Investigator PBB Sebut Ada Pelanggaran Perang Baru di Myanmar

Kamis, 04 Juli 2019 - 04:27 WIB
Investigator PBB Sebut Ada Pelanggaran Perang Baru di Myanmar
Investigator PBB Sebut Ada Pelanggaran Perang Baru di Myanmar
A A A
JENEWA - Investigator PBB mengatakan kemungkinan pasukan keamanan Myanmar dan gerilyawan telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia terhadap warga sipil di bagian barat negara itu yang tengah bergolak. Pelanggaran hak asasi manusia itu kemungkinan sama dengan kejahatan perang.

Pasukan pemerintah Myanmar saat ini tengah memerangi pemberontak etnis di negara bagian Rakhine dan Chin yang dilanda konflik. Tentara Arakan adalah kelompok pemberontak yang berjuang untuk otonomi yang lebih besar bagi kedua negara.

Pada 22 Juni, pihak berwenang memerintahkan perusahaan telekomunikasi untuk menutup layanan internet di kedua negara. Telenor Group mengatakan kementerian transportasi dan komunikasi menyebut gangguan perdamaian dan penggunaan aktivitas internet untuk mengoordinasikan kegiatan ilegal.

Pakar independen hak asasi manusia di Myanmar, Yanghee Lee, pekan lalu mengatakan tentara Myanmar mungkin melakukan pelanggaran HAM berat di bawah perlindungan pemadaman ponsel di Rakhine dan Chan. Namun ia kemudian melangkan lebih jauh.

“Konflik dengan Tentara Arakan di Negara Bagian Rakhine utara dan bagian-bagian Negara Chin bagian selatan telah berlanjut selama beberapa bulan terakhir dan dampaknya terhadap warga sipil sangat buruk. Banyak tindakan Tatmadaw (tentara) dan Tentara Arakan yang melanggar hukum humaniter internasional dan bisa dianggap sebagai kejahatan perang, serta melanggar hak asasi manusia,” kata Lee seperti dikutip dari Reuters, Kamis (4/7/2019).

Kepada Dewan Hak Asasi Manusia PBB, Lee mengatakan, Tentara Arakan dilaporkan telah menculik warga sipil, termasuk 12 pekerja konstruksi di Paletwa dan 52 penduduk desa di dekat perbatasan Bangladesh.

Lee mengutip laporan warga sipil, sebagian besar pria etnis Rakhine, yang ditahan dan diinterogasi oleh Tatmadaw karena dicurigai memiliki hubungan dengan Tentara Arakan dan mengatakan beberapa orang tewas dalam tahanan.

"Pada bulan April, sebuah helikopter militer menembaki pria dan anak laki-laki Rohingya yang mengumpulkan bambu," katanya.

"Sekitar 35.000 orang telah melarikan diri dari kekerasan tahun ini," imbuhnya.

Duta Besar Myanmar untuk PBB, Kyaw Moe Tun, mengatakan bahwa pemerintah telah mengumumkan gencatan senjata hingga Agustus dan berusaha mewujudkan rekonsiliasi nasional.

"Pemerintah Myanmar bekerja tanpa lelah untuk mengakhiri pertikaian etnis dan mengakhiri konflik dan untuk mencapai perdamaian berkelanjutan di Myanmar melalui proses perdamaian," ujar Tun kepada forum.

"Kebebasan berekspresi dan media adalah salah satu bidang perubahan yang paling terlihat di Myanmar," katanya.

"Tidak ada batasan yang dikenakan pada penggunaan internet dan media sosial, tetapi kita perlu mencapai keseimbangan antara keamanan dan kebebasan serta hak dan tanggung jawab," tukasnya.

Namun Lee mengatakan pemadaman listrik itu membahayakan penduduk desa, menghalangi bantuan dan melindungi militer.

Tindakan keras militer tahun 2017 mendorong lebih dari 730.000 Muslim Rohingya untuk melarikan diri ke Bangladesh. Penyelidik PBB mengatakan bahwa operasi militer Myanmar termasuk pembunuhan massal, pemerkosaan geng dan pembakaran yang meluas serta eksekusi dengan niat genosida.

Pemerintah Myanmar membantah melakukan kekejaman itu dan mengatakan kampanye militernya di Rakhine utara adalah sebagai tanggapan terhadap serangan oleh militan Rohingya.
(ian)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4564 seconds (0.1#10.140)