Kesaksian Migran: Libya Adalah Neraka Dunia

Senin, 16 Desember 2019 - 05:30 WIB
Kesaksian Migran: Libya Adalah Neraka Dunia
Kesaksian Migran: Libya Adalah Neraka Dunia
A A A
TRIPOLI - Florent, salah seorang migran yang berhasil diselamatkan Ocean Viking di Teluk Libya mengucap syukur karena telah berhasil keluar dari Libya dengan selamat. Dia menyebut Libya sebagai neraka dunia.

Dia mendongak, jari-jari telunjuk menunjuk ke langit sembari mengucap syukur, dihiasi air mata mengalir di pipinya, mengalir di antara noda minyak dan kulit kering di wajahnya. Matanya merah, paling tidak karena trauma berada di laut selama lebih dari 36 jam setelah menghabiskan lima tahun di Libya.

"Jika saya mati sekarang, saya akan mati tanpa penyesalan. Saya telah berhasil melarikan diri dari Libya. Itu adalah neraka. Tidak kurang dari neraka," ucap Florent, yang sejatinya berasal dari Kamerun.

"Jika penjaga pantai Libya datang sekarang, saya akan menghancurkan kepala saya ke dinding itu, menggorok leher saya dan melompat ke air. Itu akan jauh lebih baik daripada kembali ke Libya," sambungnya, seperti dilansir Al Jazeera.

Selain Florent, migrain lain yang berhasil diselamatkan adalah Karim yang berasal dari Pantai Gading. Pemuda berusia 16 tahun itu memiliki impian bermain sepak bola di Eropa. Impian ini membuatnya melarikan diri dari rumah pada 2016 tanpa memberitahu orang tuanya.

Karim mengatakan, selama bekerja di Libya dia mengalami banyak penyiksaan, mulai dari ditusuk, hingga ditembak. "Kalian lihat ini," katanya, menunjuk ke bahunya, "Ini adalah di mana seorang Libya menusukku, ketika aku meminta uang untuk pekerjaan yang aku lakukan untuknya," ucapnya.

Dia kemudian menunjuk ke kaki kanannya dan mengatakan dia tertembak saat menunggu pekerjaan di Tripoli. "Ada pelanggaran hukum di sana. Semua orang memiliki senjata dan pisau. Tidak ada hak bagi orang kulit hitam, bahkan seseorang yang telah ditusuk atau ditembak," ungkapnya.

Libya adalah pintu gerbang utama bagi para migran Afrika yang berharap untuk mencapai Eropa. Menurut PBB, ada lebih dari 40 ribu pengungsi dan migran di Libya. Orang-orang ini tiba di Libya usai melarikan diri dari kemiskinan, konflik, perang, kerja paksa, pemerintah yang korup dan ancaman pribadi. Hanya keinginan kuat untuk bisa mendapat kehidupan yang lebih baik yang membuat mereka bisa terus bertahan hidup.

Beberapa migran tiba ke Libya karena memang itu tujuan mereka, yang lain tiba dengan paksaan. Bagi sebagian orang, Libya adalah negara tujuan dan bukan transit. Janji mata pencaharian memaksa mereka melalui perjalanan yang melelahkan dari rumah, tidak menyadari apa yang menanti mereka dalam perjalanan dan juga ketika mereka menjejakkan kaki di Libya.

Sebuah laporan PBB yang dirilis pada tahun 2018 menyoroti bahwa para migran menjadi sasaran kengerian yang tak terbayangkan sejak mereka memasuki Libya, selama mereka tinggal dan dalam upaya mereka untuk menyeberangi Mediterania, jika mereka sampai sejauh itu.

Sekitar 4.500 orang saat ini ditahan di pusat penahanan "resmi" di seluruh Libya. Ribuan lainnya ditahan di "penjara" yang dikelola oleh kelompok-kelompok bersenjata. Kedua tipe ini dalam kondisi penuh sesak dengan kondisi yang tidak higienis dan tidak manusiawi, dengan pelecehan dan kekerasan merajalela. Ada kekurangan makanan dan air minum, tetapi ada banyak siksaan dan kerja paksa.

Pusat-pusat penahanan ini juga tidak aman dari konflik. Satu pusat di pinggiran Tripoli timur Tajoura dibom awal tahun ini, menewaskan sedikitnya 50 migran dan pengungsi dan melukai lebih dari 130.
(esn)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3369 seconds (0.1#10.140)