Boris Johnson Berpeluang Menduduki Kursi Perdana Menteri Inggris

Jum'at, 21 Juni 2019 - 07:13 WIB
Boris Johnson Berpeluang Menduduki Kursi Perdana Menteri Inggris
Boris Johnson Berpeluang Menduduki Kursi Perdana Menteri Inggris
A A A
LONDON - Boris Johnson, mantan menteri luar negeri yang mendukung kampanye Brexit (Britain Exit) pada referendum pada 2016, difavoritkan menjadi pemenang pada pemungutan suara ketua Partai Konservatif dan otomatis akan menggantikan Perdana Menteri (PM) Theresa May yang akan mengundurkan diri.

Johnson, yang menjabat sebagai wali kota London selama delapan tahun, memosisikan dirinya hanya satu-satunya kandidat PM yang mampu mewujudkan Brexit pada 31 Oktober mendatang. Meskipun memiliki serangkaian skandal dan banyak kritik terhadapnya, Johnson terus mendominasi dalam pertarungan untuk mencari pengganti May sejak satu bulan terakhir.

Johnson, 55, telah mendapatkan dukungan luas dalam pemungutan suara di kalangan anggota parlemen kubu Konservatif dalam tiga pemungutan suara. Dia meraih 114 suara dari 313 anggota parlemen pada pemungutan suara pertama pada 13 Juni, 126 pada 18 Juni, dan 143 pada Rabu (19/6) waktu setempat.

Dua pemungutan suara akan dilaksanakan pada Kamis waktu setempat, dan pemungutan suara itu bertujuan untuk mengerucutkan pada dua nama hingga terpilih salah satu kandidat. Pesaing utama Johnson adalah Menteri Luar Negeri Jeremy Hunt yang berada di posisi kedua, Menteri Lingkungan Michael Gove dan Menteri Dalam Negeri Sajid Javid.

Sekitar 160.000 anggota Partai Konservatif akan memberikan suara untuk pemimpin mereka dan PM Inggris mendatang pada akhir Juli mendapat. Johnson tetap difavoritkan sebagai pemenang pada pemungutan suara tersebut. Johnson berjanji akan meninggalkan Uni Eropa pada 31 Oktober baik dengan ada kesepakatan atau tidak dengan Uni Eropa (UE).

UE tidak akan merenegosiasi kesepakatan perceraian yang disepakati May pada tahun lalu. Namun, parlemen Inggris mengindikasikan akan memblok Brexit tanpa kesepakatan. Namun, Johnson tidak menjelaskan bagaimana dia menyelesaikan permasalahan tersebut.

Kebangkitan Alexander Boris de Pfeffel Johnson yang biasa dipanggil “Boris” menguat untuk memimpin negara dengan ekonomi terbesar kelima di dunia. Dia memang dikenal pandai memainkan kesan karena dia membangun karier di dunia jurnalistik, komedi, dan permainan ketakutan mengenai krisis Brexit.

Pria yang lahir di New York, Johnson mendapatkan pendidikan di Eton, sekolah paling elite di Inggris, dan kuliah di Balliol College, Oxford. Dia memulai karier di lembaga konsultan manajemen Kota London, dan mundur seminggu kemudian. Kariernya di harian The Times berakhir dengan pemecatan. Kemudian, dia direkrut The Daily Telegraph. Dia juga pernah dipecat dari tim kebijakan Partai Konservatif karena skandal perselingkuhan.

Namund emikian, penampilan personal sembrono dan selalu percaya diri justru menguatkan posisinya bisa selamat dari berbagai skandal. Dia berhasil menjadi wali kota London sejak 2008 hingga 2016. Pada 2016, dia menjadi salah satu tokoh yang paling dikenali pada kampanye Brexit.

Upayanya untuk menggantikan David Cameron selepas pengunduran dirinya setelah referendum, ternyata ditentang Gove yang mengatakan Johnson tidak tepat untuk menjadi PM. Johnson dikenal vokal dan menyatakan tidak sepakat jika dirinya memang tidak sepakat. Dia rela mengundurkan diri dari jabatan menteri luar negeri pada 2018 karena tidak kecewa dengan pengelolaan Brexit pada kabinet May.

“Kita harus keluar dari UE pada 31 Oktober baik dengan kesepakatan atau tidak. Kita harus mulai untuk mempersatukan negara kita, membangun kepercayaan politik kita, dan bergerak keluar Brexit untuk fokus untuk mewujudkannya bagi semua orang,” kata Johnson.

Kenapa Johnson bisa menjadi PM Inggris menggantikan May? Dalam pandangan jurnalis senior CNN, Luke McGee, Johnson lebih populer dibandingkan May di kalangan konservatif. Kebanyakan pendukung Konservatif sangat percaya dengan politikus Konservatif garis keras seperti Johnson.

“Sumber diplomatik Eropa menyatakan sebagian 27 anggota UE mendukung pandangan Presiden Prancis Emmanuel Macron untuk hasil tanpa kesepakatan,” ujar McGee. Itu merupakan hal yang tidak diperjuangkan. “UE ingin permasalahan Brexit berakhir, tetapi tidak ingin melepaskan Irlandia,” katanya.

Selama ini, Johnson juga mendapatkan dukungan utama dari pendukung Brexit. Dia dipercaya bisa memecah kebuntuan di parlemen. Ketika tidak ada kesepakatan di parlemen dan UE, dia pun akan memutuskan akan keluar dari UE tanpa kesepakatan. Namun demikian, perlawanan terhadap Johnson tetap ada.

Banyak kandidat PM yang menjadi pesaingnya tetap mempertanyakan janjinya agar Inggris keluar dari UE pada 31 Oktober sebagai hal yang tidak masuk akal. Itu justru akan menyebabkan Inggris bercerai dari UE tanpa kesepakatan. “Perbedaan antara saya dan Boris adalah saya mencoba untuk mencapai kesepakatan,” kata Menteri Luar Negeri Inggris Jeremy Hunt, yang berada pada posisi kedua pada perebutan kursi PM.

“Saya tidak akan menciptakan serangkaian hal yang tidak mungkin, karena saya menawarkan pilihan terbaik,” katanya BBC. Hunt tetap menyebut Johnson sebagai kandidat “alternatif”. Tiga tahun setelah Inggris memilih keluar dari UE, parlemen dan partai di Inggris masih berpolemik tentang bagaimana Brexit diwujudkan.

David Cameron yang mengundurkan diri setelah referendum dan May yang kini akan mengundurkan diri, dinilai gagal mewujudkan kesepakatan dengan UE. Harapan ketiga akan bergantung dengan Johnson yang dinilai lebih konservatif.
(don)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3516 seconds (0.1#10.140)