimidasi, atau menyerang pejabat.
Sejumlah organisasi sipil di seluruh AS menyatakan keprihatinannya atas kemunculan sejumlah undang-undang baru ini. Undang-undang tersebut dinilai telah melanggar Amandemen Pertama, yang menjamin warga negara AS berbicara, serta hak untuk berkumpul dengan damai.
"Saya telah memantau undang-undang kebebasan berbicara selama sekitar belasan tahun, dan saya belum pernah melihat undang-undang anti-protes di negara-negara dekat sebesar yang kita lihat tahun ini," kata anggota senior dari American Civil Liberties Union.
Belum diketahui posisi Presiden Trump terkait hak untuk melakukan demonstrasi. Namun, Trump telah menjelaskan bahwa aksi protes terhadapnya di Washington pada hari pelantikannya sebagai sesuatu yang tidak adil. Ia baru-baru ini meluapkan kemarahannya di Twitter setelah tokoh sayap kanan Milo Yanopolous terpaksa membatalkan pidato di UC Berkeley ketika aksi protes berubah menjadi kekerasan.
(ian)