Besok Amerika Pilih Presiden Baru, Begini Reaksi Dunia
A
A
A
WASHINGTON - Rakyat Amerika Serikat (AS) akan memilih presiden baru pengganti Barack Obama pada Selasa (8/11/2016) waktu AS atau besok (9/11/2016) WIB.
Hillary Clinton dari Partai Demokrat dan Donald Trump dari Partai Republik merupakan kandidat presiden yang paling diunggulkan untuk memenangkan pemilihan presiden (Pilpres). Meski demikian, ada dua kandidat lain, yakni Gary Johnson dari Partai Libertarian dan Jill Stein dari Partai Hijau, yang ikut bersaing menuju kursi Gedung Putih.
Tak hanya jadi pesta demokrasi rakyat AS, Pilpres AS 2016 juga memicu reaksi sejumlah negara di dunia. Sebab, sosok presiden AS selanjutnya dianggap ikut menentukan nasib dunia, termasuk penyelesaian konflik di beberapa negara. Berikut reaksi sejumlah negara di dunia terkait Pilpres AS 2016.
Jerman
Kanselir Jerman Angela Merkel tidak secara resmi mendukung salah satu kandidat presiden AS, baik Hillary maupun Trump. Namun koran Merkur menuduh bahwa Merkel akan lebih berharap Hillary Clinton sebagai pemenang Pilpres AS. Media Jerman ini mencatat pernyataan terbaru Hillary Clinton, di mana dia memuji Merkel sebagai sosok “luar biasa dan pemimpin yang kuat”. Sebaliknya, Trump menduga Merkel adalah “sosok yang merusak Jerman”.
Media Jerman lainnya, Wetzlarer Neue Zeitung terang-terangan mendukung Hillary Clinton sebagai pemenang. ”Ini harus jelas bahwa Donald Trump, yang tanpa skor apa-apa tapi populis, harus dicegah dari menjadi orang yang paling berkuasa di dunia,” tulis media itu.
Rheinische Post juga mendukung Hillary Clinton sebagai pemenang Pilpres AS, karena diyakini mampu menavigasi krisis dunia. Media Tagesspiegel ikut menjagokan Hillary dengan memberikan catatan. ”Kemampuan Hillary Clinton seharusnya tidak membuat kesalahan,” tulis Tagesspiegel.
Menurut jajak pendapat N24, sebanyak 77 persen warga Jerman jika berkesempatan memilih, mereka akan memilih Hillary sebagai presiden AS ketimbang Donald Trump.
China
Sama seperti Jerman, China tidak mengeluarkan ada preferensi resmi untuk salah satu kandidat presiden AS. Namun pada akhir September Beijing mengecam Donald Trump atas pernyataan bahwa China harus menyerang Korea Utara “untuk memecahkan masalah” bagi AS.
Menurut wawancara yang dilakukan oleh GB Times, opini publik China terpecah terkait Pilpres AS. Beberapa pihak menganggap Donald Trump akan menjadi pilihan yang bijaksana karena Hillary Clinton ”terlalu bangga”. “Yang lain mengatakan bahwa kandidat Partai Demokrat harus menang karena dia lebih peduli tentang wanita dan anak-anak,” bunyi opini itu.
Tak sedikit warga China mengecam kampanye Pemilu AS dengan sebutan demokrasi di negara itu mengkilap tapi kosong di dalamnya. Shen Dinglim, seorang kolumnis untuk surat kabar pemerintah China, Global Times, merupakan salah satu penulis yang mengkritik Pilpres AS. ”Semakin banyak orang Amerika merasa malu tentang jenis demokrasi, dan Pemilu tahun ini,” tulis dia.
Di China juga ada jajak pendapat dari penelitian PEW, di mana 37 persen orang di China memiliki pandangan positif terhadap Hillary Clinton. Sedangkan terhadap Trump sekitar 22 persen.
Rusia
Federasi Rusia menerima banyak perhatian selama kampanye Pemilu AS, setelah Washington secara resmi menuduh Moskow melakukan peretasan terhadap Amerika untuk menggangu Pemilu. Kremlin telah menyebut tuduhan itu ”omong kosong”.
Dalam sebuah wawancara dengan Channel2, Perdana Menteri Rusia Dmitry Medvedev mengatakan bahwa itu siapa pun tidak mungkin dapat mempengaruhi hasil Pemilu di Amerika. "Saya tidak percaya perihal kemungkinan orang dapat mempengaruhi hasil Pemilu di Amerika Serikat, karena hasilnya tergantung pada orang-orang Amerika,” ujarnya.
Pada bulan Oktober, Presiden Rusia Vladimir Putin membantah tuduhan Washington terhadap Kremlin. Menurut Putin, Pemilu AS yang diributkan adalah masalah internal AS sendiri.
Sementara itu, jajak pendapat terbaru oleh Levada Center di Rusia, menunjukkan 91 persen orang Rusia tertarik pada Pemilu AS. Ketika ditanya siapa yang akan menjadi Presiden AS yang paling disukai Rusia, 38 persen menyebut Donald Trump dan hanya sembilan persen memilih Hillary Clinton.
