Pilu Wanita Korut, Tertindas atau Membelot dengan Risiko Jadi Budak Seks

Jum'at, 04 November 2016 - 00:32 WIB
Pilu Wanita Korut, Tertindas...
Pilu Wanita Korut, Tertindas atau Membelot dengan Risiko Jadi Budak Seks
A A A
HONG KONG - Pembelot terkenal Korea Utara (Korut), Hyeonseo Lee, menceritakan dilema yang dihadapi para perempuan di negara asalnya. Menurutnya, ada pilihan untuk bertahan hidup dengan kemelaratan dan penindasan di Korut atau melarikan diri dengan risiko dijual sebagai budak seks.

Hyeonseo Lee bukanlah pembelot biasa. Dia seorang putri pejabat militer Korut. Dia tenar dengan kisahnya menjadi pembelot yang memiliki tujuh nama yang sempat ketakutan karena diburu aparat rezim Pyongyang.

Hampir 20 tahun dia telah menjadi pembelot yang vokal perihal realitas kehidupan di bawah rezim totaliter Korut. Penderitaannya sebagai pembelot Korut sudah dia kisahkan dalam memoar berjudul “The Girl with Seven Names” atau “Gadis dengan Tujuh Nama” yang dipublikasikan Juli lalu.

Sekarang dia berkampanye untuk perlindungan bagi warga Korut yang berhasil melarikan diri, terutama kaum perempuan. Menurutnya, banyak pembelot perempuan yang ditangkap di China dan dijual menjadi pelacur atau berakhir dalam pernikahan paksa.

”Semua, kecuali beberapa yang beruntung akan menjalani sisa hidup mereka dalam kesengsaraan,” katanya kepada AFP. ”Mereka akan berulang kali diperkosa hari demi hari dengan pasokan pelanggan tak berujung yang memperkaya penculik mereka,” ujarnya yang dikutip Jumat (4/11/2016).

Pembelot yang melarikan diri dari Korut tahun 1998 itu telah meluncurkan sebuah LSM baru, “North Star NK” yang memiliki agen di Asia Tenggara dan China untuk membantu mereka yang diperdagangkan untuk seks ketika jadi pembelot.

“Mereka begitu malu dan rusak, mereka tidak ingin berbicara, jadi saya memutuskan bahwa saya harus mencoba untuk menolong,” ujar Lee.

Sungai Tumen dan Yalu merupakan jalur perbatasan Korut dengan China. Di beberapa bagian, sungai itu dapat dilayari dan saat musim dingin semuanya membeku. Saat sungai membeku itulah, kawasan itu jadi jalur yang mudah untuk membelot.

Tidak ada suaka setelah mereka mencapai negara lain, terutama China. Para pembelot dianggap sebagai migran ilegal dan menghadapi deportasi jika tertangkap dan kemudian menjalani hukuman berat di Korut.

Menurut Lee, para wanita berada dalam posisi sangat rentan. Mereka memiliki sedikit pilihan selain mempercayai broker penyelundup.

”Wanita dan gadis Korut menjalani tantangan kawin paksa, dan pelecehan seksual di China sebagai persyaratan de facto untuk melarikan diri ke negara ketiga,” ujar Phil Robertson, Wakil Direktur Human Rights Watch di Asia.

Lee sendiri nyaris jadi korban perbudakan seksual ketika menyeberang ke China. Dia semula diberitahu orang yang membantunya dalam pembelotan bahwa dia sedang dilatih untuk bekerja di salon rambut. Tetapi, Lee menemukan dirinya berada di rumah bordil. Beruntung, dia bisa melarikan diri.

Lee menceritakan salah satu perempuan pembelot Korut yang hidup sengara di China. ”Salah satu wanita diperdagangkan. Saya tahu dia dipukuli oleh suaminya dan keluarganya. Untuk mencegah dia melarikan diri, mereka merantai dirinya di dalam gudang ketika mereka tidak mengawasinya,” ujar Lee.

”Beberapa wanita Korut yang diperdagangkan melakukan bunuh diri, sementara yang lain memegang secercah harapan bahwa mereka akhirnya akan melarikan diri. Hampir tidak satupun dari mereka yang berhasil,” katanya.
(mas)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1298 seconds (0.1#10.140)