Murjasa, Mantan TKI yang Sukses Jadi Pengusaha di Saudi
A
A
A
RIYADH - Murjasa Solly, itulah nama lengkap pria kelahiran Malang 54 tahun silam tersebut. Pria berperawakan gempal tersebut adalah satu dari segelintir Warga Negara Indonesia (WNI) yang sukses menjadi pengusaha di Arab Saudi.
Ayah empat anak itu adalah pemilik dari Warung Pojok, sebuah restoran makanan Indonesia yang berlokasi di Hay Wuroot, Distrik Ulaya, Riyadh, Arab Saudi. Dia juga memiliki sebuah toko produk-produk Indonesia yang berlokasi tepat di sebelah restoran miliknya.
Sebelum menjadi pengusaha seperti sekarang, Murjasa mengaku sempat menjadi seorang Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Saudi. Dia pertama kali datang ke Saudi pada tahun 1984 lalu, dan bekerja di sebuah pabrik yang memproduksi baterai. Tiga tahun lamanya Murjasa bekerja di pabrik tersebut, sebelum akhirnya dia pulang ke tanah air, atau tepatnya pada awal tahun 1987.
Pada akhir tahun 1987, dia memutuskan untuk kembali ke Saudi. Namun, kali ini bukan sebagai TKI, melainkan untuk membuka usaha di Negeri kaya minyak tersebut. Berbekal pengalaman dan perkenalan dengan beberapa warga Saudi saat masih menjadi TKI, Murjasa akhirnya berkolaborasi dengan warga setempat dan membuka sebuah toko.
Lima tahun kemudian, pria yang kerap disapa Abu Ibrahim ini akhirnya memutuskan untuk membuka Warung Pojok, dengan menu andalannya pecel lele, yang bertahan hingga saat ini. "Pertama kali saya buka di Arruba, di dekat pusat kota. Setahun kemudian saya pindah ke sini," ujarnya kala ditemui Sindonews di Riyadh pada Sabtu (5/9/2015).
Membuka usaha di Saudi, lanjut Murjasa, tidaklah mudah. Di Saudi, orang asing tidak boleh mendaftarkan namanya sebagai pemilik usaha. Karenanya, ia pun harus "bekerjasama" dengan warga Saudi untuk bisa mendapatkan izin membuka usaha di negara tersebut.
Dia juga mengaku usahanya tidak selalu berjalan mulus. Murjasa mengaku sempat diterpa sedikit badai kala pemerintah Indonesia mulai memberlakukan moratorium pengiriman TKI ke Timur Tengah, termasuk di dalamnya Saudi pada tahun 2011. Mororatium tersebut membuat suplai TKI ke Saudi dalam bidang informal terhenti.
Selain itu, banyak juga TKI ilegal yang dideportasi, yang membuat konsumen restorannya berkurang cukup banyak. "Saat moratorium diberlakukan, banyak restoran yang tutup, karena pembeli terus berkurang," sambungnya, dengan wajah sedikit lesu.
Murjasa memutar otak agar usahanya terus berjalan. Ia melihat ada pasar lain yang bisa disasar di Saudi, yakni orang-orang Filipina yang bekerja disana. Hanya dengan sedikit perubahan pada nama restorannya, Murjasa mampu menarik minat para pekerja Filipina tersebut. Dirinya menambahkan tiga kata dalam bahasa Tagalog di nama restoran miliknya, yakni pero lutong pinoy.
"Indonesian Food Pero Lutong Pinoy memiliki arti masakan Indonesia yang memiliki rasa yang sama dengan masakan Filipina," ucapnya sembari tertawa. "Saat ini pelanggan asal Filipina dan Indonesia hampir sama jumlahnya, itu adalah pegawai Filipina yang bekerja di McD" imbuhnya, sembari menunjuk dua orang yang baru turun dari mobil menuju ke restoran miliknya.
Kuliner Indonesia juga digemari oleh warga Saudi. Mie ayam dan nasi goreng diantaranya. Banyak orang Saudi yang pernah ke Indonesia, mencari menu tersebut bila datang ke restoran milik Murjasa. "Abu Ibrahim, apakah kamu menjual nasi goreng?" kata Mujasa menirukan gaya orang Saudi yang bertanya kepada dirinya.
Murjasa menuturkan, dalam sehari dia bisa mendapatkan pemasukan 3.500 Riyal dari usahanya tersebut. Dari hasil kerja kerasnya itu, dia sudah berhasil menyekolahkan empat anaknya hingga perguruan tinggi. Bahkan, anak bungsunya yang bernama Ibrahim, sempat mengeyam pendidikan di Saudi. Tiga buah mobil yang terbilang mewah juga menjadi saksi kesuksesan Murjasa.