Korea Utara
Korea Utara (Korut) tidak mengeluarkan pernyataan resmi perihal dukungan untuk salah satu kandidat Presiden AS. Menurut seorang kolumnis untuk media Pemerintah Korut, DPRK Today, Donald Trump menjadi kandidat yang diimpikan oleh Republik Demokratik Rakyat Korea (DPRK), atau setidaknya kepemimpinannya.
”Ternyata Trump tidak bicara kasar, gila, atau kandidat bodoh seperti yang mereka katakan tentang dia, tapi sebenarnya dia adalah politisi yang bijak dan calon presiden yang terlihat,” tulis kolumnis Han Yong Muk di DPRK Today seperti dikutip oleh Reuters.
Israel
Hubungan antara Washington dan sekutu utamanya Israel, telah rumit selama beberapa tahun terakhir. Salah satu penyebabnya, AS menentang ekspansi pemukiman Israel di Tepi Barat. Hubungan juga terlihat mengalami kemunduran setelah Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyebut perjanjian nuklir Iran dengan enam negara kekuatan dunia termasuk AS sebagai perjanjian yang sangat buruk.
Netanyahu sendiri telah bertemu Hillary Clinton dan Trump di sela-sela sidang Majelis Umum PBB pada bulan September. Namun, pemimpin Israel itu tidak memberikan pernyataan dukungan untuk salah satu kandidat AS.
Tapi, menurut survei terbaru oleh Institut Demokrasi Israel dan Tel Aviv University, mayoritas (54 persen) warga Israel berpikir Hillary Clinton akan menjadi pemenang Pilpres AS.
Iran
Alih-alih memberikan dukungan unuk salah satu kandidat presiden AS. Para pemimpin Iran justru mencemooh gaya kampanye para kandidat presiden AS yang mengumbar kata-kata kotor.
”Anda melihat debat presiden, bagaimana mereka berbicara, bagaimana mereka menuduh dan (saling) mengejek,” kata Presiden Iran Hassan Rouhani.
Selama kunjungannya ke Washington pada bulan September, Rouhani ditanya siapa yang dia harapkan untuk menduduki kursi Gedung Putih pengganti Presiden Obama. Presiden Iran itu menjawab;”Saya katakan, saya haruskah (memilih) yang lebih buruk lebih buruk atau lebih buruk, lebih buruk?"
Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, juga menyindir Pemilu AS sebagai “realitas bencana” di negeri Paman Sam. ”Menginjak-injak nilai-nilai kemanusiaan dan hak asasi manusia, diskriminasi ras dan rasisme adalah kenyataan di dalam masyarakat Amerika,” kata Khemenei.
Hillary Clinton dari Partai Demokrat dan Donald Trump dari Partai Republik merupakan kandidat presiden yang paling diunggulkan untuk memenangkan pemilihan presiden (Pilpres). Meski demikian, ada dua kandidat lain, yakni Gary Johnson dari Partai Libertarian dan Jill Stein dari Partai Hijau, yang ikut bersaing menuju kursi Gedung Putih.
Tak hanya jadi pesta demokrasi rakyat AS, Pilpres AS 2016 juga memicu reaksi sejumlah negara di dunia. Sebab, sosok presiden AS selanjutnya dianggap ikut menentukan nasib dunia, termasuk penyelesaian konflik di beberapa negara. Berikut reaksi sejumlah negara di dunia terkait Pilpres AS 2016.
Jerman
Kanselir Jerman Angela Merkel tidak secara resmi mendukung salah satu kandidat presiden AS, baik Hillary maupun Trump. Namun koran Merkur menuduh bahwa Merkel akan lebih berharap Hillary Clinton sebagai pemenang Pilpres AS. Media Jerman ini mencatat pernyataan terbaru Hillary Clinton, di mana dia memuji Merkel sebagai sosok “luar biasa dan pemimpin yang kuat”. Sebaliknya, Trump menduga Merkel adalah “sosok yang merusak Jerman”.
Media Jerman lainnya, Wetzlarer Neue Zeitung terang-terangan mendukung Hillary Clinton sebagai pemenang. ”Ini harus jelas bahwa Donald Trump, yang tanpa skor apa-apa tapi populis, harus dicegah dari menjadi orang yang paling berkuasa di dunia,” tulis media itu.
Rheinische Post juga mendukung Hillary Clinton sebagai pemenang Pilpres AS, karena diyakini mampu menavigasi krisis dunia. Media Tagesspiegel ikut menjagokan Hillary dengan memberikan catatan. ”Kemampuan Hillary Clinton seharusnya tidak membuat kesalahan,” tulis Tagesspiegel.
Menurut jajak pendapat N24, sebanyak 77 persen warga Jerman jika berkesempatan memilih, mereka akan memilih Hillary sebagai presiden AS ketimbang Donald Trump.
China
Sama seperti Jerman, China tidak mengeluarkan ada preferensi resmi untuk salah satu kandidat presiden AS. Namun pada akhir September Beijing mengecam Donald Trump atas pernyataan bahwa China harus menyerang Korea Utara “untuk memecahkan masalah” bagi AS.
