Pakar Sebut Ada Pergeseran Sikap Terhadap Masalah Islam di Antara Pemerintah Eropa

Senin, 30 November 2020 - 01:00 WIB
loading...
Pakar Sebut Ada Pergeseran Sikap Terhadap Masalah Islam di Antara Pemerintah Eropa
Ilustrasi
A A A
WINA - Sejumlah pakar mengatakan ada pergeseran di antara pemerintah Eropa mengenai masalah Islam , pasca serangan di Austria dan Prancis. Menurut pengamat, Eropa saat ini bergerak ke arah kanan.

Binoy Kampmark, dosen senior dari RMIT University di Melbourne mencontohkan sikap yang diambil Presiden Prancis, Emanuel Macron. Menurut Kampmark, Macron kembali ke gagasan melihat Islam sebagai agama yang berada dalam krisis hari ini di seluruh dunia, sebuah poin yang pertama kali dia buat pada tahun 2016, dua minggu sebelum serangan truk di Nice.

(Baca: Macron Ultimatum Pemimpin Muslim Prancis Setujui Piagam Nilai-nilai Republik )

"Model Macron untuk mengatasi putaran serangan saat ini adalah dengan fokus pada memerangi 'separatisme Islam', yang menargetkan para imam yang dilatih asing dari menuju masjid Prancis dan melarang sekolah di rumah untuk semua anak berusia tiga tahun ke atas," ucapnya.

"Macron menginginkan Islam di Prancis yang dapat sejalan dengan Pencerahan. Ini adalah pandangan yang mendapatkan dukungan di Eropa," sambungnya, seperti dilansir Sputnik.

Pada 2 Oktober, Macron mengkritik "pengaruh asing" dalam komunitas Muslim Prancis dan meluncurkan strateginya untuk melawan "radikalisasi". Dia meningkatkan serangannya terhadap "Islamisme radikal" setelah seorang guru di Paris, Samuel Paty dipenggal oleh seorang remaja Chechnya karena menunjukkan kepada murid-muridnya kartun Nabi Muhammad.


Negara-negara yang mayoritas Muslim tersinggung dengan retorika Macron dan bergerak serta menyerukan boikot barang-barang Prancis. "Ketegangan hanya akan diperburuk tetapi tidak lebih dari yang telah terlihat," ungkap Kampmark, mengacu pada negara-negara Eropa dan komunitas Muslim.

"Akan ada retorika yang sangat memabukkan dan penuh kekerasan tetapi tidak ada yang perlu mempengaruhi hubungan antara negara-negara Uni Eropa dan negara-negara Islam sebagaimana mereka berdiri. Tidak mungkin ada peningkatan dalam hubungan yang belum pernah kita saksikan sebelumnya", katanya.

(Baca: Muslim Prancis Terus Ditekan, Protes Guru dan Kartun Bisa Dideportasi )

Dia menuturkan bahwa kesepakatan pembelian senjata dan kesepakatan perdagangan antara Uni Eropa (UE) dan negara-negara Timur Tengah masih akan terus berjalan. "Meski demikian, masalah radikalisasi tidak akan pergi ke mana-mana di masa mendatang," ujarnya.

Ali Rizk, seorang analis politik yang mengkhususkan diri dalam urusan Timur Tengah mengatakan negara-negara Eropa akan terus menderita dari ekstremisme Islam karena banyak warga dari negara-negara ini menuju ke Suriah untuk berperang dengan ISIS sebelum kembali ke negara mereka dan di mana beberapa diantaranya diperkirakan akan segera dibebaskan dari penjara.

(Baca: Prancis Kecam Pernyataan Menteri Pakistan yang Samakan Macron dengan Nazi )

Sementara itu, James O'Neill, seorang pengacara dan analis geopolitik yang berbasis di Australia meyebut akar masalah berasal dari kebijakan yang telah dilakukan oleh Amerika Serikat (AS) dan negara-negara sekutunya di Eropa selama hampir dua dekade.

"Umat Muslim biasa juga menjadi mangsa elemen radikal setelah invasi NATO yang menciptakan tanah subur bagi kemunculan pasukan Islam," katanya mengutip Perang Afghanistan selama 19 tahun dan operasi pimpinan AS di Irak, Suriah dan Libya. Pemecahan masalah tidak mudah diidentifikasi dan bahkan kurang mudah dilakukan," tukasnya.
(esn)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1543 seconds (0.1#10.140)