Ayah empat anak itu adalah pemilik dari Warung Pojok, sebuah restoran makanan Indonesia yang berlokasi di Hay Wuroot, Distrik Ulaya, Riyadh, Arab Saudi. Dia juga memiliki sebuah toko produk-produk Indonesia yang berlokasi tepat di sebelah restoran miliknya.
Sebelum menjadi pengusaha seperti sekarang, Murjasa mengaku sempat menjadi seorang Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Saudi. Dia pertama kali datang ke Saudi pada tahun 1984 lalu, dan bekerja di sebuah pabrik yang memproduksi baterai. Tiga tahun lamanya Murjasa bekerja di pabrik tersebut, sebelum akhirnya dia pulang ke tanah air, atau tepatnya pada awal tahun 1987.
Pada akhir tahun 1987, dia memutuskan untuk kembali ke Saudi. Namun, kali ini bukan sebagai TKI, melainkan untuk membuka usaha di Negeri kaya minyak tersebut. Berbekal pengalaman dan perkenalan dengan beberapa warga Saudi saat masih menjadi TKI, Murjasa akhirnya berkolaborasi dengan warga setempat dan membuka sebuah toko.
Lima tahun kemudian, pria yang kerap disapa Abu Ibrahim ini akhirnya memutuskan untuk membuka Warung Pojok, dengan menu andalannya pecel lele, yang bertahan hingga saat ini. "Pertama kali saya buka di Arruba, di dekat pusat kota. Setahun kemudian saya pindah ke sini," ujarnya kala ditemui Sindonews di Riyadh pada Sabtu (5/9/2015).
Membuka usaha di Saudi, lanjut Murjasa, tidaklah mudah. Di Saudi, orang asing tidak boleh mendaftarkan namanya sebagai pemilik usaha. Karenanya, ia pun harus "bekerjasama" dengan warga Saudi untuk bisa mendapatkan izin membuka usaha di negara tersebut.
Dia juga mengaku usahanya tidak selalu berjalan mulus. Murjasa mengaku sempat diterpa sedikit badai kala pemerintah Indonesia mulai memberlakukan moratorium pengiriman TKI ke Timur Tengah, termasuk di dalamnya Saudi pada tahun 2011. Mororatium tersebut membuat suplai TKI ke Saudi dalam bidang informal terhenti.
Selain itu, banyak juga TKI ilegal yang dideportasi, yang membuat konsumen restorannya berkurang cukup banyak. "Saat moratorium diberlakukan, banyak restoran yang tutup, karena pembeli terus berkurang," sambungnya, dengan wajah sedikit lesu.
Murjasa memutar otak agar usahanya terus berjalan. Ia melihat ada pasar lain yang bisa disasar di Saudi, yakni orang-orang Filipina yang bekerja disana. Hanya dengan sedikit perubahan pada nama restorannya, Murjasa mampu menarik minat para pekerja Filipina tersebut. Dirinya menambahkan tiga kata dalam bahasa Tagalog di nama restoran miliknya, yakni pero lutong pinoy.
"Indonesian Food Pero Lutong Pinoy memiliki arti masakan Indonesia yang memiliki rasa yang sama dengan masakan Filipina," ucapnya sembari tertawa. "Saat ini pelanggan asal Filipina dan Indonesia hampir sama jumlahnya, itu adalah pegawai Filipina yang bekerja di McD" imbuhnya, sembari menunjuk dua orang yang baru turun dari mobil menuju ke restoran miliknya.
Kuliner Indonesia juga digemari oleh warga Saudi. Mie ayam dan nasi goreng diantaranya. Banyak orang Saudi yang pernah ke Indonesia, mencari menu tersebut bila datang ke restoran milik Murjasa. "Abu Ibrahim, apakah kamu menjual nasi goreng?" kata Mujasa menirukan gaya orang Saudi yang bertanya kepada dirinya.
Murjasa menuturkan, dalam sehari dia bisa mendapatkan pemasukan 3.500 Riyal dari usahanya tersebut. Dari hasil kerja kerasnya itu, dia sudah berhasil menyekolahkan empat anaknya hingga perguruan tinggi. Bahkan, anak bungsunya yang bernama Ibrahim, sempat mengeyam pendidikan di Saudi. Tiga buah mobil yang terbilang mewah juga menjadi saksi kesuksesan Murjasa.
(esn)