Iran Pamer 3 Rudal Balistik Jarak Pendek di Tengah Perundingan Nuklir
loading...
A
A
A
TEHERAN - Iran memamerkan tiga rudal balistik jarak pendek di Teheran tengah di sela-sela perundingan nuklir yang sedang berlangsung di Wina. Korps Pengawal Revolusi Islam (IRGC) menggambarkan ketiga misil itu sebagai model yang sudah dikenal.
Mengutip Sputniknews, Sabtu (8/1/2022), tiga misil balistik yang dipamerkan adalah Dezful, Qiam, dan Zolfaghar dengan jangkauan hingga 1.000 kilometer (620 mil).
Perundingan yang sedang berlangsung di Wina untuk menghidupkan kembali kesepakatan nuklir Iran 2015 yang dikenal sebagai Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA).
Putaran terakhir pembicaraan tentang JCPOA dimulai di Ibu Kota Austria setelah jeda singkat pada hari Senin, di mana Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (AS) dilaporkan mengatakan bahwa Iran harus "menambahkan urgensi nyata" ke dalam negosiasi Wina atau berisiko kehilangan kesempatan untuk menghidupkan kembali kesepakatan itu.
Bulan lalu, juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran Saeed Khatibzadeh mengatakan bahwa AS tidak membuat saran apa pun yang dapat mengarah pada kebangkitan kembali JCPOA atau penyusunan kesepakatan baru selama pembicaraan lima arah di Wina.
"Iran mengharapkan AS untuk menawarkan teks nyata, dalam hal kesepakatan dapat dicapai dalam waktu sesingkat mungkin," kata Khatibzadeh.
Pada 2015, Iran menandatangani JCPOA dengan kelompok negara P5+1—AS, China, Prancis, Rusia, Inggris plus Jerman—dan Uni Eropa.
Perjanjian tersebut mewajibkan Teheran untuk mengekang aktivitas program nuklirnya dan secara signifikan mengurangi cadangan uraniumnya dengan imbalan keringanan sanksi, termasuk pencabutan embargo senjata lima tahun setelah mengadopsi kesepakatan.
Pada Mei 2018, AS di bawah presiden Donald Trump secara sepihak menarik diri dari kesepakatan dan menerapkan kembali sanksi terhadap Iran.
Langkah AS itu mendorong Teheran setahun kemudian mengumumkan bahwa mereka mulai mengurangi komitmennya terhadap kesepakatan JCPOA.
Pemerintahan Joe Biden mengisyaratkan kesiapannya untuk kembali ke perjanjian JCPOA, dengan Iran mengatakan bahwa Gedung Putih pertama-tama harus membatalkan semua sanksi terhadap Republik Islam Iran.
Teheran telah berulang kali menolak tekanan AS dan Eropa untuk mengurangi kekuatan misilnya, menggarisbawahi kebutuhan untuk mempertahankan diri terhadap agresi asing. Negaranya Ayatollah Khamenei itu mengatakan bahwa program misil Iran tidak dapat dan tidak akan dinegosiasikan.
Republik Islam Iran diketahui memiliki lebih dari 1.000 rudal jarak pendek dan menengah, dan dilaporkan telah meningkatkan pengembangan dan produksinya setelah AS keluar dari JCPOA.
Lihat Juga: Eks Analis CIA Sebut Biden Mirip Pelaku Bom Bunuh Diri, Wariskan Perang Besar pada Trump
Mengutip Sputniknews, Sabtu (8/1/2022), tiga misil balistik yang dipamerkan adalah Dezful, Qiam, dan Zolfaghar dengan jangkauan hingga 1.000 kilometer (620 mil).
Perundingan yang sedang berlangsung di Wina untuk menghidupkan kembali kesepakatan nuklir Iran 2015 yang dikenal sebagai Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA).
Putaran terakhir pembicaraan tentang JCPOA dimulai di Ibu Kota Austria setelah jeda singkat pada hari Senin, di mana Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (AS) dilaporkan mengatakan bahwa Iran harus "menambahkan urgensi nyata" ke dalam negosiasi Wina atau berisiko kehilangan kesempatan untuk menghidupkan kembali kesepakatan itu.
Bulan lalu, juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran Saeed Khatibzadeh mengatakan bahwa AS tidak membuat saran apa pun yang dapat mengarah pada kebangkitan kembali JCPOA atau penyusunan kesepakatan baru selama pembicaraan lima arah di Wina.
"Iran mengharapkan AS untuk menawarkan teks nyata, dalam hal kesepakatan dapat dicapai dalam waktu sesingkat mungkin," kata Khatibzadeh.
Pada 2015, Iran menandatangani JCPOA dengan kelompok negara P5+1—AS, China, Prancis, Rusia, Inggris plus Jerman—dan Uni Eropa.
Perjanjian tersebut mewajibkan Teheran untuk mengekang aktivitas program nuklirnya dan secara signifikan mengurangi cadangan uraniumnya dengan imbalan keringanan sanksi, termasuk pencabutan embargo senjata lima tahun setelah mengadopsi kesepakatan.
Pada Mei 2018, AS di bawah presiden Donald Trump secara sepihak menarik diri dari kesepakatan dan menerapkan kembali sanksi terhadap Iran.
Langkah AS itu mendorong Teheran setahun kemudian mengumumkan bahwa mereka mulai mengurangi komitmennya terhadap kesepakatan JCPOA.
Pemerintahan Joe Biden mengisyaratkan kesiapannya untuk kembali ke perjanjian JCPOA, dengan Iran mengatakan bahwa Gedung Putih pertama-tama harus membatalkan semua sanksi terhadap Republik Islam Iran.
Teheran telah berulang kali menolak tekanan AS dan Eropa untuk mengurangi kekuatan misilnya, menggarisbawahi kebutuhan untuk mempertahankan diri terhadap agresi asing. Negaranya Ayatollah Khamenei itu mengatakan bahwa program misil Iran tidak dapat dan tidak akan dinegosiasikan.
Republik Islam Iran diketahui memiliki lebih dari 1.000 rudal jarak pendek dan menengah, dan dilaporkan telah meningkatkan pengembangan dan produksinya setelah AS keluar dari JCPOA.
Lihat Juga: Eks Analis CIA Sebut Biden Mirip Pelaku Bom Bunuh Diri, Wariskan Perang Besar pada Trump
(min)