Hampir 2.500 Pegawai Terkena Covid-19, Top Glove Tutup Sebagian Pabrik

Rabu, 25 November 2020 - 00:01 WIB
loading...
Hampir 2.500 Pegawai Terkena Covid-19, Top Glove Tutup Sebagian Pabrik
Pegawai membuat sarung tangan lateks di pabrik Top Glove, Malaysia. Foto/REUTERS
A A A
KUALA LUMPUR - Produsen sarung tangan lateks terbesar di dunia, Top Glove, akan menutup lebih dari setengah pabriknya setelah hampir 2.500 karyawan dinyatakan positif terkena virus corona.

“Top Glove Malaysia akan menutup 28 pabrik secara bertahap untuk mengendalikan wabah itu,” ungkap pernyataan otoritas.

Perusahaan itu mengalami lonjakan permintaan untuk alat pelindung diri sejak awal pandemi.



Meski demikian, terdapat kekhawatiran tentang kondisi kerja para pekerja migran berupah rendah yang diandalkan Top Glove. (Baca Juga: Rusia Patok Harga Vaksin Covid-19 Sputnik V Sekitar Rp140 Ribu)

Pada Senin, Kementerian Kesehatan Malaysia melaporkan peningkatan tajam kasus Covid-19 di daerah tempat pabrik-pabrik dan asrama Top Glove berada. (Lihat Infografis: AS Ujicoba Jet Siluman F-35 untuk Serangan Nuklir Supersonik)

“Hampir 5.800 pekerja telah dites sejauh ini dengan 2.453 dinyatakan positif,” papar pernyataan Kementerian Kesehatan Malaysia. (Lihat Video: Siapkan Langkah Hukum, JK Bantah Danai Kepulangan Rizieq)

Top Glove mengoperasikan 41 pabrik di Malaysia, dengan banyak pekerjanya berasal dari Nepal dan tinggal di kompleks asrama yang padat.

"Semua yang dites positif telah dirawat di rumah sakit dan kontak dekat mereka telah dikarantina untuk menghindari penularan kepada pekerja lain," ungkap Direktur Jenderal Kesehatan Noor Hisham Abdullah kepada kantor berita Reuters.

Tidak jelas kapan penutupan pabrik akan dimulai tetapi dijadwalkan berlangsung secara bertahap.

Top Glove telah menjadi sorotan global karena rekor labanya yang tinggi tahun ini, tetapi juga atas tuduhan praktik perburuhan yang eksploitatif di perusahaan tersebut.

Pada Juli, Amerika Serikat (AS) melarang impor sarung tangan dari dua anak perusahaan itu menyusul masalah kerja paksa.

Laporan terbaru Departemen Tenaga Kerja AS mengangkat masalah yang sama, menunjuk pada tingginya biaya perekrutan yang harus dibayar pekerja migran di luar negeri untuk mendapatkan pekerjaan di industri sarung tangan karet yang seringkali mengakibatkan jeratan utang.

Pada September, para pekerja migran memberi tahu Los Angeles Times tentang kondisi kerja yang sulit di pabrik Top Glove. Mereka menggambarkan 72 jam kerja per pekan, dengan tempat tinggal yang sempit dan upah rendah.

Beberapa pekan kemudian, Top Glove mengatakan telah menaikkan pembayaran remediasi untuk mengkompensasi pekerja atas biaya perekrutan setelah mendapat rekomendasi dari konsultan independen.

Direktur Eksekutif Tenaganita Glorene Das mengatakan, “Beberapa perusahaan Malaysia yang bergantung pada tenaga kerja migran gagal memenuhi kebutuhan dasar para pekerja mereka."

Tenaganita merupakan NGO yang berbasis di Kuala Lumpur yang berfokus pada hak-hak buruh.

"Para pekerja ini rentan karena mereka tinggal dan bekerja di tempat tinggal bersama yang padat dan melakukan pekerjaan yang tidak memungkinkan untuk mempraktikkan jarak sosial yang ketat," papar dia pada BBC.

"Selama ini pengusaha memiliki tanggung jawab yang besar terhadap mereka, tetapi kami mendengar kasus di mana mereka tidak menyediakan makanan yang cukup atau bahkan menahan gaji mereka," ujar dia.

Saham Top Glove turun 7,5% pada Selasa (24/11) setelah penutupan pabrik diumumkan. “Meski merosot, saham perusahaan telah melonjak lebih dari empat kali lipat tahun ini,” ungkap laporan Reuters.
(sya)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1463 seconds (0.1#10.140)