Jika AS Hengkang dari Perjanjian Open Skies, Ketegangan dengan Rusia Meningkat

Minggu, 03 Mei 2020 - 01:00 WIB
loading...
Jika AS Hengkang dari...
Ilustrasi
A A A
MOSKOW - Penarikan mundur Washington dari Perjanjian Open Skies yang berusia 28 tahun kemungkinan akan mendorong Rusia untuk mengikutinya. Para pakar menilai, kondisi ini akan semakin meningkatkan hubungan yang sudah tegang antara kedua kekuatan dunia itu.

Perjanjian Open Skies, yang ditandatangani pada tahun 1992, memungkinkan para penandatangan, termasuk Amerika Serikat (AS) dan Rusia, untuk melakukan penerbangan pengawasan di wilayah masing-masing untuk mengumpulkan data kegiatan militer. Sebagian besar anggota NATO dan beberapa sekutu non-NATO AS, termasuk Ukraina dan Georgia, adalah penandatangan perjanjian tersebut.

Dalam kurun waktu setahun terakhir, beberapa laporan media mengindikasikan bahwa AS mempertimbangkan untuk menarik diri dari perjanjian itu. The Guardian melaporkan pada bulan April, mengutip sumber-sumber, bahwa pemerintahan Presiden Donald Trump telah membuat keputusan seperti itu.

Lajos Szaszdi Leon-Borja, seorang dosen di Universitas Inter-Amerika Puerto Riko, mengatakan bahwa AS memang mempertimbangkan untuk menarik diri dari perjanjian tersebut.

"Ya, laporan sudah muncul di media pada Oktober 2019 tentang niat pemerintahan Trump untuk meninggalkan Perjanjian Open Skies, pada awal Oktober ada laporan bahwa Trump menandatangani dokumen dengan maksud untuk meninggalkan perjanjian," ucapnya, seperti dilansir Sputnik.

"Kemudian pada bulan Maret tahun ini, Menteri Pertahanan AS, Mark Esper menuduh Rusia tidak patuh dengan perjanjian tersebut, menyatakan keprihatinan atas perjanjian tersebut. Pada April, Departemen Pertahanan AS memutuskan untuk tidak mendanai pesawat pengganti untuk pesawat tua yang digunakan oleh AS dalam penerbangan Perjanian Open Skies," sambungnya.

Dia menuturkan, salah satu alasan di balik keputusan untuk meninggalkan perjanjian itu adalah perlunya bersembunyi dari penerbangan pemantauan Rusia adalah persiapan yang dapat dilakukan AS untuk intervensi militer terhadap Venezuela dan penyebaran sistem senjata untuk operasi ofensif di masa depan melawan Rusia dari Alaska.

Leon-Borja mengatakan, sekutu AS di NATO, termasuk Jerman, Inggris, Prancis, Italia, Turki, Ukraina Polandia dan negara-negara lain bagaimanapun, lebih memilih AS untuk tetap berpihak pada perjanjian yang memungkinkan mereka melakukan penerbangan di atas Rusia.

Daryl Kimball, Direktur Eksekutif Asosiasi Pengendalian Senjata yang berbasis di AS mengatakan bahwa Moskow dan Washington harus melanjutkan kerjasama dan bekerja pada solusi yang dapat saling diterima jika kedua pihak ingin melestarikan Perjanjian Open Skies.

"Perjanjian Open Skies bermanfaat bagi keamanan semua pihak dalam perjanjian dan tidak ada pengganti yang sederhana. Menteri Luar Negeri Rusia, Sergei Lavrov dan Menteri Luar Negeri AS, Pompeo tampaknya berbicara cukup rutin tentang berbagai masalah dan jika mereka serius tentang melestarikan perjanjain ini dan mereka berdua perlu bekerja secara konstruktif untuk mencapai solusi yang saling memuaskan," Kata Kimball.

M. V. Ramana dari Liu Institute for Global Issues dari University of British Columbia menyebut, jika kedua pihak gagal melakukannya dan AS memang melanjutkan langkah tersebut, hal itu dapat memicu pihak lain untuk mundur dari perjanjian itu, termasuk Moskow.

"Saya pikir sangat mungkin bahwa AS akan menarik diri dari perjanjian, meskipun saya berharap tidak. Alasan untuk khawatir tentang penarikan AS adalah bahwa itu dapat memicu penarikan lainnya, termasuk oleh Rusia, dan karena itu adalah paku lain dalam peti mati kendali senjata dan kerjasama internasional sebagai cara untuk mengelola ancaman perang, dan khususnya perang nuklir, "kata Ramana.

Ramana menambahkan bahwa alasan pemerintahan Trump untuk mundur dari pejanjian itu tidak mencukupi dan anggota NATO lainnya tidak mungkin mengikutinya.
(esn)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1384 seconds (0.1#10.140)