Indonesia Didesak Atasi Ancaman Calon Teroris Perempuan
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah Indonesia didesak untuk mengatasi ancaman yang meningkat dari para calon teroris perempuan. Desakan muncul dari Institut Asia Tenggara untuk Analisis Kebijakan Konflik (IPAC).
Dalam laporannya, IPAC menyoroti para perempuan di Indonesia yang terpengaruh doktrin kelompok esktremis melalui media sosial. Menurut IPAC, para perempuan Indonesia yang dimaksud itu mayoritas dari kelompok buruh migran.
”Kebutuhan untuk tahu lebih banyak tentang wanita ekstrimis Indonesia tiba-tiba menjadi sangat penting,” bunyi laporan IPAC, seperti dikutip Guardian, Sabtu (4/2/2017).
Hingga 2009, lanjut laporan IPAC, para perempuan Indonesia yang terpengaruh doktrin kelompok ekstremis berupaya menjadi “jihadis maya”. Mereka berpura-pura menjadi lelaki dengan nama samaran pria saat kontak online.
Penggunaan media sosial secara produktif juga dianggap mendorong para perempuan yang terpengaruh doktrin kelompok ekstremis lebih aktif terlibat dalam chat di forum radikal. Mereka juga leluasa membaca propaganda ISIS, terpikat perjodohan ‘jihad’ internasional serta mengorganisir penggalangan dana dan dukungan logistik untuk kelompok ekstremis.
Aksi ekstremis perempuan di Indonesia menjadi sorotan setelah pada Desember lalu, pihak kepolisian menangkap dua tersangka perempuan yang hendak melakukan serangan bom, yakni Dian Yulia Novi dan Ika Puspitasari.
Dian, 27, dianggap menjadi sosok radikal online saat bekerja di Taiwan. Dia ditangkap karena merencanakan serangan bom di Istana Presiden di Jakarta. Sedangkan Ika ditangkap karena diduga berencana untuk melakukan serangan bom di pulau Bali.
Masih menurut laporan IPAC, para buruh migran Indonesia di luar negeri rawan terpengeruh ideologi ekstremis.
Direktur Migrant Care, Anis Hidayah, mengatakan buruh migran menjadi sasaran pengedar narkoba dan kelompok garis keras. Mereka berpotensi menjadi “korban fundamentalisme”.
”Ini sangat terbuka bagi ISIS untuk mendekati lingkaran buruh migran. Beberapa di Hong Kong dan Taiwan telah terkena dan kami memiliki indikasi bahwa ada yang lebih dari ini,” katanya.
Dalam laporannya, IPAC menyoroti para perempuan di Indonesia yang terpengaruh doktrin kelompok esktremis melalui media sosial. Menurut IPAC, para perempuan Indonesia yang dimaksud itu mayoritas dari kelompok buruh migran.
”Kebutuhan untuk tahu lebih banyak tentang wanita ekstrimis Indonesia tiba-tiba menjadi sangat penting,” bunyi laporan IPAC, seperti dikutip Guardian, Sabtu (4/2/2017).
Hingga 2009, lanjut laporan IPAC, para perempuan Indonesia yang terpengaruh doktrin kelompok ekstremis berupaya menjadi “jihadis maya”. Mereka berpura-pura menjadi lelaki dengan nama samaran pria saat kontak online.
Penggunaan media sosial secara produktif juga dianggap mendorong para perempuan yang terpengaruh doktrin kelompok ekstremis lebih aktif terlibat dalam chat di forum radikal. Mereka juga leluasa membaca propaganda ISIS, terpikat perjodohan ‘jihad’ internasional serta mengorganisir penggalangan dana dan dukungan logistik untuk kelompok ekstremis.
Aksi ekstremis perempuan di Indonesia menjadi sorotan setelah pada Desember lalu, pihak kepolisian menangkap dua tersangka perempuan yang hendak melakukan serangan bom, yakni Dian Yulia Novi dan Ika Puspitasari.
Dian, 27, dianggap menjadi sosok radikal online saat bekerja di Taiwan. Dia ditangkap karena merencanakan serangan bom di Istana Presiden di Jakarta. Sedangkan Ika ditangkap karena diduga berencana untuk melakukan serangan bom di pulau Bali.
Masih menurut laporan IPAC, para buruh migran Indonesia di luar negeri rawan terpengeruh ideologi ekstremis.
Direktur Migrant Care, Anis Hidayah, mengatakan buruh migran menjadi sasaran pengedar narkoba dan kelompok garis keras. Mereka berpotensi menjadi “korban fundamentalisme”.
”Ini sangat terbuka bagi ISIS untuk mendekati lingkaran buruh migran. Beberapa di Hong Kong dan Taiwan telah terkena dan kami memiliki indikasi bahwa ada yang lebih dari ini,” katanya.
(mas)