Pengusaha Top Israel Ditembak Mati di Mesir, Diduga Dipicu Invasi Rafah
loading...
A
A
A
KAIRO - Ziv Kipper, pengusaha top Israel-Kanada, ditembak mati kelompok milisi di Mesir. Pembunuhan pada hari Selasa tersebut diduga terkait invasi darat militer Zionis ke Rafah, Gaza selatan.
Pihak berwenang Mesir telah membuka penyelidikan atas pembunuhan di kota Alexandria tersebut.
Dalam pernyataan singkat yang dirilis pada Rabu, Kementerian Dalam Negeri Mesir mengatakan bahwa seorang pria Israel-Kanada ditembak mati di Alexandria dan tim penyelidik telah dibentuk untuk menyelidiki apa yang digambarkan sebagai “kasus kriminal”.
Seorang pejabat keamanan Mesir mengatakan kepada The New Arab bahwa pejabat senior keamanan nasional termasuk di antara penyelidik yang ditugaskan untuk menyelidiki kasus ini.
“Beberapa tersangka saat ini sedang diinterogasi, tapi kami belum bisa mengumumkan secara resmi identitas pelakunya,” kata sumber tersebut, yang tidak mau disebutkan namanya, sebagaimana dilansir The New Arab, Kamis (9/4/2024).
“Pejabat Israel menuntut agar Badan Intelijen Mesir terlibat dalam penyelidikan,” lanjut pejabat tersebut.
Ziv Kipper telah tinggal dan bekerja di Mesir selama hampir sembilan tahun, memasuki negara tersebut menggunakan paspor Kanada. Dia adalah CEO OK Group LLC, sebuah perusahaan yang mengekspor buah-buahan dan sayuran beku.
Tak lama setelah pembunuhan tersebut, sebuah organisasi militan terlarang bernama "Vanguards of Liberation—Group of Martyr Mohamed Salah" mengaku bertanggung jawab atas pembunuhan Kipper.
Dalam pernyataan yang belum diverifikasi dalam bahasa Arab yang di-posting di grup Telegram, yang juga menjadi viral selama beberapa jam terakhir, kelompok tersebut mengeklaim bahwa Kipper adalah mata-mata Israel yang menggunakan bisnisnya sebagai kedok untuk kegiatan spionase, termasuk merekrut agen untuk memata-matai Mesir untuk intelijen Israel—Mossad.
Kelompok tersebut menuduh bahwa informasi yang mereka kumpulkan tentang Kipper didasarkan pada “intelijen yang menentukan”.
Nama kelompok ini diambil dari nama Mohamed Salah, seorang anggota pasukan keamanan yang bertugas di sepanjang perbatasan Mesir dengan Israel yang diyakini terlibat dalam pembunuhan tiga tentara Israel pada Juni tahun lalu setelah dia memasuki wilayah Israel dan terbunuh dalam baku tembak.
Kebanyakan orang Mesir dan Arab pada umumnya menganggap Salah sebagai pahlawan dan martir karena ditembak dan dibunuh oleh tentara Israel.
Sementara itu, outlet berita Israel melaporkan, mengutip Kementerian Luar Negeri Israel yang mengatakan bahwa "mereka sedang meninjau laporan pembunuhan tersebut."
Sedangkan Global Affairs Canada mengatakan bahwa mereka mengaku telah mengetahui laporan kematian seorang warga negara Kanada di Mesir.
Pembunuhan terhadap pengusaha Kanada-Israel terjadi sehari setelah tentara Israel melancarkan operasi darat militer di Rafah timur, menguasai perbatasan Rafah, satu-satunya penghubung Gaza dengan bantuan kemanusiaan, yang membuat marah warga Mesir di seluruh negeri.
Kota Rafah di selatan Gaza saat ini menampung lebih dari 1,5 juta pengungsi Palestina dari populasi hampir 2,3 juta jiwa.
Meskipun secara teknis negara tersebut berdamai dengan Israel sejak akhir tahun 1970an, masyarakat Mesir masih berselisih dengan rezim-rezim di negara mereka mengenai normalisasi.