Menurut wawancara yang dilakukan oleh GB Times, opini publik China terpecah terkait Pilpres AS. Beberapa pihak menganggap Donald Trump akan menjadi pilihan yang bijaksana karena Hillary Clinton ”terlalu bangga”. “Yang lain mengatakan bahwa kandidat Partai Demokrat harus menang karena dia lebih peduli tentang wanita dan anak-anak,” bunyi opini itu.
Tak sedikit warga China mengecam kampanye Pemilu AS dengan sebutan demokrasi di negara itu mengkilap tapi kosong di dalamnya. Shen Dinglim, seorang kolumnis untuk surat kabar pemerintah China, Global Times, merupakan salah satu penulis yang mengkritik Pilpres AS. ”Semakin banyak orang Amerika merasa malu tentang jenis demokrasi, dan Pemilu tahun ini,” tulis dia.
Di China juga ada jajak pendapat dari penelitian PEW, di mana 37 persen orang di China memiliki pandangan positif terhadap Hillary Clinton. Sedangkan terhadap Trump sekitar 22 persen.
Rusia
Federasi Rusia menerima banyak perhatian selama kampanye Pemilu AS, setelah Washington secara resmi menuduh Moskow melakukan peretasan terhadap Amerika untuk menggangu Pemilu. Kremlin telah menyebut tuduhan itu ”omong kosong”.
Dalam sebuah wawancara dengan Channel2, Perdana Menteri Rusia Dmitry Medvedev mengatakan bahwa itu siapa pun tidak mungkin dapat mempengaruhi hasil Pemilu di Amerika. "Saya tidak percaya perihal kemungkinan orang dapat mempengaruhi hasil Pemilu di Amerika Serikat, karena hasilnya tergantung pada orang-orang Amerika,” ujarnya.
Pada bulan Oktober, Presiden Rusia Vladimir Putin membantah tuduhan Washington terhadap Kremlin. Menurut Putin, Pemilu AS yang diributkan adalah masalah internal AS sendiri.
Sementara itu, jajak pendapat terbaru oleh Levada Center di Rusia, menunjukkan 91 persen orang Rusia tertarik pada Pemilu AS. Ketika ditanya siapa yang akan menjadi Presiden AS yang paling disukai Rusia, 38 persen menyebut Donald Trump dan hanya sembilan persen memilih Hillary Clinton.
Korea Utara
Korea Utara (Korut) tidak mengeluarkan pernyataan resmi perihal dukungan untuk salah satu kandidat Presiden AS. Menurut seorang kolumnis untuk media Pemerintah Korut, DPRK Today, Donald Trump menjadi kandidat yang diimpikan oleh Republik Demokratik Rakyat Korea (DPRK), atau setidaknya kepemimpinannya.
”Ternyata Trump tidak bicara kasar, gila, atau kandidat bodoh seperti yang mereka katakan tentang dia, tapi sebenarnya dia adalah politisi yang bijak dan calon presiden yang terlihat,” tulis kolumnis Han Yong Muk di DPRK Today seperti dikutip oleh Reuters.
Israel
Hubungan antara Washington dan sekutu utamanya Israel, telah rumit selama beberapa tahun terakhir. Salah satu penyebabnya, AS menentang ekspansi pemukiman Israel di Tepi Barat. Hubungan juga terlihat mengalami kemunduran setelah Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyebut perjanjian nuklir Iran dengan enam negara kekuatan dunia termasuk AS sebagai perjanjian yang sangat buruk.
Netanyahu sendiri telah bertemu Hillary Clinton dan Trump di sela-sela sidang Majelis Umum PBB pada bulan September. Namun, pemimpin Israel itu tidak memberikan pernyataan dukungan untuk salah satu kandidat AS.
Tapi, menurut survei terbaru oleh Institut Demokrasi Israel dan Tel Aviv University, mayoritas (54 persen) warga Israel berpikir Hillary Clinton akan menjadi pemenang Pilpres AS.
Iran
Alih-alih memberikan dukungan unuk salah satu kandidat presiden AS. Para pemimpin Iran justru mencemooh gaya kampanye para kandidat presiden AS yang mengumbar kata-kata kotor.
”Anda melihat debat presiden, bagaimana mereka berbicara, bagaimana mereka menuduh dan (saling) mengejek,” kata Presiden Iran Hassan Rouhani.
Selama kunjungannya ke Washington pada bulan September, Rouhani ditanya siapa yang dia harapkan untuk menduduki kursi Gedung Putih pengganti Presiden Obama. Presiden Iran itu menjawab;”Saya katakan, saya haruskah (memilih) yang lebih buruk lebih buruk atau lebih buruk, lebih buruk?"
Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, juga menyindir Pemilu AS sebagai “realitas bencana” di negeri Paman Sam. ”Menginjak-injak nilai-nilai kemanusiaan dan hak asasi manusia, diskriminasi ras dan rasisme adalah kenyataan di dalam masyarakat Amerika,” kata Khemenei.
(mas)