Secara diplomatis dan komersial, Kairo telah memperlakukan negara Yahudi sebagai negara sahabat dengan ikatan yang kuat di beberapa bidang.
Pihak berwenang Mesir telah membuka penyelidikan atas pembunuhan di kota Alexandria tersebut.
Dalam pernyataan singkat yang dirilis pada Rabu, Kementerian Dalam Negeri Mesir mengatakan bahwa seorang pria Israel-Kanada ditembak mati di Alexandria dan tim penyelidik telah dibentuk untuk menyelidiki apa yang digambarkan sebagai “kasus kriminal”.
Seorang pejabat keamanan Mesir mengatakan kepada The New Arab bahwa pejabat senior keamanan nasional termasuk di antara penyelidik yang ditugaskan untuk menyelidiki kasus ini.
“Beberapa tersangka saat ini sedang diinterogasi, tapi kami belum bisa mengumumkan secara resmi identitas pelakunya,” kata sumber tersebut, yang tidak mau disebutkan namanya, sebagaimana dilansir The New Arab, Kamis (9/4/2024).
“Pejabat Israel menuntut agar Badan Intelijen Mesir terlibat dalam penyelidikan,” lanjut pejabat tersebut.
Ziv Kipper telah tinggal dan bekerja di Mesir selama hampir sembilan tahun, memasuki negara tersebut menggunakan paspor Kanada. Dia adalah CEO OK Group LLC, sebuah perusahaan yang mengekspor buah-buahan dan sayuran beku.
Tak lama setelah pembunuhan tersebut, sebuah organisasi militan terlarang bernama "Vanguards of Liberation—Group of Martyr Mohamed Salah" mengaku bertanggung jawab atas pembunuhan Kipper.
Dalam pernyataan yang belum diverifikasi dalam bahasa Arab yang di-posting di grup Telegram, yang juga menjadi viral selama beberapa jam terakhir, kelompok tersebut mengeklaim bahwa Kipper adalah mata-mata Israel yang menggunakan bisnisnya sebagai kedok untuk kegiatan spionase, termasuk merekrut agen untuk memata-matai Mesir untuk intelijen Israel—Mossad.
Kelompok tersebut menuduh bahwa informasi yang mereka kumpulkan tentang Kipper didasarkan pada “intelijen yang menentukan”.
Nama kelompok ini diambil dari nama Mohamed Salah, seorang anggota pasukan keamanan yang bertugas di sepanjang perbatasan Mesir dengan Israel yang diyakini terlibat dalam pembunuhan tiga tentara Israel pada Juni tahun lalu setelah dia memasuki wilayah Israel dan terbunuh dalam baku tembak.
Kebanyakan orang Mesir dan Arab pada umumnya menganggap Salah sebagai pahlawan dan martir karena ditembak dan dibunuh oleh tentara Israel.
Sementara itu, outlet berita Israel melaporkan, mengutip Kementerian Luar Negeri Israel yang mengatakan bahwa "mereka sedang meninjau laporan pembunuhan tersebut."
Sedangkan Global Affairs Canada mengatakan bahwa mereka mengaku telah mengetahui laporan kematian seorang warga negara Kanada di Mesir.
Pembunuhan terhadap pengusaha Kanada-Israel terjadi sehari setelah tentara Israel melancarkan operasi darat militer di Rafah timur, menguasai perbatasan Rafah, satu-satunya penghubung Gaza dengan bantuan kemanusiaan, yang membuat marah warga Mesir di seluruh negeri.
Kota Rafah di selatan Gaza saat ini menampung lebih dari 1,5 juta pengungsi Palestina dari populasi hampir 2,3 juta jiwa.
Meskipun secara teknis negara tersebut berdamai dengan Israel sejak akhir tahun 1970an, masyarakat Mesir masih berselisih dengan rezim-rezim di negara mereka mengenai normalisasi.
Secara diplomatis dan komersial, Kairo telah memperlakukan negara Yahudi sebagai negara sahabat dengan ikatan yang kuat di beberapa bidang.
(mas)